Selasa, 18 Oktober 2016

Review Film : Inferno

Review Film : Inferno 

InferNO


Judul Film       : Inferno 
Durasi              : 120 Menit
Pemain             : Tom Hanks, Felicity Jones, Irffan Khan, Sidse Babbet Knudsen
Sutradara        : Ron Howard

Hallo Good People... ^_^

Ada sebuah pakem yang saya atau mungkin kalianpegang ketika menonton film yang diadaptasi dari sebuah novel, atau mungkin game. Film tersebut harus semirip mungkin dengan novel atau game asal dia diadaptasi. Ini harga mati. Hal ini tentu saja dikarenakan sasaran utama dari film adaptasi tersebut adalah basis fans setia dari game atau novel tersebut, yang tentu saja, jumlahnya banyak. Lantas bagaimana, bila sebuah film hasil adapatasi tidak mirip dengan novel atau game aslinya ? Bagi para fans nya, ini sebuah pengkhianatan besar, dan akan berujung pada pencaci makian film tersebut. Tengok saja franchise Resident Evil versi hollywood yang benar benar menyimpang dari versi game nya. Ia lebih banyak mendapat cacian dan hinaan, daripada pujian. Seberapa buruk nya ? Hingga Capcom sendiri, selaku developer game resident evil, membuat sendiri dua film resident film versi CGI yang tidak menyimpang dari asal nya. 

 Dalam hal ini, gua adalah fans dari karya-karya Dan Brown. kesemua novel nya khatam ga baca berkali kali. Lantas, ketika ada adaptasi film dari novel terbarunya, Inferno nangkring di bioskop, tanpa pikir panjang gua langsung beli tiket nya di hari pertama penayangan. Dan hasilnya, gua kecewa. 

Hal utama yang mengecewakan dari film ini adalah, ketidak sesuaian dengan versi novel nya, dan bahkan, ENDINGNYA BERUBAH. aaaaarrrgghh. Ini sudah pengkhianatan besar bagi para fans berat karya Dan Brown. 

So, Inferno ini menceritakan tentang perjalanan pakar symbologi, Robert Langdon (Dan Brown) yang terbangun secara tiba tiba dan kehilangan ingatan. Dia kini, yang entah bagaimana, berada di di Florence, Italia, nun jauh dari tempat tinggal nya. Belum selesai kebingungan ini, tiba tiba dia diburu oleh pembunuh bayaran, dan terpaksa melarikan diri dengan ditemani dr. Siena Brooks ( Felicity Jones). Berdua mereka berusaha untuk memecahkan teka teki berkeliling ke penjuru Italia untuk berusaha memecahkan misteri apa yang sedang terjadi, dan untuk menyelamatkan manusia dari wabah yang dapat membunuh hampir seluruh ummat manusia di dunia. Dan semua misteri tersebut berpijak pada mahakarya penyair Italia,Inferno, karya Dante Aliegerhi

Bagi yang pernah menonton fillm adaptasi sebelumnya, Davinci Code dan Angel and Demon, pasti tau, kalau film adaptasi besutan Ron Howard ini dipenuhi dengan plot yang agak klise. Jadi sebenarnya, penyimpangan plot dalam film sebelumnya sudah terjadi, namun masih dalam batas toleransi, tapi TIDAK dalam Inferno ini. Kali ini pemecahan teka teki, yang merupakan brand utama trilogi film dan Brown ini, kurang menarik. Langdon seakan tidak menikmati peran nya sebagai Langdon kali ini ( apa mungkin karena faktor Tom Hanks yang semakin berumur ya, entahlah). Selain itu keindahan Italia, serta keagungan Inferno mahakarya Dante tidak begitu diekspos disini, padahal dalam novelnya, ia merupakan poin daya tarik utama nya dan cukup membuat saya membayangkan betapa indah nya arsitektur italia, dan betapa agung nya Inferno itu sendiri. Porsi adegan kejar kejaran nya saya kira cukup, begitu pula dengan kemunculan sesekali siluet neraka yang cukup menyeramkan, dengan ribuan galon darah, dan image penyiksaan yang ditampilkan. Akting para aktor, selain dr, Siena yang diperankan oleh si cantik felicity Jones, saya kira datar semua, termasuk Tom Hanks itu sendiri. Ia lebih terlihat seperti kakek kakek yang sudah kehabisan nafas dan dipaksa untuk kejar- kejaran sana sini. Saya jauh lebih meyukai akting nya di Kapten Philips dan Sully. Plot cerita, menyimpang dari Novel, terutama ending nya. Sebenarnya dari awal hingga pertengahan, plot nya cukupp tertata rapi, tapi entah kenapa dihancurkan begitu saja pada akhir nya. 

Finally, yang merupakan fans dari novelnya, mungkin akan kecewa setelah melihat Inferno, tapi ia tetap layak ditonton. Cukup menghibur, walau akan mengecewakan fans novel nya.

Overall Score : 3,5/5

Selasa, 11 Oktober 2016

Multikulturalisme Pendidikan



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
          
Sejak zaman dahulu, bangsa Indonesia sudah dikenal sebagai sebuah masyarakat yang sangat majemuk. Kemajemukan Indonesia ditunjukkan dengan terdapatnya berbagai macam budaya, suku, etnis, dan agama yang ada di dalam nya. Terbentang dari Sabang hingga Merauke, setidaknya terdapat tidak kurang dari 1331 suku di Indonesia menurut data dari Biro Pusat Statistik (BPS) ditahun 2010. Tapi itu baru yang tercatat, Menurut Bauman, sulit untuk mendefinisikan suku. Pada umumnya seorang mengidentifikasi dirinya pada suku tertentu berdasar keturunan, kebiasaan hidup, bahasa, hubungan, kekrabatan atau bahkan unsure politik.Tapi terlepas dari definisi diatas, fakta bahwa Indonesia sebagai suatu bangsa yang memiliki pluralitas dan keragaman (diversity) yang tinggi tidak bisa dibantahkan. Tentu saja ini merupakan suatu kekayaan budaya dan bangsa yang harus kita pelihara dan pertahankan.
Namun ada satu hal yang harus kita pahami, bahwa segala hal selalu mempunyai dapak positif dan negatif, termasuk pada kasus keragaman budaya di negeri ini. Pada dampak positif ia dapat memberikan ruang terbuka untuk menjalin komunikasi sosial dan budaya, sehingga dapat terjadi pertukaran atau crossover antara budaya satu dengan budaya lain nya. Selain itu, ia juga membuka ruang untuk bersahabat dan saling menghargai satu budaya dengan budaya lain nya, tanpa ada batasan-batasan atau perbedaan.Adapun dampak negatif yang timbul dari multicultural di Indonesia ialah timbulnya pandangan primordialisme. Stephen K. Sanderson, menyebutkan primordialisme berkaitan dengan studi etnisitas, suatu pandangan bahwa identitas etnis merupakan hal yang melekat pada individu yang sulit dihapuskan. Memang di satu sisi sikap primordialisme berfungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subjektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang orang lain dari perspektif budaya mereka sendiri. Hal ini akan menyebabkan terjadinya benturan budaya (Clash of Cultture) atau dalam skala yang lebih besar, akan menimbulkan benturan antar peradaban (Clash of Civilization),dimana suautu peradaban akan memaksakan worldview mereka agad dapat diterima oleh peradaban lain nya.
Untuk mengatasi dampak negative yang mungkin ditimbulkan dari multicultural di Indonesia, perlu diimplementasikan konsep pendidikan multicultural. Menurut James Bank pendidikan multikultural ialah pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan ( anugrah tuhan atau sunatullah . Pendidikan bukanlah halyang serta merta sama untuk semua etnis atau golongan, tetapi ia harus diintegrasikan dengan budaya dan kultur yang ada pada etnis tersebut. Pendidikan juga harus menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial, sehingga dengan begini keragaman buadaya di Indonesia bukan lagi menjadi masalah dengan melahirkan pandangan primodialisme, tetapi dengan keragaman budaya yang ada justru akan melahirkan pandangan inklusif atau desentralisasi, dimana tidak ada satu kebudayaan yang lebih superior dibanding lain nya. Pendidikan multicultural dapat melahirkan pandangan tersebut pada segenap masyarakat.
Pada makalah ini, penulis berusaha untuk menjabarkan lebih lanjut mengenai bagaimana konsep dan implementasi pendidikan multikulturalisme, khususnya di Indonesi
Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini, antara lain :
1.      Apa itu pendidikan multikultural ?
2.      Apa konsep pendidikan multikultural ?
3.      Bagaimana pendidikan multikultural di Indonesia ?

1.2  Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini, antara lain :
1.      Untuk mengetahui pendidikan multikultural.
2.      Untuk mengetahui konsep pendidikan multikultural.
3.      Untuk mengetahui pendidikan multikultural di Indonesia.

1.3  Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari makalah ini, diantaranya :
1.      Dapat menjelaskan pendidikan multikultural.
2.      Dapat menjelaskan konsep pendidikan multikultural.
3.      Dapat menjelaskan pendidikan multikultural di Indonesia.


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1  Pendidikan Multikultural
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya) dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
Menurut A. Rifai Harahap, multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.
Jadi, Multikulturalisme adalah  kesejajaran budaya. Masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan.
Selanjutnya, harus diakui bahwa multikulturalisme kebangsaan Indonesia belum sepenuhnya dipahami oleh segenap warga masyarakat sebagai sesuatu yang given, takdir Tuhan, dan bukan faktor bentukan manusia. Memang masyarakat telah memahami sepenuhnya bahwa setiap manusia terlahir berbeda, baik secara fisik maupun non fisik, tetapi nalar kolektif masyarakat belum bisa menerima realitas bahwa setiap individu atau kelompok tertentu memiliki sistem keyakinan, budaya, adat, agama, dan tata cara ritual yang berbeda.
Kondisi multikulturalitas kebangsaan bisa diibaratkan sebagai pedang bermata ganda: di satu sisi, ia merupakan modalitas yang bisa menghasilkan energi positif; tetapi disisi lain, manakala keanekaragaman tersebut tidak bisa dikelola dengan baik, ia bisa menjadi ledakan destruktif yang bisa menghancurkan struktur dan pilar-pilar kebangsaan (disintegrasi bangsa).Lebih lanjut pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun keasadaran multikulturalisme dimaksud. Karena dalam tataran ideal, pendidikan seharusnya bisa berperan bagi terciptanya fundamen kehidupan multikultural yang terbebas dari kooptasi negara. Hal itu dapat berlangsung apabila ada perubahan

paradigma dalam pendidikan, yakni dimulai dari penyeragaman menuju identitas tunggal, lalu kearah pengakuan dan penghargaan keragaman identitas dalam kerangka penciptaan harmonisasi kehidupan.
Anderson dan Cusher (dalam Mahfud, 2009) bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Lebih lanjut Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Yang pertama, Content Integration yakni ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, the knowledge construction process yakni membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran. Yang ketiga, an equity paedagogy yakni menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. Fase keempat, prejudice reduction yakni mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbedaetnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Di Indonesia, pendidikan multikultural termasuk wacana yang relatif baru dan dipandang sebagai suatu pendekatan yang lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang dilakukan sejak tahun 1999/2000. Secara langsung atau tidak, kebijakan otonomi daerah tersebut berdampak pada dunia pendidikan untuk menciptakan otonomi pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan seiring dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila tidak dilaksanakan dengan hati-hati, kebijakan ini justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Pendidikan multikultural (Multicultural Education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dimensi lain mengatakan pendidikan muktikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang non eropa (Hilliard). Secara luas pendidikan multikultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial, dan agama.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultur dominan atau mainstream. Dalam konteks teorits, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu :pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan, ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat, pendidikan dwi-budaya. Kelima,pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.

2.2  Konsep Pendidikan Multikultural
Pemikiran-pemikiran tentang pendidikan multikultural, saat ini telah mengalami perubahan jika dibandingkan konsep awal yang muncul pada tahun 1960-an. Beberapa di antaranya membahas pendidikan multikultural sebagai suatu perubahan kurikulum, mungkin dengan menambah materi dan perspektif baru. Yang lain berbicara tentang isu iklim kelas dan gaya mengajar yang dipergunakan kelompok tertentu. Yang lain berfokus pada isu sistem dan kelembagaan seperti jurusan, tes baku, atau ketidakcocokan pendanaan antara golongan tertentu yang mendapat jatah lebih, sementara yang lain kurang mendapat perhatian. Sekalipun banyak perbedaan konsep pendidikan multikultural, ada sejumlah ide yang dimiliki bersama dari semua pemikiran dan merupakan dasar bagi pemahaman pendidikan multikultural, yaitu sebagai berikut.
a.      Penyiapan pelajar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat antar-budaya.
b.      Persiapan pengajar agar memudahkan belajar bagi siswa secara efektif, tanpa memperhatikan perbedaan atau persamaan budaya dengan dirinya.
c.       Partisipasi sekolah dalam menghilangkan kekurangpedulian dalam segala bentuknya. Pertama-tama dengan menghilangkan kekurangpedulian di sekolahnya sendiri, kemudian menghasilkan lulusan yang sadar dan aktif secara sosial dan kritis.
d.      Pendidikan berpusat pada siswa dengan meperhatikan aspirasi dan pengalaman siswa.
e.       Pendidik, aktivis, dan yang lain harus mengambil peranan lebih aktif dalam mengkaji kembali semua praktik pendidikan, termasuk teori belajar, pendekatan mengajar, evaluasi, psikologi sekolah dan bimbingan, materi pendidikan, serta buku teks.

2.2.1     Tujuan Pendidikan Multikultural
Lingkungan pendidikan adalah sebuah sistem yang terdiri dari banyak faktor dan variabel utama, seperti kultur sekolah, kebijakan sekolah, politik, serta formalisasi kurikulum dan bidang studi. Bila dalam hal tersebut terjadi perubahan maka hendaklah perubahan itu fokusnya untuk menciptakan dan memelihara lingkungan sekolah dalam kondisi multikultural yang efektif. Setiap anak seyogianya harus beradaptasi diri dengan lingkungan sekolah yang multikultural.
Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah mengubah pendekatan pelajaran dan pembelajaran ke arah memberi peluang yang sama pada setiap anak. Jadi tidak ada yang dikorbankan demi persatuan. Untuk itu, kelompok-kelompok harus damai, saling memahami, mengakhiri perbedaan tetapi tetap menekankan pada tujuan umum untuk mencapai persatuan. Siswa ditanamkan pemikiran lateral, keanekaragaman, dan keunikan itu dihargai. Ini berarti harus ada perubahan sikap, perilaku, dan nilai-nilai khususnya civitas akademika sekolah. Ketika siswa berada di antara sesamanya yang berlatar belakang berbeda mereka harus belajar satu sama lain, berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga dapat menerima perbedaan di antara mereka sebagai sesuatu yang memperkaya mereka.
Pendidikan multikultural paling tidak menyangkut tiga hal, yaitu: (a) ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, (b) gerakan pembaharuan pendidikan, dan (c) proses.
a.      Kesadaran Nilai Penting Keragaman Budaya
Kiranya perlu peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki karakteristik khusus karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya tertentu yang melekat pada diri masing-masing. Pendidikan multikultural berkaitan dengan ide bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya itu seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah. Perbedaan yang ada itu merupakan keniscayaan atau kepastian adanya namun perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya, perbedaan itu perlu diterima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap toleransi agar masing-masing dapat hidup berdampingan secara damai tanpa melihat unsure yang berbeda itu membeda-bedakan.
b.      Gerakan Pembaharuan Pendidikan
Ide penting yang lain dalam pendidikan multikultural adalah sebagian siswa karena karakateristiknya, ternyata ada yang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk belajar di sekolah favorit tertentu, sedang siswa dengan karakteristik budaya yang berbeda tidak memiliki kesempatan itu.
c.       Proses Pendidikan
Pendidikan multikultural yang juga merupakan proses pendidikan yang tujuannya tidak akan pernah terealisasikan secara penuh. Pendidikan multikultural adalah proses menjadi, proses yang berlangsung terus-menerus dan bukan sebagai sesuatu yang langsung tercapai. Tujuan pendidikan multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara untuh bukan sekedar meningkatkan skor.

Beberapa karakteristik institusional dari sekolah secara sistematis menolak kelompok untuk mendapat pendidikan yang sama, walaupun itu dilakukan secara halus, dalam arti dibungkus dalam bentuk aturan yang hanya bisa dipenuhi oleh segolongan tertentu dan tidak bisa dipenuhi oleh golongan yang lain. Ada kesenjangan ketika muncul fenomena sekolah favorit yang didomimasi oleh golongan orang kaya karena ada kebijakan lembaga yang mengharuskan untuk membayar uang pangkal yang mahal untuk bisa masuk dalam kelompok sekolah favorit itu.
Pendidikan multikultural bisa muncul berbentuk bidang studi, program dan praktik yang direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi berbagai kelompok. Sebagaimana ditunjukkan oleh Grant dan Seleeten, pendidikan multikultural bukan sekedar merupakan praktik aktual atau bidang studi atau program pendidikan semata, namun mencakup seluruh aspek-aspek pendidikan.

2.2.2     Paradigma Pendidikan Multikultural
Ali maksum menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia, dapat dilihat dari dua persepektif, yaitu: horisontal dan vertikal. Dalam perspektif horisontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budayanya. Dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa dapat dilihat dari tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya.
Pada satu sisi kemajemukan masyarakat memberikan side effect (dampak) secara positif. Namun pada sisi lain juga memberikan dampak negatif., karena faktor kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan konflik masyarakat antar kelompok masyarakat. Pada akhirnya, kionflik-konflik antar kelompok masyarakat tersebut melahirkan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial (Social disharmony). Pakar pendidikan, Syafri Sairin memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk yaitu:
a.      Perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (aces to  economic resource and to means of production).
b.      Perluasan batas-batas sosial budaya (social and cultural borderline expansion)
c.       Benturan kepentingan politik, ideologi, dan agama (conflict of politica, ideologi, and religious interest)
Menurut pandangan penulis, dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme penting karena akan mmengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam budaya, suku, ras, etnis, maupun agama. Paradigma di maksudkan bahwa, kita hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman  merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita.
Pendidikan multikultural juga dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk makro dan sekaligus makhluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercabut dari akar kemanusiaannya, sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat, dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang cepat, yang menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global. Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
a.      Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya” (berperadaban).
b.      Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural)
c.       Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
d.      Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Fungsi strategis pendidikan multikultural sebagai sebuah proses di mana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan. Dalam melaksanakan pendidikan multikultural mesti dikembangkan prinsip solidaritas, yaitu kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalan perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri.
                                                            
2.2.3     Model dan Pendekatan Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar; (3) transformasi masyarakat. Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.

Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural yaitu:
a.      Tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
b.      Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
c.       Karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
d.      Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
e.       Kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keIndonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Jadi, dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.      Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
b.      Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
c.       Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
d.      Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
e.       Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan. Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.

2.3  Pendidikan Multikultural Di Indonesia
Adapun multikultural di Indonesia bersifat budaya antaretnis yang kecil, yaitu budaya antarsuku bangsa. Keragaman budaya datang dari dalam bangsa Indonesia sendiri. Oleh sebab itu, hal ini sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat bagi keberhasilan pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia. Semangat Sumpah Pemuda dapat menjadi ruh yang kuat untuk mempersatukan warga negara Indonesia yang berbeda budaya. 
Masyarakat Indonesia sangat beragam dan tinggal di wilayah pulau-pulau yang tersebar berjauhan. Dalam Deklarasi Djoeanda laut Indonesia seluas 5,8 km2, di dalamnya terdapat lebih dari 17.500 pulau besar dan kecil dan dikelilingi garis pantai sepanjang lebih dari 80.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Hal ini menyebabkan interaksi dan integrasi tidak selamanya dapat berjalan lancar. Demikian pula kemajuan ekonomi sulit merata, sehingga terdapat ketimpangan kesejahteraan masyarakat, ini sangat rentan sebagai awal rasa ketidakpuasan yang berpotensi menjadi konflik.
Kondisi tersebut di atas dilengkapi pula dengan sistem pemerintahan yang kurang memperhatikan pembangunan kemanusiaan pada era terdahulu, kebijakan negara Indonesia didominasi oleh kepentingan ekonomi dan stabilitas nasional. Sektor pendidikan politik dan pembinaan bangsa kurang mendapat perhatian. Pada saat itu, masyarakat takut berbeda pandangan, sebab kemerdekaan mengeluarkan pendapat tidak mendapat tempat; kebebasan berpikir ikut terpasung; pembinaan kehidupan dalam keragaman nyaris berada pada titik nadir. 
Di dalam konteks perkembangan sistem politik Indonesia saat ini, pilihan perspektif pendidikan yang demikian memiliki peluang dan pendidikan multikultural justru sangat diperlukan sebagai landasan pengembangan sistem politik yang kuat. Pendidikan multi-kultural sangat menekankan pentingnya akomodasi hak setiap kebudayaan dan masyarakat sub-nasional untuk memelihara dan mempertahankan identitas kebudayaan dan masyarakat nasional. 

2.3.1        Alasan Perlunya Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan multikultural sangat penting bagi warga Negara Indonesia karena pada uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.

2.3.2        Urgensi Pendidikan Multikultural di Indonesia
Untuk mewujudkan multikulturalisme dalam dunia pendidikan, maka pendidikan multikultural juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum nasional, yang pada akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural, serta upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkannya.
a.      Sebagai sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan pendidikan yanng berbasis multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural. Dengan kata lain, multikulturalisme pendidikan ini sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya. Perubahan yang diharapkan dalam konteks pendidikan multikultural ini tidak terletak pada justifikasi angka atau statistik dan berorientasi kognitif ansich sebagaimana lazimnya penilaian keberhasilan pelaksanaan pendidikan di Negeri ini. Namun lebih dari itu, pada terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA.
b.      Supaya siswa tidak tercabut dari akar budaya
Pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina siswa agar tidak tercabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi. Dalam era globalisasi saat ini, pertemuan antar budaya menjadi ‘ancaman’ serius bagi anak didik. Untuk mensikapi realitas global tersebut, siswa hendaknya diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan. Mengingat beragamnya realitas kebudayaan di Negeri ini, dan di luar Negeri, siswa pada era globalisasi ini sudah tentu perlu diberi materi tentang pemahaman banyak budaya, atau pendidikan multikulturalisme, agar siswa tidak tercabut dari akar budayanya itu.
c.       Sebagai landasan pengembangan kurikulum Nasional
Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting. Pengembangan kurikulum masa depan yang berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut :
a)      Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan.
b)      Teori kurikulum tentang konten (curriculum konten), haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, dan generalisasi ke pengertian yang mencakup pula nilai moral, prosedur, proses dan ketrampilan yang harus dimiliki generasi muda.
c)      Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memerhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik yang hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa dan dunia yang harus diseragamkan oleh institusi pendidikan.
d)      Proses belajar yang dikembangkan untuk siswa haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomophisme yang tinggi dengan kenyataan sosial, artinya proses belajar yang mengandalkan siswa belajar secara individualistis dan bersaing secara kompetitif individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar kelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif.
e)      Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan yang dikembangkan.
Berdasarkan pembahasan tersebut, tinjauan secara teoritis, normatif serta kritis mengenai multikulturalisme pendidikan ialah :
a.      Tinjauan Teoritis
Menurut James A Banks, pendidikan multikultural ialah konsep, ide, atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Berpijak dengan dasar teori tersebut, pendidikan masa depan akan mempunyai paradigma baru berkaitan dengan pendidikan demokrasi yang mengakui adanya pluralitas budaya sekaligus memperkuat rasa persatuan nasional dari suatu bangsa negara. Karena tujuan pendidikan multikultural ini adalah menanamkan kepada siswa akan kesadaran (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai demokrasi (democration values) yang diperlukan dalam berbagai aktivitas sosial.
b.      Tinjauan Normatif
Multikulturalisme normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral antara keterikatan seseorang dalam suatu negara bangsa. Terdapat suatu ikatan moral dari anggota-anggotanya dalam batas-batas negara bangsa untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan bersama. Dalam kaitan ini, multikulturalisme pendidikan merupakan suatu kritik sosial dalam membangun keinginan bersama dari suatu kelompok, membangun suatu wadah di dalam pluralitas budaya yang ada dalam komunitas. Karena hakikatnya tidak semua proses pendidikan bisa disamakan antara budaya satu dengan yang lain, mengingat setiap negara mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda.
c.       Tinjauan Kritis
Karena pendidikan adalah upaya sadar meningkatkan martabat manusia demi meningkatkan taraf peradaban, maka sekolah merupakan lembaga pembangun peradaban. Oleh karena itu, harus berhasil membangun peradaban masyarakat. Untuk itulah pendidikan multikulturalisme sangat mendukung suatu peradaban manusia itu sendiri, akan tetapi apabila tidak ada fondasi yang kuat dalam menjalankan pendidikan yang multikultural ini maka akan terjadi suatu perpecahan dalam bangsa.

2.3.3        Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia
Sejak lama, rakyat Indonesia selalu diingatkan agar dapat hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras, dan antar golongan. Kita diserukan untuk mengerti, menghayati, dan melaksanakan kehidupan bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan dalam perbedaan sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Artinya kita selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan SARA sebagai unsur utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan dijadikan alasan terjadinya konflik. Dalam studi sosial, ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai (koeksistensi damai) ini merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme.
Kesadaran akan pentingnya keragaman mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekan kesatuan daripada keragaman. Kemajemukan dalam banyak hal, seperti suku, agama, etnis, golongan, yang seharusnya menjadi hasanah, dan modal untuk membangun seringkali dimanipulasi oleh penguasa untuk mencapai kepentingan politiknya. Mungkin ketika kemudian konflik bergejolak di daerah, negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama “kesatuan bangsa” atau “stabilitas nasional”. Konflik sosial yang sering muncul sebagai akibat pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan penyebab adanya konflik sosial. 
Bertolak dari kenyataan itu, kini dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Dari kebijakan itu nantinya diharapkan masyarakat dapat mengelola perbedaan yang ada secara positif. Dengan demikian, perbedaan dalam beragam area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik tetapi sebaliknya mendorong dinamika masyarakat ke arah lebih baik. Namun demikian, problema pendidikan multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problema yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah, dan kemajuan sosial ekonomi dapat memicu munculnya problema pendidikan multikultural di Indonesia, antara lain sebagai berikut:
a.      Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi aneka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antarabudaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Sebab dari konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama, dan ras. Misalnya peristiwa Sampit. Mengapa? Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui pendidikan multikultural. Dengan adanya pendidikan multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati, dan bisa saling berkomunikasi.
b.      Pergeseran Kekuasaan dari Pusat Ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep “putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu itu terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang.
Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung.
c.       Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (integrating force) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional, dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. 
Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan. Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga ketika Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif, dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.
d.      Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik, dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya, kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan pada korps memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.
e.       Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan antipati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.
Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhinneka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya. 
f.        Kesejahteraan Ekonomi Yang Tidak Merata Di Antara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demontrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpahkan kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini.
g.      Keberpihakan yang Salah dari Media Massa Khususnya Televisi Swasta dalam Memberitakan Peristiwa
Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadi adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu, yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat “hukuman yang setimpal” baik dari segi hukum maupun sanksi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau terus menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik yang negatif. Sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi trend yang biasa dilakukan. 
Orang menjadi kurang menghormati lembah perkawinan. Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi tontonan.







BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Pengertian “Multikultural” mencakup pengalaman yang membentuk persepsi umum terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi, jenis identitas budaya, bahasa, ras dan berkebutuhan khusus. Pendidikan Multikultural merupakan ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus dan siswa merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis.
Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai pulau, ras, suku dan kebudayaan-kebudayaan lain. Untuk itu sebagai warga Negara yang cinta tanah air kita harus menjaga keanekaragaman kebudayaan kita. Kita dianjurkan untuk hidup saling berdampingan satu sama lain sehingga tidak ada pertengkaran dan perpecahan kebudayaan.
Pendidikan multikultural merupakan pembelajaran yang berbasis kebudayaan. Dalam pembelajaran kita wajib mengkaitkan materi dengan kebudayaan yang ada sehingga kita lebih jelas mengenai pengamalan-pengamalan apa saja yang ada di dalamnya. Pendidikan multikulturalis dapat mencakup tiga jenis transformasi, yakni : (1) transformasi diri, (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, (3) transformasi masyarakat. Urgensi pendidikan mutikultural di Indonesia, yakni sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, supaya siswa tidak tercabut dari akar budaya, dan sebagai landasan pengembangan kurikulum Nasional.

3.2.  SARAN
Adapun saran yang dapat dijabarkan dalam makalah ini adalah Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.

DAFTAR PUSTAKA

Buchori, Mochtar. 2004. Indonesia belajarlah; Membangun Pendidikan Indonesia. Semarang : Gerbang Madani Indonesia.
Mahfud, Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: A-Ruzz Media.