AGAMA DAN KEPRIBADIAN MENURUT
SIGMUND FREUD
A.
PENDAHULUAN
Agama pada dasarnya bukan hanya mencakup keimanan pada sosok Tuhan
yang agung, tetapi juga melingkupi tatanan dan disiplin hidup, hubungan antara
individu di masyarakat, serta hubungan pada Tuhan dan hal lainnya. Ringkasnya
agama mencakup hubungan manusia, baik dengan Tuhan atau hubungan sesama
manusia.
Namun memasuki era modernitas ini, timbul pendekatan- pendekatan
baru dalam memahami agama. Berkembangnya ilmu-ilmu postivisme yang digaungkan
oleh Auguste Comte sejak abad ke 18, ternyata juga digunakan dalam pendekatan
agama-agama. Walhasil muncullah cabang-cabang ilmu baru dalam pendekatan agama.
Bila dulu kita hanya mengenal ilmu Aqidah,Tauhid, dan syari’ah
untuk memahami konsep agama dalam islam, maka sekarang muncul ilmu seperti
Sosiologi agama, Psikologi Agama, dan Antropologi Agama dalam pendekatan studi
agama.
Diantara
salah satu tokoh yang terkenal pada abad ke 20 ini adalah Sigmund Freud. Sejatinya,
ia adalah seorang psikolog terkenal pada masanya, dengan konsepnya tentang
psikoanalisa. Namun dengan paradigma dan konsep psikoanalisanya, ia juga
menggunakannya untuk memandang dan melakukan pendekatan dalam studi agama.
Walhasil dalam bukunya yang berjudul “Totem and taboo” dan “The
Future of an Ilussion”, dimana Sigmund Freud menuangkan pemikirannya
mengenai sejarah, konsep dan masa depan agama.
Freud memandang agama sebagai pemenuhan akan nafsu kekanak-kanakan. Ini tak terlepas dengan pekerjaan dia sebagai seorang ahli psikologi yang mana akan melahirkan konsep mengenai psikoanalisis dan tahapan seksual manusia. Maka untuk memahami dengan lebih jelas pandangan Freud mengenai agama, dalam tulisan ini akan terlebih dahulu diulas mengenai sejarah hidup Sigmund Freud, dan konsepnya mengenai psikologi manusia, barulah sampai pada teorinya mengenai Agama. Karena teori Freud mengenai agama didasarkan pada pandangannya mengenai teori psikologinya.
Freud memandang agama sebagai pemenuhan akan nafsu kekanak-kanakan. Ini tak terlepas dengan pekerjaan dia sebagai seorang ahli psikologi yang mana akan melahirkan konsep mengenai psikoanalisis dan tahapan seksual manusia. Maka untuk memahami dengan lebih jelas pandangan Freud mengenai agama, dalam tulisan ini akan terlebih dahulu diulas mengenai sejarah hidup Sigmund Freud, dan konsepnya mengenai psikologi manusia, barulah sampai pada teorinya mengenai Agama. Karena teori Freud mengenai agama didasarkan pada pandangannya mengenai teori psikologinya.
B.
Riwayat Hidup Sigmund Freud
Sigmund Freud |
Sigmund Freud dilahirkan di Freiberg, Moravia pada 6 Mei 1856, yang
pada waktu itu merupakan suatu daerah kekaisaran Austria-Hongaria, sekarang
berada di Republik Ceko. Keluarganya adalah penganut agama Yahudi. Ayahnya
bekerja sebagai seorang pedagang, dan menikah untuk kedua kalinya saat dua
orang putranya yang lain sudah tumbuh
dewasa. Freud adalah anak pertama dari Istri kedua yang jauh lebih muda.[1]
Ketika berumur 4 tahun, kelauraganya pindah ke Wina. Di Ibukota
Austria ini, ia menetap sampai 82 tahun umurnya. Sebagai seorang Yahudi, dia sadar tidak
mungkin terlalu menunjukkan kesalehan agamanya sendiri di kota yang didominasi
oleh Kristen Katolik, meskipun keluarganya tetap tinggal disini. Hampir
sepanjang hayatnya ia tinggal disana, membesarkan anak-anaknya hingga dewasa.
Sewaktu belajar di sekokah menengah, ia adalah seoramg siswa
berbakat. Ia berhasil menyelesaikan studinya dengan ranking tertinggidi
kelasnya. DIa juga lancar berbahasa Jerman, Perancis, Inggris, Spanyol dan
Italia.. Tahun 1873 ia belajar kedokteran di universtitas Wina. Kemudia ia
bekerja sebagai dokter di laboratorium Profesor Bruecke, ahli ternama dalam
bidang fisiologi. Sebagi dokter, ia bertuags di rumah sakit umum Wina, dengan
terutama memusatkan perhatiannya pada anatomi otak. Pada tahun 1886 ia menikah
dengan Martha Bernays, yang kemudian memiliki enam anak dan menjadi teman hidup
Freud hingga akhir hayatnya. Karena alasan ekonomis, ia mengurangi penelitian
ilmiah, serta membuka praktek sebagai dokter syaraf. Namun ia meneruskan
penelitian di bidang neurologi dan setelah berkunjung ke Berlin, ia menulis
beberapa karangan tentang cacat otak pada anak-anak. Lama kelamaan perhatiannya
pada neurologi bergeser pada psikopatologi. Tepengaruh oleh Breur, ia mulai
memanfaatkan hipnotis dan sugesti dalam praktek medisnya.[2]
Jika kita memandang pendidikan ilmiah Freud, boleh disimpulkan
bahwa ia betul-betul dididik dalam pekerjaan ilmiah pada umumnya dan secara
khusus pada penelitian medis Berdasarkan pendidkannya, dapat diaharapkan ia
akan berkembang menjadi seorang neurology besar. Tambahan pula,ia mempunyai
pengetahuan umum yang amat luas, bahkan ia juga berminat pada bidang kesustraan
dan seni rupa.[3]
C.
Teori Freud : Psikoanalisa dan Alam Bawah Sadar.
Penemuan Freud yang paling fundamental adalah peranan dinamis ketidaksadaran
dalam hidup psikis manusia.Sampai waktu itu, hidup psikis disamakan saja dengan
kesadaran. Untuk pertama kali dalam
sejarah psikologi, Freud menjelaskan bahwa hidup psikis manusia sebagian besar
berlangsung pada taraf tak sadar.
Dalam bukunya “The Interpretation of The Dream”, ia
menjelaskan bahwa mimpi manusia selalu mengandung keingintahuan, dan selalu
digambarkan dalam mitos, karya, dan
sastra, dongeng-dongeng dan magis. Freud memandang bahwa pengalaman alam
mimpilah yang menyebabkan orang primitif percaya pada roh-roh. Dia menegaskan
bahwasanya alam mimpi lebih penting daripada sekedar keingintahuan, atau bahkan
teori-teori tentang roh. Dari sekian banyak anggapan tentang mimpi, yang paling
penting adalah bahwa mimpi-mimpi memperlihatkan pada kita betapa banyaknya
aktivitas pikiran manusia dibanding yang muncul ke permukaan sehari-hari.
Setiap orang, menurut Freud, paling tidak memiliki pikiran sadar (Consius
Thought) tentang kehidupan sehari-hari. Saat kita berbicara dengan teman
kita, kita tidak hanya menggunakan pikiran, tapi juga sadar dan tahu bahwa kita
sedang menggunakannya. Selanjutnya kita juga tahu bahwa permukaan kesadaran
kita itu terdapat ide dan konsep-konsep lain yang digambarkan sebagai
alam”pra-sadar”(Pre-consius), yaitu memori, ide, niat-niat yang pada
saat itu memang tidak kita sadari, namun bisa dipanggil kapan saja saat
diperlukan, misalnya umur orang tua kita, apa hidangan makan malam semalam dsb.
Meskipun demikian, dalam waktu tertentu pikiran kita tidak bisa menyadarinya,
namun pikiran dengan mudah bisa mendapatkannya kembali saat dibutuhkan.[4]
D.
Teori Tentang Mimpi.
Mimpi merupakan suatu tema yang penting sekali bagi Freud. Beberapa
kali ia mengulangi-antara lain dalam memperkenalkan psikoanalisis bahwa mimpi adalah jalan utama yang mengantar
kita ke ketidaksadaran. Bukunya yang berjudul “The Interpretation of the
Dream” merupakan suatu buku besar. Dalam buku ini ia mengambil
mimpi-mimpinya sendiri untuk objek penelitian dan menyajikannya kepada khayalak
ramai.[5]
Karena mimpi adalah suatu produk psikis, dan arena hidup psikis
dianggap sebagai konflik antara daya psikis, maka masuk akal lah apabila Freud
memandang mimpi sebagai perwujudan suatu konflik. Freud menjelaskan bahwasanya
pengalaman di alam mimpi sebagai sesuatu yang berbeda dari aktivitas di alam
sadar ,maupun pra sadar. Saat itu kkita mempergunakan lapisan yang berasal dari
wilayah lain dari pikiran kita, yang sangat dalam dan tersembunyi, serta banyak
dan sangat kuat. Inilah yang dikatakan alam bawah sadar (Unconsius). Dia
adalah inti dalam diri, walaupun tak disadari namun peranannya sangat penting. Pertama,
karena ia adalah sumber dorongan
jasmaniah kita yang paling dasar, seperti dorongan untuk makan dan aktivitas
seksual. Kedua,bergabungnya alam bawah sadar dengan keinginan-keinginan
ini akan menciptakan ikatan luar biasa dari ide-ide, kesan, dan emosi yang
dapat dihubungkan dengan segala hal yang pernah diajari,dilakukan, atau
seseorang yang semenjak hari pertama hidup sampai akhir hayatnya[6]
E.
Seksualitas
Anak-Anak.
Terapan menarik lainnya dalam model konflik kepribadian Freud
adalah muncul dalam teorinya yang sangat terkenal yaitu seksualitas anak-anak
dan Oedipus kompleks. Dalam bukunya “The Three Essay On The Theory of
Sexuality”, Freud membuktikan bahwa semenjak lahir sampai seterusnya
dorongan jasmani dan seksual telah mengendalikan sebagian besar tingkah laku
anak-anak. Usia 18 bulan pertama dinamakan fase oral, dimana kepuasan seksual
dipenuhi dengan menghisap zat makanan dari payudara ibunya. Dari usia 18 bulan
sampai 3 tahun, disebut fase anal, dimana kepuasan datang dari pengaturan
kotoran. Usia tiga tahun dan seterusnya disebut fase pallic, dimana
kepuasan hasrat dilakukan dengan cara masturbasi dan fantasi seks. Fase pallic
ini tetap bertahan sampai usia enam tahun dan seterusnya,saat muncul hal-hal
nonseksual yang terssembunyi. Fase ini berakhir sempurna pada awal usia belasan
tahun saat datangnya kemampuan seksual yang dewasa.
Pandangan Freud tentang perkembangan kepribadian manusia ini akan
menjadi lebih penting ketika dia beralih membicarakan agama, karena
satu-satunya perhatian utamanya adalah mencoba menemukan tempat keyakinan
keagamaan di dalam tahap-tahap perkembangan emosi yang normal. Freud
menyebutkan hubungan antara masa kanak-kanak dengan agama sebagai Oedipus
kompleks[7].
Bahkan Freud merasa bahwa Oedipus Kompleks merupakan pengalaman inti
masa kanak-kanak.
F.
Freud
dan Agama.
Setelah mengembangkan ide dasarnya tentang psikoanalisa, Freud
menempatkan agama sebagai satu objek studi lanjutan yang menantang. Semasa
kecilnya, Freud telah mendapatkan pengetahuan dasar tentang agama Yahudi. Walaupun
pada tahapan berikutnya, Freud merupakan penolak yang begitu kompleks terhadap
agama. Freud menjalani hidupnya semenjak awal sampai akhir hayatnya sebagai
orang yang benar-benar atheis.
Dalam bukunya “Totem and Tabo”, Freud mengetengahkan
penafsiran psikoanalisa terhadap kehidupan masyarakat primitif. Dalam bukunya ini,
ia menyoroti dua perilaku masyarakat primitif yaitu “totem’ dan “tabu”.
Dalam kebiasaan totem, sebuah suku atau klan mengasosiasikan diri
mereka dengan binatang atau tumbuhan tertentu, yang dianggap sebagai objek sakral.
Yang kedua, seseorang atau sesuatu disebut tabu jika satu suku ingin
menyatakannya sebagai hal yang terlarang atau tidak diperbolehkan. Tabu yang
paling lama dan paling kuat dipegang oleh masyarakat ada tiga hal. Pertama,
hubungan seks dengan orang sedarah. Kedua, tidak diperbolehkan berburu dan
memakan binatang totem, kecuali pada saat-saat tertentu. Ketiga,ia menganggap
tidak ada alasan mendasar untuk membuat tabu dan larangan-larangan yang berlaku
secara umum itu, kecuali karena memang pada satu waktu orang memang ingin
melakukan perbuatan yang dilarang itu. Kenapa aturan ini membuat orang
tersiksa, padahal orang-orang tidak mau mematuhinya ?
Freud menemukan jawabannya dalam teori alam bawah sadarnya. Ia
mengklaim bahwa pengalamannya dengan pasien neurotis memperlihatkan kepribadian
orang, baik yang normal dan terganggu, sama-sama ditandai dengan ambivalensi,
pertentangan antara hasrat-hasrat yang begitu kuat. Mereka ingin melakukan
sesuatu, namun pada saat yang sama juga tidak ingin melakukannya. Sebagai
contoh, orang yang terkena gangguan saraf kadang-kadang merasa sangat dihantui
oleh rasa sedih orang yang dicintainya,s eperti ayah dan ibu yang meninggal.
Namun dalam penyelidikan alam bawah sadar kita mendapati bahwa sebenarnya itu
bukanlah cint, tapi rasa bersalah dan benci yang disebabkan oleh emosi mereka.
Dan menurut Freud, orang-orang primitif juga mengalami hal seperti
ini. Mereka menganggap para leluhur sebagai setan atau roh jahat yang harus
dibenci. Dengan demikian kepatuhan terhadap larangan-larangan dalam suatu
masyarakat meruapak sebuah ambivalensi dalam psikologi manusia.
Bagi seorang lelaki, terdapat hal lain berupa frustasi dan
kecemburuan. Meskipun mereka takut dan tetap menghormati sang ayah, tapi secara
seksual mereka tetap menginginkan wanita yang menjadi istri ayahnya. Dan dalam
kejadian seperti ini, lelaki mengambil satu tindakan yang menentukan, yaitu
anak laki-laki bersatu membunuh bapak mereka dan mengambil alih posisi ayahnya
sebagai suami ibu mereka sendiri.
Pada awalnya, pembunuhan yang pertama dalam keluarga ini membawa
kesenangan dan kebebasan. Tapi setelah dipikirkan kembali, kesedihan dan
kemurungan pun muncul. Si anak kemudian dikuasai oleh rasa bersalah dan
penyesalan. Karena ingin sekali memulihkan dan mengembalikan si ayah yang telah
dibunuh, mereka menemukan pengganti ayah dalam binatang totem dan simbol-simbol.
Mereka kemudian setuju untuk menyembah totem dan setelah itu bersumpah bahwa
semua orang tua adalah tabu. Selang beberapa lama, aliran ini disebarluasakan
ke seluruh suku dan menjadi aturan yang universal untuk melawan semua
pembunuhan; ‘Kamu dialarang membunuh apapun’. Jadi tidak diragukan lagi, aturan
ini menjadi aturan moral pertama yang mengatur umat manusia.
Munculnya kepercayaan terhadap agama bisa ditemukan dalam Oedipus
kompleks, dalam emosi-emosi yang terpilih dalam diri manusia yang membawa
mereka pada kejahatan besar yang pertama (membunuh ayah mereka) dan menjadikan
ayah sebagai Tuhan dan berjanji untuk menahan hasrat seksual sebagai bentuk
bakti padanya. Ini dinyatakan freud dengan ungkapan “ Agama totem muncul dari
rasa bersalah anak, dan untuk menghilangkan perasaan itu, dan mengabulkan
keinginan sang ayah, mereka kemudian menyembah sang ayah yang telah dibunuh,
Seluruh agama yang datang kemudian kelihatannya juga ingin memecahkan persoalan
yang sama.”[8]
Bagi Freud, pembunuhan di zaman pra-sejarah itu merupakan kejadian
yang paling penting dalam perjalanan sejarah kehidupan sosial manusia. Peristiwa
tersebut telah menciptakan emosi mendalam dimana kita bisa menemukan asal-usul
agama. Dalam larangan incest (kesepakatan untuk melindungi klan dari
akibat buruknya) kita bisa melihat moralitas dan kontrak sosial yang yang
paling awal. Gabungan antara totemisme dan tabu kemudian membentuk pondasi
dasar bagi seluruh peradaban.[9]
Bila dalam bukunya “Totem and Taboo” Freud mengkaji tentang
kehidupanmasyarakat primitif masa lalu,maka lain lagi dalam bukunya yang
berjudul “The Futute of an Ilussion” yang mengkaji tentang peluang dan
agama pada masa mendatang.
Freud memulai buku The Future of an Ilussion dengan beberapa
fakta yang sudah diketahui orang. Walaupun alam telah melahirkan spesies
manusia, namun alam juga selalu mengancam manusia dengan predator, bencana,
penyakit atau gangguan fisik lainnya. Untuk berlindung dari semua itu maka
sejak awal kita harus tergabung pada masyarakat. Maka dengan demikian
terciptalah apa yang kita sebut peradaban.
Kemudia Freud memperlihatkan kepada kita bahwa masyarakat bisa bertahan
apabila mampu menundukkan hasrat-hasrat pribadi kepada aturan-aturan dan
batasan-batasan yang ditentukan oleh masyarakat. ‘Kita tidak bisa membunuh
seenaknya’ dan sebagainya adalah contoh dari hal ini. Namun walaupun dengan
perjuangan untuk mengekang hasrat-hasrat ini, peradaban juga tak dapat
melindungi kita secara sempurna. Ketika kita berhadapan dengan penyakit dan
kematian, akhirnya kita semua tidak bisa tertolong.
Pada masa kanak-kanak, ayah akan selalu menasehati dan meyakinkan
kita untuk mengahadapi ganasnya badai dan gelapnya malam. Setelah dewasa pun,
kita masih membutuhkan keamanan dan kenyamanan seperti masa kanak-kanak ini.
Menurut Freud, suara yang diberikan agama membuat kita berfikir bahwa kita bisa
mengalami dan memiliki pengalaman kanak-kanak itu kembali. Dengan mengikuti
pengalaman masa kanak-kanak, agama memproyeksikan dunia eksternal tentang
tuhan. Tuhan dengan segala kekuatannya bisa menghilangkan ancaman alam.
Kepercayaan agama mengklaim bahwa “ setiap kita berusaha untuk melakukan hal
yang baik menurut Tuhan, maka tak akan mengakibatkan kita menjadi permainan
yang kuasa dan kekuatan jahat alam”.
Menuru Freud, kata yang paling baik untuk menggambarkan kepercayaan
seperti itu adalah ilusi (Illusion). Ilusi yang dimaksud disini adalah
sesuatu yag khusus. Bagi Freud, ilusi adalah satu keyakinan yang kita pegangi
dan harus selalu benar. Ilusi berbeda dengan delusi. Delusi adalah sesuatu yang
juga kita inginkan menjadi nyata, tapi semua orang tahu bahwa hal itu tidak
mungkin. Freud dengan tegas menyatakan bahwasanya kepercayaan Tuhan bukanlah
sebuah delusi.
Oleh karena itu, ajaran agama sebenarnya bukanlah wahtu dari tuhan,
dan juga bukan konklusi logis dari pembuktian ilmiah. Sebaliknya, ajaran agama
merupakan pikiran-pikiran dengan ciri utama yang khas ‘kita sangat
mengiinginkannya (ajaran-ajaran agama itu) menjadi kenyataan. Ajaran-ajaran
agama adalah pemenuhan bagi keingina manusia yang paling tua,paling kuat, dan
paling penting.
Freud mengakui bahwa di masa lalu agama memang telah memberikan
sumbangan peradaban, begitu juga dengan agama-agama yang muncul belakangan.
Tapi peradaban saat ini sudah dewasa dan sudah mapan. Kita tidak akan membangun
masyarakat di atas takhayul dan represi-represi serta tidak akan menerapkan larangan-larangan
pada anak-anak, pria dan wanita dewasa dalam mengatur tingkah laku mereka.
Ajaran agama juga harus dilihat dalam sudut pandang keyakinan dan
aturan-aturan yang diperuntukkan bagi masa kanak-kanak ummat manusia. Dalam
sejarah kuno ummat manusia, “ masa kebodohan dan lemahnya intelektual” agama
menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari, sama seperti pada tahap neurotis pada
masa kanak-kanak. Hal yang serupa juga berlaku pada perkembangan peradaban
manusia. Agama yang terdapat dalam awal sejarah manusia adalah pertanda dari
sebuah penyakit, dan keinginan untuk meninggalkan agama menjadi satu-satunya
indikasi yang menunjukkan ‘kesehatan’ peradaban manusia. Dalam bahasa freud :
“Agama adalah gangguan obsesi mental manusia secara universal, sama
seperti gangguan mental yang terjadi pada diri anak-anak. Agama muncul karena oedipus
kompleks, karena masalah yang terjadi dengan ayah mereka. Jika anggapan ini
memang benar, maka bisa diperkirakan bahwa meninggalkan agama niscaya akan
membawa akibat fatal bagi proses pertumbuhan, dan kita mendapati diri kita
dalam keadaan yang sangat kritiw di tengah-tengah fase pertumbuhan.[10]”
G.
Beberapa Kritikan.
Apa yang telah diungkapkan oleh Sigmund Freud dalam karya-karya dan
teorinya yang termuat dalam buku “Totem and Taboo” dan “The Future of
an Illusion” tidak lantas menjadikan kita menerima begitu saja apa yang di
dalamnya. Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu kita kritisi
Pertama, terlepas dari seberapa terkenalnya Sigmund Freud dengan
konsep psikoanalisa nya dalam studi agama, dia adalah seorang atheis. Paradigma
pemikiran dia yang atheis ini akan menjadikan kerangka pemikirannya dan
hasil kajiannya juga bercorak atheis. Karena framework adalah kerangka teori yang mendasari
terlahirnya suatu ilmu. Sementara kerangka teori lahir dari paradigma tertentu
yang didasari oleh asumsi dasar[11].
Freud yang seorang atheis, juga menyimpulkan bahwasanya agama hanya merupakan
pemuasan akan hasrat kekanak-kanakan, lebih jauh lagi, bahkan ia menyatakan
dalam bukunya The Future of an Illusion “ Agama akan menjadi penyakit
saraf yang mengganggu manusia sedunia. Memang sejatinya perkembangan ilmu yang
sedemikian pesatnya juga harus dibarengi dengan pemahaman akan agama dan
hikmahnya, sebab bila tidak, maka perkembangan ilmu yang pesat, namun tanpa
disertai dengan pemahaman akan agama, maka akan menjadikannya semakin menjauh
dari hidayah Allah. Dengan kata lain kita tidak boleh men dikhotomi antara
Islam dan pengetahuan. Sebagaimana sabda nabi :
مَنْ إِزْدَادَ لَهُ
عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ لَهُ هُدًى,فَمَا يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلَا بُعْدًا
Barang siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah hidayah
(Islam) maka tidak akan bertambah padanya (kedekatan kepada) Allah kecuali akan
semakin menjauh.( Al Bukhari)
Kedua, dalam argumennya Freud berpendapat bahwa agama sangat mirip
dengan neurotis, sebab orang yang mengidap neurotis akan meyakini dan melakukan
hal-hal yang irrasional, maka agama pun demikian, meyakini dan melakukan
hal-hal yang irrasional. Misalnya seseorang yang menghabiskan waktunya untuk
berdoa, dalam segi perilakunya tak berbeda dengan perilaku penderita sakit
mental yang menghabiskan waktunya untuk menghitung kancing bajunya. Bagi orang
yang berdoa, perilaku ini adalah normal, bukan karena sakit jiwa. Freud
bersieras untuk menemukan motif alam bawah sadar dari perbuatan orang yang
berdoa itu, karena sedari awal dia sudah mengasumsikan bahwa doa adalah
perbuatan yang tak normal. Tentu saja dia tak akan berasumsi demikian kalau dia
tak menyatakan bahwa berdoa itu muncul bukan dari motif rasional, akan tetapi
dari motif tidak rasional yang terletak di alam bawah sadar. Padahal alam bawah
sadar adalah sesuatu yang dia ingin buktikan. Dengan kata lain, beberapa
diskusi yang diketengahkan Freud memakai penalaran yang sirkular
(berputar-putar)
H.
Penutup dan Kesimpulan
Teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud tentang asal-usul agama
dalam masyarakat primitive, yang dimuat dalam bukunya “Totem and Taboo” dan
masa depan agama dalam bukunya “ The Future of an Illusion” boleh jadi menjadi
sebuah hal yang baru dalam kajian asal usul agama. Konsep ini mengilhami banyak
orang setelahnya, seperti carl Jung, Fritz Perls dan lain sebagainya. Latar
belakang dia yang merupakan seorang dokter yang ahli dalam otak, melahirkan
teori psikoanalisa dan tahap perkembangan seksualitas manusia, yang mana hal
ini masih dipelajari dan dikembangkan hingga sekarang. Teori psikoanalisa nya
ini juga ia gunakan dalam mengkaji asal usul agama,hingga ia sampai pada suatu
kesimpulan bahwa agama adalah pemuasan dari hasrat kekanak-kanakan. Dia juga
berpendapat bahwa orang yang beragama adalah sama dengan orang yang mengidap
penyakit gangguan mental.
Paradigma pemikiran Sigmund Freud yang seorang atheis, tentunya
juga melahirkan konsep disiplin ilmu yang atheis juga, terlepas dari peranan
agama dan tuhan. Maka selayaknya kita mengkritisi dengan framework Islam
terlebih dahulu konsep yang dibawa oleh Sigmund Freud sebelum mempelajarinya
lebih intens dan mendalam, sehingga kajian psikologi yang dikemukakan oleh
Sigmund Freud pun tak akan terlepas dari kerangka studi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Pals L Daniels,
Seven Theoriesof Religion, Penerbit IRCiSoD, Yogyakarta, cetakan pertama,
Oktober 2011
Bertens K,
Psikoanalisis Sigmund Freud, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006
Freud Sigmund,
The Future of An Illusion,New York, London, 1961
Adler J
Mortimer Dkk, Great Books of the Western World volume 54, The Major Works of
Sigmund Freud, Encycloapaedia Britannica, cetakan ke tujuh, 2003
Nelson
Benjamin, Freud Manusia Paling Berpengaruh abad ke 20, Ikon Teralitera,
Surabaya, 2003
Muslih
Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar paradigm dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, cetakan kelima 2008.
[1]
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Penerbit IrciSOD, Jogjakarta,
Oktober 2o11 hal 82.
[2][2]
K. Bertens, Psikoalasis Sigmund Freud, Penerbit Gramedia, Jakarta, 2006, hal
10.
[3]
Op.cit, hal 11
[4]
Ibid, hal 87.
[5]
Ibid, hal 16
[6]
Ibid, hal 87
[7]
Istilah ini muncul dari tragedi yang terkenal, menceritakan tentang seorang
raja Oedipus,seorang raja yunani yang yang baik dan bijaksana yang tanpa sadar
membunuh dan menikahi ibunya. Freud berpendapat bahwa peristiwa ini berkaitan
dengan Oedipus kompleks. Karena di masa initerdapat hasratyang sangat kuat
untuk menggantikan salah satu orang tuanya yang menjadi kekasih orang tuanya
yang satu lagi. Lihat Seven Theories of Religion, Daniel L. Pals, hal 94.
[8]
Totem and Taboo, dalam standar edition, jilid 13 hal 145.
[9]
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Penerbit IrciSOD, Jogjakarta,
Oktober 2o11 hal 105.
[10]
The Future of an Ilussion, dalam standard edition, jilid 21 hal 43.
[11]
Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka
susunan ilmu pengetahuan lihat Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar,
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar