BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak
zaman dahulu, bangsa Indonesia sudah dikenal sebagai sebuah masyarakat yang
sangat majemuk. Kemajemukan Indonesia ditunjukkan dengan terdapatnya berbagai
macam budaya, suku, etnis, dan agama yang ada di dalam nya. Terbentang dari
Sabang hingga Merauke, setidaknya terdapat tidak kurang dari 1331 suku di
Indonesia menurut data dari Biro Pusat Statistik (BPS) ditahun 2010. Tapi itu baru
yang tercatat, Menurut Bauman, sulit untuk mendefinisikan suku. Pada umumnya
seorang mengidentifikasi dirinya pada suku tertentu berdasar keturunan,
kebiasaan hidup, bahasa, hubungan, kekrabatan atau bahkan unsure politik.Tapi
terlepas dari definisi diatas, fakta bahwa Indonesia sebagai suatu bangsa yang
memiliki pluralitas dan keragaman (diversity) yang tinggi tidak bisa
dibantahkan. Tentu saja ini merupakan suatu kekayaan budaya dan bangsa yang
harus kita pelihara dan pertahankan.
Namun
ada satu hal yang harus kita pahami, bahwa segala hal selalu mempunyai dapak
positif dan negatif, termasuk pada kasus keragaman budaya di negeri ini. Pada
dampak positif ia dapat memberikan ruang terbuka untuk menjalin komunikasi
sosial dan budaya, sehingga dapat terjadi pertukaran atau crossover antara
budaya satu dengan budaya lain nya. Selain itu, ia juga membuka ruang untuk
bersahabat dan saling menghargai satu budaya dengan budaya lain nya, tanpa ada
batasan-batasan atau perbedaan.Adapun dampak negatif yang timbul dari
multicultural di Indonesia ialah timbulnya pandangan primordialisme. Stephen K.
Sanderson, menyebutkan primordialisme berkaitan dengan studi etnisitas, suatu
pandangan bahwa identitas etnis merupakan hal yang melekat pada individu yang
sulit dihapuskan. Memang di satu sisi sikap primordialisme berfungsi untuk
melestarikan budaya kelompoknya. Namun di sisi lain sikap ini dapat membuat
individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang
cenderung bersifat subjektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan
selalu memandang orang lain dari perspektif budaya mereka sendiri. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya benturan budaya (Clash of Cultture) atau dalam skala
yang lebih besar, akan menimbulkan benturan antar peradaban (Clash of
Civilization),dimana suautu peradaban akan memaksakan worldview mereka agad
dapat diterima oleh peradaban lain nya.
Untuk
mengatasi dampak negative yang mungkin ditimbulkan dari multicultural di
Indonesia, perlu diimplementasikan konsep pendidikan multicultural. Menurut
James Bank pendidikan multikultural ialah pendidikan untuk people of color.
Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai
keniscayaan ( anugrah tuhan atau sunatullah . Pendidikan bukanlah halyang serta
merta sama untuk semua etnis atau golongan, tetapi ia harus diintegrasikan
dengan budaya dan kultur yang ada pada etnis tersebut. Pendidikan juga harus menyesuaikan
metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial, sehingga
dengan begini keragaman buadaya di Indonesia bukan lagi menjadi masalah dengan
melahirkan pandangan primodialisme, tetapi dengan keragaman budaya yang ada
justru akan melahirkan pandangan inklusif atau desentralisasi, dimana tidak ada
satu kebudayaan yang lebih superior dibanding lain nya. Pendidikan
multicultural dapat melahirkan pandangan tersebut pada segenap masyarakat.
Pada
makalah ini, penulis berusaha untuk menjabarkan lebih lanjut mengenai bagaimana
konsep dan implementasi pendidikan multikulturalisme, khususnya di Indonesi
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah pada makalah ini, antara lain :
1.
Apa itu
pendidikan multikultural ?
2.
Apa konsep
pendidikan multikultural ?
3.
Bagaimana
pendidikan multikultural di Indonesia ?
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini,
antara lain :
1.
Untuk mengetahui
pendidikan multikultural.
2.
Untuk mengetahui
konsep pendidikan multikultural.
3.
Untuk mengetahui
pendidikan multikultural di Indonesia.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari
makalah ini, diantaranya :
1.
Dapat
menjelaskan pendidikan multikultural.
2.
Dapat
menjelaskan konsep pendidikan multikultural.
3.
Dapat
menjelaskan pendidikan multikultural di Indonesia.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan
Multikultural
Akar kata
multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme
dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya) dan isme (aliran/paham).
Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang
hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
Menurut A. Rifai Harahap, multikulturalisme
mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh
masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan
sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan
yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.
Jadi, Multikulturalisme adalah kesejajaran
budaya. Masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis harus diposisikan
sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih
dominan.
Selanjutnya, harus diakui
bahwa multikulturalisme kebangsaan Indonesia belum sepenuhnya dipahami oleh
segenap warga masyarakat sebagai sesuatu yang given, takdir Tuhan, dan bukan faktor bentukan manusia. Memang
masyarakat telah memahami sepenuhnya bahwa setiap manusia terlahir berbeda,
baik secara fisik maupun non fisik, tetapi nalar kolektif masyarakat belum bisa
menerima realitas bahwa setiap individu atau kelompok tertentu memiliki sistem
keyakinan, budaya, adat, agama, dan tata cara ritual yang berbeda.
Kondisi multikulturalitas
kebangsaan bisa diibaratkan sebagai pedang bermata ganda: di satu sisi, ia
merupakan modalitas yang bisa menghasilkan energi positif; tetapi disisi lain,
manakala keanekaragaman tersebut tidak bisa dikelola dengan baik, ia bisa
menjadi ledakan destruktif yang bisa menghancurkan struktur dan pilar-pilar
kebangsaan (disintegrasi bangsa).Lebih lanjut pendidikan merupakan wahana yang
paling tepat untuk membangun keasadaran multikulturalisme dimaksud. Karena
dalam tataran ideal, pendidikan seharusnya bisa berperan bagi terciptanya
fundamen kehidupan multikultural yang terbebas dari kooptasi negara. Hal itu
dapat berlangsung apabila ada perubahan
paradigma dalam pendidikan, yakni dimulai dari
penyeragaman menuju identitas tunggal, lalu kearah pengakuan dan penghargaan
keragaman identitas dalam kerangka penciptaan harmonisasi kehidupan.
Anderson dan Cusher (dalam Mahfud, 2009) bahwa
pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman
kebudayaan. Lebih lanjut Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan
multibudaya dalam empat dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
Yang pertama, Content Integration yakni ada upaya untuk mempersatukan
kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, the knowledge construction
process yakni membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah
mata pelajaran. Yang ketiga, an equity paedagogy yakni menyesuaikan metode pengajaran
dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa
yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. Fase keempat, prejudice
reduction yakni mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode
pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang
berbedaetnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan
inklusif.
Di Indonesia, pendidikan multikultural termasuk
wacana yang relatif baru dan dipandang sebagai suatu pendekatan yang lebih
sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan
desentralisasi yang dilakukan sejak tahun 1999/2000. Secara langsung atau
tidak, kebijakan otonomi daerah tersebut berdampak pada dunia pendidikan untuk
menciptakan otonomi pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan multikultural yang
dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan
seiring dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila tidak
dilaksanakan dengan hati-hati, kebijakan ini justru akan menjerumuskan kita ke
dalam perpecahan nasional.
Pendidikan multikultural (Multicultural Education) merupakan
respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan
persamaan hak bagi setiap kelompok. Dimensi lain mengatakan pendidikan
muktikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk
memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap
orang-orang non eropa (Hilliard). Secara luas pendidikan multikultural mencakup
seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras,
budaya, strata sosial, dan agama.
Mengenai fokus pendidikan
multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan
multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial,
agama dan kultur dominan atau mainstream. Dalam konteks teorits, belajar dari
model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan
oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu :pertama,
pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua,
pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan, ketiga,
pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat, pendidikan dwi-budaya.
Kelima,pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
2.2 Konsep
Pendidikan Multikultural
Pemikiran-pemikiran tentang pendidikan multikultural, saat ini telah
mengalami perubahan jika dibandingkan konsep awal yang muncul pada tahun
1960-an. Beberapa di antaranya membahas pendidikan multikultural sebagai suatu
perubahan kurikulum, mungkin dengan menambah materi dan perspektif baru. Yang
lain berbicara tentang isu iklim kelas dan gaya mengajar yang dipergunakan
kelompok tertentu. Yang lain berfokus pada isu sistem dan kelembagaan seperti
jurusan, tes baku, atau ketidakcocokan pendanaan antara golongan tertentu yang
mendapat jatah lebih, sementara yang lain kurang mendapat perhatian. Sekalipun
banyak perbedaan konsep pendidikan multikultural, ada sejumlah ide yang
dimiliki bersama dari semua pemikiran dan merupakan dasar bagi pemahaman
pendidikan multikultural, yaitu sebagai berikut.
a.
Penyiapan pelajar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat
antar-budaya.
b.
Persiapan pengajar agar memudahkan belajar bagi siswa secara efektif,
tanpa memperhatikan perbedaan atau persamaan budaya dengan dirinya.
c.
Partisipasi sekolah dalam menghilangkan kekurangpedulian dalam segala
bentuknya. Pertama-tama dengan menghilangkan kekurangpedulian di sekolahnya
sendiri, kemudian menghasilkan lulusan yang sadar dan aktif secara sosial dan
kritis.
d.
Pendidikan berpusat pada siswa dengan meperhatikan aspirasi dan
pengalaman siswa.
e.
Pendidik, aktivis, dan yang lain harus mengambil peranan lebih aktif
dalam mengkaji kembali semua praktik pendidikan, termasuk teori belajar,
pendekatan mengajar, evaluasi, psikologi sekolah dan bimbingan, materi
pendidikan, serta buku teks.
2.2.1 Tujuan Pendidikan
Multikultural
Lingkungan pendidikan adalah sebuah sistem yang
terdiri dari banyak faktor dan variabel utama, seperti kultur sekolah,
kebijakan sekolah, politik, serta formalisasi kurikulum dan bidang studi. Bila
dalam hal tersebut terjadi perubahan maka hendaklah perubahan itu fokusnya untuk
menciptakan dan memelihara lingkungan sekolah dalam kondisi multikultural yang
efektif. Setiap anak seyogianya harus beradaptasi diri dengan lingkungan
sekolah yang multikultural.
Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah
mengubah pendekatan pelajaran dan pembelajaran ke arah memberi peluang yang
sama pada setiap anak. Jadi tidak ada yang dikorbankan demi persatuan. Untuk
itu, kelompok-kelompok harus damai, saling memahami, mengakhiri perbedaan
tetapi tetap menekankan pada tujuan umum untuk mencapai persatuan. Siswa
ditanamkan pemikiran lateral, keanekaragaman, dan keunikan itu dihargai. Ini
berarti harus ada perubahan sikap, perilaku, dan nilai-nilai khususnya civitas
akademika sekolah. Ketika siswa berada di antara sesamanya yang berlatar
belakang berbeda mereka harus belajar satu sama lain, berinteraksi dan
berkomunikasi, sehingga dapat menerima perbedaan di antara mereka sebagai
sesuatu yang memperkaya mereka.
Pendidikan multikultural paling tidak menyangkut
tiga hal, yaitu: (a) ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, (b)
gerakan pembaharuan pendidikan, dan (c) proses.
a. Kesadaran Nilai Penting Keragaman Budaya
Kiranya
perlu peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki karakteristik khusus
karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya
tertentu yang melekat pada diri masing-masing. Pendidikan multikultural
berkaitan dengan ide bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya
itu seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah.
Perbedaan yang ada itu merupakan keniscayaan atau kepastian adanya namun
perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya,
perbedaan itu perlu diterima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap toleransi
agar masing-masing dapat hidup berdampingan secara damai tanpa melihat unsure
yang berbeda itu membeda-bedakan.
b. Gerakan Pembaharuan Pendidikan
Ide
penting yang lain dalam pendidikan multikultural adalah sebagian siswa karena
karakateristiknya, ternyata ada yang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk
belajar di sekolah favorit tertentu, sedang siswa dengan karakteristik budaya
yang berbeda tidak memiliki kesempatan itu.
c. Proses
Pendidikan
Pendidikan
multikultural yang juga merupakan proses pendidikan yang tujuannya tidak akan
pernah terealisasikan secara penuh. Pendidikan multikultural adalah proses
menjadi, proses yang berlangsung terus-menerus dan bukan sebagai sesuatu yang
langsung tercapai. Tujuan pendidikan multikultural adalah untuk memperbaiki
prestasi secara untuh bukan sekedar meningkatkan skor.
Beberapa karakteristik institusional dari sekolah
secara sistematis menolak kelompok untuk mendapat pendidikan yang sama,
walaupun itu dilakukan secara halus, dalam arti dibungkus dalam bentuk aturan
yang hanya bisa dipenuhi oleh segolongan tertentu dan tidak bisa dipenuhi oleh
golongan yang lain. Ada kesenjangan ketika muncul fenomena sekolah favorit yang
didomimasi oleh golongan orang kaya karena ada kebijakan lembaga yang
mengharuskan untuk membayar uang pangkal yang mahal untuk bisa masuk dalam
kelompok sekolah favorit itu.
Pendidikan multikultural bisa muncul berbentuk
bidang studi, program dan praktik yang direncanakan lembaga pendidikan untuk
merespon tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi berbagai kelompok. Sebagaimana ditunjukkan
oleh Grant dan Seleeten, pendidikan multikultural bukan sekedar merupakan
praktik aktual atau bidang studi atau program pendidikan semata, namun mencakup
seluruh aspek-aspek pendidikan.
2.2.2 Paradigma Pendidikan
Multikultural
Ali maksum menggambarkan bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan
bangsa Indonesia, dapat dilihat dari dua persepektif, yaitu: horisontal dan
vertikal. Dalam perspektif horisontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat
dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan
budayanya. Dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa dapat dilihat dari
tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya.
Pada satu sisi kemajemukan masyarakat memberikan
side effect (dampak) secara positif. Namun pada sisi lain juga memberikan
dampak negatif., karena faktor kemajemukan itulah justru terkadang sering
menimbulkan konflik masyarakat antar kelompok masyarakat. Pada akhirnya,
kionflik-konflik antar kelompok masyarakat tersebut melahirkan distabilitas
keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial (Social disharmony).
Pakar pendidikan, Syafri Sairin memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat
majemuk yaitu:
a.
Perebutan sumber
daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (aces to economic resource and to means of
production).
b.
Perluasan
batas-batas sosial budaya (social and cultural borderline expansion)
c.
Benturan
kepentingan politik, ideologi, dan agama (conflict of politica, ideologi, and
religious interest)
Menurut pandangan penulis, dalam menghadapi
pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu
paradigma pendidikan multikultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme
penting karena akan mmengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan
toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam
budaya, suku, ras, etnis, maupun agama. Paradigma di maksudkan bahwa, kita
hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita.
Pendidikan multikultural juga dimaksudkan bahwa
manusia dipandang sebagai makhluk makro dan sekaligus makhluk mikro yang tidak
akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang
kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercabut dari akar kemanusiaannya,
sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak
yang kuat, dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang cepat, yang
menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global. Pendidikan
multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
a.
Tujuannya
membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya”
(berperadaban).
b.
Materinya
mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai
kelompok etnis (kultural)
c.
Metodenya
demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa
dan kelompok etnis (multikulturalis).
d.
Evaluasinya
ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi
persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Fungsi strategis pendidikan multikultural sebagai
sebuah proses di mana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem
standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan.
Dalam melaksanakan pendidikan multikultural mesti dikembangkan prinsip
solidaritas, yaitu kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalan perlawanan demi
pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri.
2.2.3 Model dan
Pendekatan Pendidikan Multikultural
Pendidikan
multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti
yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis
transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses
belajar mengajar; (3) transformasi masyarakat. Menyusun pendidikan
multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok mengandung
tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas
"merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang
ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan
apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami
diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari
budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural
lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang
toleran dan bebas toleransi.
Ada beberapa pendekatan dalam proses
pendidikan multikultural yaitu:
a.
Tidak lagi
terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan atau
pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang
lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan
pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi
kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan
justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program
sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
b.
Menghindari
pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah
sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan
kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Dalam konteks
pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para
penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan
kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik
mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai
kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
c.
Karena
pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya
membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki
kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung
sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan
pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok
adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi
pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara
logis.
d.
Pendidikan
multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan
mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
e.
Kemungkinan
bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan
kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini
kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara
pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk
sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan
kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran
ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk
menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui
kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks
keIndonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan
dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau
individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu
tantangan budaya atau tradisi tertentu. Jadi, dapat dipahami inti masyarakat
adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif
lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap
watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas
terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari
ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat
berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang
menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah
lain masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam
melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar
dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.
Masyarakat tidak
ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan
selalu berkembang.
b.
Masyarakat
bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan
dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
c.
Individu-individu,
di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan
penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan
sosial.
d.
Setiap
masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu
dan komunitas yang membentuk masyarakat.
e.
Pertumbuhan individu
di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai
yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas
ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan
pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta
didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang
penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan. Untuk itu,
setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap
terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal
balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat
dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.
2.3 Pendidikan
Multikultural Di Indonesia
Adapun multikultural di Indonesia bersifat budaya
antaretnis yang kecil, yaitu budaya antarsuku bangsa. Keragaman budaya datang
dari dalam bangsa Indonesia sendiri. Oleh sebab itu, hal ini sebenarnya dapat
menjadi modal yang kuat bagi keberhasilan pelaksanaan pendidikan multikultural
di Indonesia. Semangat Sumpah Pemuda dapat menjadi ruh yang kuat untuk
mempersatukan warga negara Indonesia yang berbeda budaya.
Masyarakat Indonesia sangat
beragam dan tinggal di wilayah pulau-pulau yang tersebar berjauhan. Dalam
Deklarasi Djoeanda laut Indonesia seluas 5,8 km2, di dalamnya terdapat lebih
dari 17.500 pulau besar dan kecil dan dikelilingi garis pantai sepanjang lebih
dari 80.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada.
Hal ini menyebabkan interaksi dan integrasi tidak selamanya dapat berjalan
lancar. Demikian pula kemajuan ekonomi sulit merata, sehingga terdapat
ketimpangan kesejahteraan masyarakat, ini sangat rentan sebagai awal rasa
ketidakpuasan yang berpotensi menjadi konflik.
Kondisi tersebut di atas dilengkapi pula dengan
sistem pemerintahan yang kurang memperhatikan pembangunan kemanusiaan pada era
terdahulu, kebijakan negara Indonesia didominasi oleh kepentingan ekonomi dan
stabilitas nasional. Sektor pendidikan politik dan pembinaan bangsa kurang
mendapat perhatian. Pada saat itu, masyarakat takut berbeda pandangan, sebab
kemerdekaan mengeluarkan pendapat tidak mendapat tempat; kebebasan berpikir
ikut terpasung; pembinaan kehidupan dalam keragaman nyaris berada pada titik
nadir.
Di dalam konteks perkembangan sistem politik
Indonesia saat ini, pilihan perspektif pendidikan yang demikian memiliki
peluang dan pendidikan multikultural justru sangat diperlukan sebagai landasan
pengembangan sistem politik yang kuat. Pendidikan multi-kultural sangat
menekankan pentingnya akomodasi hak setiap kebudayaan dan masyarakat
sub-nasional untuk memelihara dan mempertahankan identitas kebudayaan dan
masyarakat nasional.
2.3.1
Alasan
Perlunya Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan multikultural sangat penting bagi warga
Negara Indonesia karena pada uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan
kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun
kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama,
budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan
spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada
peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan
membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku,
budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di
sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi
muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara
sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai
harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural
disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika
mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai
jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma
multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU
N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa
pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari
pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek,
apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih
jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan
atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti
inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang
agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan
uniformitas global.
2.3.2
Urgensi
Pendidikan Multikultural di Indonesia
Untuk mewujudkan multikulturalisme
dalam dunia pendidikan, maka pendidikan multikultural juga perlu dimasukkan ke
dalam kurikulum nasional, yang pada akhirnya dapat menciptakan tatanan
masyarakat Indonesia yang multikultural, serta upaya-upaya lain yang dapat
dilakukan guna mewujudkannya.
a.
Sebagai sarana
alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan pendidikan yanng
berbasis multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata
bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang
kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural. Dengan kata
lain, multikulturalisme pendidikan ini sebagai sarana alternatif pemecahan
konflik sosial-budaya. Perubahan yang diharapkan dalam konteks pendidikan
multikultural ini tidak terletak pada justifikasi angka atau statistik dan
berorientasi kognitif ansich sebagaimana
lazimnya penilaian keberhasilan pelaksanaan pendidikan di Negeri ini. Namun
lebih dari itu, pada terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam
kehidupan masyarakat dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh
perbedaan budaya dan SARA.
b.
Supaya siswa
tidak tercabut dari akar budaya
Pendidikan multikultural juga
signifikan dalam membina siswa agar tidak tercabut dari akar budaya yang ia
miliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era
globalisasi. Dalam era globalisasi saat ini, pertemuan antar budaya menjadi
‘ancaman’ serius bagi anak didik. Untuk mensikapi realitas global tersebut,
siswa hendaknya diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga
mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek
kebudayaan. Mengingat beragamnya realitas kebudayaan di Negeri ini, dan di luar
Negeri, siswa pada era globalisasi ini sudah tentu perlu diberi materi tentang
pemahaman banyak budaya, atau pendidikan multikulturalisme, agar siswa tidak
tercabut dari akar budayanya itu.
c.
Sebagai landasan
pengembangan kurikulum Nasional
Dalam melakukan pengembangan
kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna
memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa
dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan multikultural sebagai
landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting. Pengembangan kurikulum
masa depan yang berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan
berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut :
a)
Mengubah
filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi
yang lebih sesuai dengan tujuan, misi dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan
unit pendidikan.
b)
Teori kurikulum
tentang konten (curriculum konten),
haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif
yang berisikan fakta, teori, dan generalisasi ke pengertian yang mencakup pula
nilai moral, prosedur, proses dan ketrampilan yang harus dimiliki generasi
muda.
c)
Teori belajar
yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memerhatikan keragaman sosial,
budaya, ekonomi dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori
psikologi belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya,
politik yang hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa dan dunia yang
harus diseragamkan oleh institusi pendidikan.
d)
Proses belajar
yang dikembangkan untuk siswa haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki
tingkat isomophisme yang tinggi dengan kenyataan sosial, artinya proses belajar
yang mengandalkan siswa belajar secara individualistis dan bersaing secara
kompetitif individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar
kelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif.
e)
Evaluasi yang
digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta
didik, sesuai dengan tujuan yang dikembangkan.
Berdasarkan pembahasan tersebut,
tinjauan secara teoritis, normatif serta kritis mengenai multikulturalisme
pendidikan ialah :
a. Tinjauan Teoritis
Menurut James A
Banks, pendidikan multikultural ialah konsep, ide, atau falsafah sebagai suatu
rangkaian kepercayaan (set of believe)
dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis
dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Berpijak dengan
dasar teori tersebut, pendidikan masa depan akan mempunyai paradigma baru
berkaitan dengan pendidikan demokrasi yang mengakui adanya pluralitas budaya
sekaligus memperkuat rasa persatuan nasional dari suatu bangsa negara. Karena
tujuan pendidikan multikultural ini adalah menanamkan kepada siswa akan kesadaran
(plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai demokrasi (democration values) yang diperlukan
dalam berbagai aktivitas sosial.
b. Tinjauan Normatif
Multikulturalisme
normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral antara keterikatan seseorang dalam
suatu negara bangsa. Terdapat suatu ikatan moral dari anggota-anggotanya dalam
batas-batas negara bangsa untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang telah
menjadi kesepakatan bersama. Dalam kaitan ini, multikulturalisme pendidikan
merupakan suatu kritik sosial dalam membangun keinginan bersama dari suatu
kelompok, membangun suatu wadah di dalam pluralitas budaya yang ada dalam
komunitas. Karena hakikatnya tidak semua proses pendidikan bisa disamakan
antara budaya satu dengan yang lain, mengingat setiap negara mempunyai
kebudayaan yang berbeda-beda.
c. Tinjauan Kritis
Karena
pendidikan adalah upaya sadar meningkatkan martabat manusia demi meningkatkan
taraf peradaban, maka sekolah merupakan lembaga pembangun peradaban. Oleh
karena itu, harus berhasil membangun peradaban masyarakat. Untuk itulah
pendidikan multikulturalisme sangat mendukung suatu peradaban manusia itu
sendiri, akan tetapi apabila tidak ada fondasi yang kuat dalam menjalankan
pendidikan yang multikultural ini maka akan terjadi suatu perpecahan dalam
bangsa.
2.3.3
Problema
Pendidikan Multikultural di Indonesia
Sejak lama, rakyat Indonesia selalu diingatkan agar
dapat hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku
bangsa, agama, ras, dan antar golongan. Kita diserukan untuk mengerti,
menghayati, dan melaksanakan kehidupan bersama demi terciptanya persatuan dan
kesatuan dalam perbedaan sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Artinya
kita selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan SARA sebagai
unsur utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan dijadikan alasan terjadinya
konflik. Dalam studi sosial, ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai
(koeksistensi damai) ini merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung dalam
multikulturalisme.
Kesadaran akan pentingnya keragaman mulai muncul
seiring gagalnya upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap
terlalu menekan kesatuan daripada keragaman. Kemajemukan dalam banyak hal,
seperti suku, agama, etnis, golongan, yang seharusnya menjadi hasanah, dan
modal untuk membangun seringkali dimanipulasi oleh penguasa untuk mencapai
kepentingan politiknya. Mungkin ketika kemudian konflik bergejolak di daerah,
negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama “kesatuan
bangsa” atau “stabilitas nasional”. Konflik sosial yang sering muncul sebagai
akibat pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan penyebab adanya konflik
sosial.
Bertolak dari kenyataan itu, kini dirasakan semakin
perlunya kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Dari kebijakan itu
nantinya diharapkan masyarakat dapat mengelola perbedaan yang ada secara
positif. Dengan demikian, perbedaan dalam beragam area kehidupan tidak memicu
prasangka atau konflik tetapi sebaliknya mendorong dinamika masyarakat ke arah
lebih baik. Namun demikian, problema pendidikan multikultural di Indonesia
memiliki keunikan yang tidak sama dengan problema yang dihadapi oleh negara
lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah, dan kemajuan sosial
ekonomi dapat memicu munculnya problema pendidikan multikultural di Indonesia,
antara lain sebagai berikut:
a.
Keragaman
Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini
menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang
memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia
yang multikultural. Namun kondisi aneka budaya itu sangat berpotensi memecah
belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu
muncul jika tidak ada komunikasi antarabudaya daerah. Tidak adanya komunikasi
dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi
konflik. Sebab dari konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia
dilatarbelakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama, dan ras. Misalnya
peristiwa Sampit. Mengapa? Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk
dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam
mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang
mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu
manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk
ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui pendidikan
multikultural. Dengan adanya pendidikan multikultural itu diharapkan masing-masing
warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati, dan bisa saling
berkomunikasi.
b.
Pergeseran
Kekuasaan dari Pusat Ke Daerah
Sejak dilanda
arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan
baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah
persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari
pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan
keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan
masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah
kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan
dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu
bersentuhan dengan kekuasaaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk
merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu
kedaerahan.
Konsep “putra
daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang
merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan
menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang
diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif
dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan
persamaan. Namun bila isu itu terus menerus dihembuskan justru akan membuat
orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh
isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan)
dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di
antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang.
Konsep pembagian
wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini
selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari
warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan
ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu
yang tertindas dan kurang beruntung.
c.
Kurang Kokohnya
Nasionalisme
Keragaman budaya
ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (integrating force) seluruh
pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian
nasional, dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi
dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat
perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin
semarak.
Persepsi
sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila
itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan. Pada masa Orde Baru
kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga ketika Orde Baru tumbang,
maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu
ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal
yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada
hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun
dengan cara-cara yang edukatif, persuasif, dan manusiawi bukan dengan
pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh
untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme
yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan
kesatuan bangsa ini.
d.
Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam
arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yang
menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik, dan kelompok
lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini
banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan
suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak
bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya
dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat.
Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda
yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya, kalah menunjukkan gejala
ini.
Kecintaan dan
kebanggaan itu bila ditunjukkan pada korps memang baik dan sangat diperlukan.
Namun kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi
kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini
menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara
oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang
kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini.
Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku
dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah
disintegrasi bangsa.
e.
Konflik Kesatuan
Nasional dan Multikultural
Ada tarik
menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di
satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada
stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep
stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan
politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh
ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan
pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan antipati
terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi
integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan
damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan
diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang
berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.
Di sisi
multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari
kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah
pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua
Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan
multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM
yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah
mendirikan Kampung Bhinneka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya.
f.
Kesejahteraan
Ekonomi Yang Tidak Merata Di Antara Kelompok Budaya
Kejadian yang
nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah
diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga
pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli.
Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata
dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan
orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian
dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat
di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang
akan ikut terlibat dalam demontrasi yang dia sendiri tidak mengetahui
maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal
ini.
Orang akan
dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika
himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpahkan kekesalan mereka
pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak
mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang
dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab dalam berbagai peristiwa di
tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi
kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam
peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai
mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah
tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini.
g.
Keberpihakan
yang Salah dari Media Massa Khususnya Televisi Swasta dalam Memberitakan
Peristiwa
Di antara media
massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan
kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan
tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadi adanya
pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan
tertentu, yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan
artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan
tidak mendapat “hukuman yang setimpal” baik dari segi hukum maupun sanksi
kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang
luhur. Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu mendapat
perhatian publik, tetapi kalau terus menerus diberitakan setiap hari mulai pagi
hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap
nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian
rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik
yang negatif. Sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya
baru dan menjadi trend yang biasa dilakukan.
Orang menjadi
kurang menghormati lembah perkawinan. Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu
yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat mendidik orang untuk terlalu
mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu juga tampilan yang
seronok mengundang birahi, pengudaraan kejahatan baru atau pun iklan yang
bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas
dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan
bacaan yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca
koran sudah menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi
tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi tontonan.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Pengertian “Multikultural” mencakup pengalaman yang
membentuk persepsi umum terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi,
jenis identitas budaya, bahasa, ras dan berkebutuhan khusus. Pendidikan
Multikultural merupakan ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses
pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan
supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus dan siswa
merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu
akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis.
Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri dari
berbagai pulau, ras, suku dan kebudayaan-kebudayaan lain. Untuk itu sebagai
warga Negara yang cinta tanah air kita harus menjaga keanekaragaman kebudayaan
kita. Kita dianjurkan untuk hidup saling berdampingan satu sama lain sehingga
tidak ada pertengkaran dan perpecahan kebudayaan.
Pendidikan multikultural merupakan pembelajaran yang
berbasis kebudayaan. Dalam pembelajaran kita wajib mengkaitkan materi dengan
kebudayaan yang ada sehingga kita lebih jelas mengenai pengamalan-pengamalan
apa saja yang ada di dalamnya. Pendidikan
multikulturalis dapat mencakup tiga jenis transformasi, yakni : (1)
transformasi diri, (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, (3)
transformasi masyarakat. Urgensi pendidikan mutikultural di Indonesia,
yakni sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, supaya siswa tidak tercabut
dari akar budaya, dan sebagai landasan pengembangan kurikulum Nasional.
3.2. SARAN
Adapun saran yang dapat
dijabarkan dalam makalah ini adalah Pendidikan multikultural seyogyanya
memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural
yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis
yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan
paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi
kognitif belaka.
DAFTAR PUSTAKA
Buchori,
Mochtar. 2004. Indonesia belajarlah;
Membangun Pendidikan Indonesia. Semarang
: Gerbang Madani Indonesia.
Mahfud,
Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Naim,
Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan
Aplikasi. Yogyakarta: A-Ruzz Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar