Senin, 29 September 2014

Sejarah Aksara Jawa


Sejarah Aksara Jawa


Aksara Jawa Carakan dan Pasangan

Aksara Jawa, merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatannya pun menjadi suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan. Tak hanya di Jawa, aksara Jawa ini rupanya juga digunakan di daerah Sunda dan Bali, walau memang ada sedikit perbedaan dalam penulisannya. Namun sebenarnya aksara yang digunakan sama saja.

 Aksara Jawa berjumlah 20 yang terdiri dari: Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Ta Nga dinamakan Aksara Legena. Aksara Jawa Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf “utama” (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan.

Sekarang aksara jawa yang ada adalah aksara jawa modern. namun perlu diketahui bahwa penulisan aksara jawa mengandung filosofi serta aturan. menulis aksara jawa dianjurkan diawali dari bawah kemudian keatas sesuai karakter huruf jawa tersebut, sedangkan filosofinya adalah melambangkan penghormatan anak terhadap orang tua sesuai dengan perkembangan umur. Aksara Legena merupakan aksara Jawa pokok yang jumlahnya 20 buah. Sebagai pendamping, setiap suku kata tersebut mempunyai pasangan, yakni kata yang berfungsi untuk mengikuti suku kata mati atau tertutup, dengan suku kata berikutnya, kecuali suku kata yang tertutup oleh wignyan,cecak dan layar. Tulisan Jawa bersifat Silabik atau merupakan suku kata. Sebagai tambahan, di dalam aksara Jawa juga dikenal huruf kapital yang dinamakan Aksara Murda. Penggunaannya untuk menulis nama gelar, nama diri, nama geografi, dan nama lembaga. 

Aksara Jawa ternyata juga mengalami peralihan. Ada Aksara Jawa Kuno dan Aksara Jawa baru. Namun sulit untuk mengetahui secara pasti kapan masa lahir, masa jaya, dan masa peralihan aksara Jawa kuno dan aksara Jawa baru, Dikarenakan juga masih sedikit orang yang melakukan penelitian tentang hal ini," jelas Dra. Sri Ratna Sakti Mulya, M. Hum, Dosen Sastra Jawa UGM. Diprediksi Aksara Jawa Kuno ada pada jaman Mataram Kuno. Aksara Jawa Kuno juga mirip dengan Aksara Kawi. "Jika mau diurut-urutkan, sejarah Aksara Jawa ini berasal dari cerita Aji Saka dan Dewata Cengkar," tambahnya.

Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun demikian, pengajaran modern sekarang menuliskannya di atas garis.

          Sejarah Aksara Jawa

Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah
.
1.      Konsepsi secara tradisional.

Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.

Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :

Ha-na-ca-ra-ka
Da-ta-sa-wa-la
Pa-dha-ja-ya-nya
Ma-ga-ba-tha-nga

Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :

Dora goroh ture werdineki (Dora bohong ucapannya yakin)
Sembada temen tuhu perentah (Sembada jujur patuh perintah)
Sun kabranang nepsu ture (Ku emosi marah ucapannya)
Cidra si Dora iku (Ingkar si Dora itu)
Nulya Prabu Jaka angganggit (Lalu Prabu Jaka Menganggit)
Anggit pinurwa warna (Anggit dibuat macam)
Sastra kalih puluh (Sastra dua puluh) Kinarya warga lelima(Dibuat warga lelima)
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki (Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya)
Pindho Da-ta-sa-wala (Dua Da-ta-sa-wala)
Yeku sawarga ping tiganeki (Yaitu sewarga ketiganya)
Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya (Pa-dha-ja-ya-nya sewargane)
Ma-ga-ba-tha-nga ping pate (Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya)
Iku sawarganipun (itulah sewarganya)
Anglelima sawarganeki (Lima-lima satu warganya)
Ran sastra sarimbangan (Nama sastra sarimbangan)
Iku milanipun (Itulah sebabnya)
Awit ana sastra Jawa (Mulai ada huruf Jawa)
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji (Mulai diberi harakat satu per satu)
Weneh-weneh ungelnya (Macam-macam lafalnya)

Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam

Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :

Mangka wonten ratu saking bumi tulen,
arane Prabu Kacihawas.
Punika wiwitaning ratu tulen
mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan,
sawetaning Demak,
sakiduling warung.

Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan warung.

Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang (Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.

Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing.

2.      Konsepsi secara Ilmiah
Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap berlangsung.

Contoh dibawah ini dikutipkan dari The History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 ).

Ada juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut:

Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan ).

Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ” saatnya ( dipanggil ) ” tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh, cocok ” tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu ” menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan ” sekedar menang ” atau menang tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

       Penutup

Aksara jawa, yang merupakan salah satu peninggalan budaya dari bangsa ini, harus tetap kita pertahankan, karena mengandung nilai yang tak terhingga. Sebagai generasi muda sekarang, tidak sepantasnya kita membuang, atau melupakan salah satu peninggalan budaya yang berharga ini.

 Dalam perkembangannya, aksara jawa yang memiliki 20 huruf ini, mengalami beberapa kali tahap perubahan dan peralihan dari waktu ke waktu. Namun sulit untuk memastikan kapan terjadinya peralihan aksara ajawa dari bentuk yang dahulu atau kuno ke bentuk sekarang yang modern. Aksara jawa yang sekarang digunakan adalah bentuk aksara jawa yang modern.

Secara konsepsi dasarnya, ada dua konsep mengenai asal usul aksara jawa ini. Yang pertama berasal dari konsepsi tradisional yang mengatakan bahwa aksara jawa berkaitan dengan legenda Aji Saka ang menciptakan aksara jawa ini. Ia berasal dari Medangkumulan, yang walaupun kisah ini adalah fiktif, diprediksi tempat ini berada di Timur Demak Yang kedua adalah konsepsi secara ilmiah yang menyatakan bahwa aksara jawa erat kaitannya dengan penggunaan bahasa jawa yang diucapkan oleh masyrakat.


Terlepas dari dua macam konsepsi dasar mengenai asal aksara jawa, ia adalah warisan budaya bangsa yang harus tetap kita pertahankan sampai kapanpun. Di tengah gempuran budaya asing yang dengan derasnya masuk ke negara kita, sedikit demi sedikit masyarakat umum pun mulai melupakan budaya mereka sendiri. Disinilah peranan kita dibutuhkan, untuk tetap menjaga warisan budaya bangsa yang berharga ini, yang mana salah satunya ialah aksara jawa ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar