Kamis, 26 Februari 2015

Analisis dan Kritik Metode Hermeneutika Al Quran Muhammad Syahrur


Analisis dan Kritik Metode Hermeneutika Al Quran Muhammad Syahrur


Abstrak
Al Quran sebagai kitab suci ummat Islam mempunyai peranan yang sangat sentral dan penting bagi seluruh kaum muslimin, dan karena itulah untuk memahami dan menelaah kandungan serta makna yang terdapat di dalam Al Quran membutuhkan suatu ilmu khusus, yaitu tafsir. Namun belakangan ini, ilmu tafsir bukan satu-satunya ilmu yang digunakan untuk menelaah kandungan Al Quran, muncul pula cabang ilmu lain yaitu hermeneutika. Hermeneutika sendiri merupakan suatu metode yang pertama kali muncul di Barat untuk menelaah dan mengkritisi teks-teks umum, yang mana pada perkembangan selanjutnya digunakan juga untuk menggali makna Bibel. Seiring mewabahnya arus liberalisasi pemikiran yang digaungkan oleh Barat ke Islam, ummat Islam pun perlahan mulai mengaplikasikan metode hermeneutika tersebut untuk mengkaji Al Quran. Salah satu dari pemikir Islam yang menerapkannya ialah Muhammad Syahrur yang berasal dari Syiria.

Keyword : Hermeneutika, Syahrur, Triodik, Qira’ah Muashirah.

A.    Latar Belakang Kehidupan Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrur dilahirkan pada 11 April 1938 di Solihiyah, Damaskus atau Syria. Adapun nama aslinya adalah Muhammas Syahrur bin Daib, dan merupakan anak kelima di keluarganya. Syahrur sendiri bisa dikatakan dilahirkan dalam keluarga yang tidak begitu religius. Ayahnya sendiri, walaupun dia sendiri meruapakan Muslim, bisa dikatakan cukup berpaham liberal, yang mana ia melihat bahwasanya pengajaran nilai-nilai agama lebih rendah daripada pengajaran akhlaq dan moral. Bahkan di dalam satu kesempatan, ayahnya mengatakan kepada Syahrur “ Bila kamu hendak menghangatkan diri, maka nyalakanlah api, bukan nya membaca Al Quran”[1]. Kalimat yang dikatakannya ini mengindikasikan bahwasanya ayah Syahrur lebih percaya kepada hal-hal yang bersifat rasional-empiris daripada hal-hal yang bersifat mistis dan religius.

Syahrur muda memulai pendidikannya di sekolah negeri dasar, kemudian melanjutkan pendikan menengahnya di sekolah Abdur Rahman di Damaskus sampai menyelesaikannya pada tahun 1957.  Pada tahun 1959, ketika Rusia menjalin kesepakatan dan memulai hubungan diplomatic dengan Syria, Syahrur dikirim ke Saratov, sebuah daerah di dekat Moskow untuk belajar tentang teknik sipil. Di Rusia inilah, Syahrur mengenal dan belajar tentang paham Marxisme dan Komunisme yang menjadi landasan bagi pemerintahan disana. Disini pula ia bertemu dan berkenalan dengan Ja’far Dak Albaab, yang kelak akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap Syahrur, terutama dalam aspek studi bahasa. Syahrur menamatkan pendidikannya di Universitas Teknik Moskow pada tahun 1964, kemudian ia menikahi salah satu wanita Rusia dan kembali ke Syria[2].

Pada tahun 1968, Syahrur kembali meninggalkan Syria menuju Jerman untuk melanjutkan studi masternya dan doktornya dalam bidang mekanika dan teknik bagunan di Universitas Dublin, sampai ia berhasil menyelesaikannya pada tahun 1972. Selama masa studinya di Jerman ini lah, ia terpengaruh oleh filsafat Hegelian dan pemikiran Alfred White Northead tentang filsafat proses[3]. Setelah itu, kembali ke Syiria dan mulai mengajar di bidang mekanika dan teknik bangunan di Universitas Damaskus dari tahun 1972 sampai 1998. Selama masa mengajarnya di universitas ini juga, Syahrur banyak berkenalan dengan pemikir-pemikir Islam lainnya yang mengajar disana juga, yang bercorak marxisme, seperti : Adonis, Yus al Hafiz, Alis Markuz dan lainnya. Selain pekerjaannya sebagai dosen di Universitas Damaskus, Syahrur juga menjadi insinyur dalam mekanika pembangunan, dimana ia terlibat dalam lebih dari 2000 bangunan di Syiria[4].

Walaupun latar belakang pendidikan dan pekerjaannya yang nyaris tidak bersentuhan dengan bidang agama, Syahrur tetap tertarik untuk melakukan studi dan penelitian terhadap Islam. Adapun landasan dia dalam melakukan studi tentang agama didapat dari beberapa filsafat, teori, ataupun pemikiran yang mempengaruhi dia, seperti filsafat Hegelian saat dia belajar di Dublin, pemikiran Alfred White Northead tentang filsafat proses, filsafat marxisme dan komunisme saat dia belajar di Syiria, dan pengaruh dari temannya, Ja’far dak Al Bab. Yang disebut paling terakhir ini mempunyai pengaruh sangat besar dalam Syahrur dalam aspek bahasa, yang mana akan tertuang dalam buku magnum opus nya, Al Kitab wa Al Quran, Qiraah Mu’asirah.
Kesemua pemikiran dan filsafat yang mempengaruhi Syahrur tersebut berkumpul dan bercampur dalam pemikirannya, sehingga kemudian melahirkan sebuah konsepsi pemikiran yang unik atau bisa dikatakan berbeda dengan ajaran dan konsep di Islam dalam usahanya untuk melakukan studi tentang agama, khususnya yang berkaitan dengan Al Quran. Selain itu, latar belakang pendidikan Syahrur berupa teknik sipil dan bangunan, juga ikut mempengaruhi penelitian dia tentang Islam, dimana ia melihat dan menggambarkan beberapa konsep ajaran Islam layaknya rumus dan kurva-kurva matematika.

Dari penelitian dan studinya dalam Islam, Syahrur menghasilkan beberapa buku yaitu : 1)  Al Kitab wa Al Quran, Qiraah Mu’ashirah, 2) Nahwa Ushul Jadidah li Alfiqh Islami, Fiqh Mar’ah, 3)  Al Islam wa Al Iman, Manzum Alqiyam, 4) Tajfif Manafi Al Irhab.

B.     Perkembangan Hermeneutika dan Masuknya Dalam Islam

Dinamika penyampaian suatu teks dari penulis kepada pembaca inilah yang menjadi tajuk utama dalam hermeneutika
Hermeneutika dapat diartikan sebagai teori atau filsafat untuk menginterpretasikan suatu makna. Pada perkembangan selanjutnya, hermeneutika menjadi tema atau objek utama dalam ilmu-ilmu sosial, filsafat bahasa, atau kritik terhadap sastra[5]. Kata hermeneutika sendiri berasal dari bahasa Yunani,” Hermeneuin” yang berarti tafsir, interpretasi atau penerjemahan. Kata hermeneutika juga berasal dari salah satu dewa dalam mitologi Yunani yang bernama Hermes, dimana ia mengabdi pada Zeus dengan tugasnya untuk menyampaikan pesan dan berita dari para dewa-dewa kepada manusia.
Hermes
Oleh karena itu, tugas Hermes bukan hanya sekedar menyampaikan pesan tersebut, tetapi ia juga menerjemahkan mengelola pesan-pesan dari dewa agar bisa dimengerti dan dipahami oleh bahasa manusia. Dari sini diketahui bahwa hermeneutika mempunyai dua tugas utama : 1) Mengetahui makna dalam suatu kata atau kalimat dan 2) Meletakkan makna baru atas kata atau kalimat tersebut dalam suatu rumusan yang sistematis[6].

Sedangkan perkembangan hermeneutika secara historis terbagi menjadi tiga fase, klasik, pertengahan, dan modern. Fase klasik ialah dimana hermeneutika masih dianggap hanya sebagai seni menginterpretasikan makna (art of interpretation) dari suatu teks, sedangkan pengertian hermeneutika sebagai penerjemahan sudah muncul jauh sebelum itu. Permulaan fase hermenutika pertengahan umumnya dianggap sejak upaya pemberiaan makna atau interpretasi terhadap bible atau perjanjian baru, pada dua tataran makna, tipologis[7] dan alegoris[8]. Upaya interpretasi ini menandakan bahwasanya suatu teks yang telah tertulis pada masa yang lampau dapat dipahami kembali sesuai dengan konteks hari ini. Sedangkan fase terakhir dalam perkembangan hermeneutika ialah hermeneutika modern. Josef Bleicher membagi fase ini menjadi tiga aliran hermeneutika[9] : yang pertama ialah teori hermeneutika yang diusung oleh Freidrich Schleimacher dan didukung oleh Emilio Betti, yang kedua ialah filsafat hermeneutika yang diusung oleh Martin Heidegger dan Hans Georg Gadamer, dan yang terakhir ialah hermeneutika kritis, yang diusung oleh Jurgen Habermas.

Betti memandang hermeneutika sebagai sebuah auslegung (Interpretasi), yaitu bagaimana mendapatkan sebuah bentuk penafsiran yang valid dan objektif[10]. Oleh karena itu, Betti memandang seorang penafsir harus menyelami alam kehidupan penulis teks untuk mendapatkan makna yang objektif. Hal inilah yang ditentang oleh aliran filsafat hermeneutik. Gadamer berpendapat bahawasanya berbicara tentang intrepretasi atau penafsiran yang objektif adalah suatu omong kosong. Seorang penafsir tidak mungkin bisa masuk ke dalam alam penulis teks dengan terlepas dari ruang lingkup kesejarahannya (penafsir).

Bertolak dari penolakan terhadap teori hermeneutika Betti, Gadamer mengajukan  sebuah konsep mengenai hermeneutika linguistik dialektis , yang mana berfokus kepada bahasa sebagai sebuah ontologi dan dialektika. 
Hans Georg Gadamer
Gadamer berpandangan bahwasanya bahasa tidak bisa terlepas dari pengalaman hidup orang, pemahamaman ataupun pemikirannya. Bahasa ialah landasan dan sarana untuk mencapai pengalaman hermeneutika[11]. Maka, Gadamer berpendapat bahwasanya tujuan hermeneutika bukanlah menciptakan sebuah metode penafsiran baru, ataupun menciptakan tatanan yang sistematis, tetapi tujuannya ialah mencapai sebuah pemahaman yang benar melalui konsentrasi dalam bahasa. Disamping itu, Gadamer juga menolak sistem tanda dalam bahasa. Sistem tanda dalam bahasa menurutnya telah menghalangi makna sebenarnya dari sebuah kata. Ia mengatakan bahwanya sebuah bahasa harus dipahami merujuk kepada perkembangan sejarahnya, maknanya dan dan susunan gramatikalnya[12].

Kedua aliran hermeneutika diatas yang saling bertentangan dan berseteru mewarnai dunia perkembangan hermeneutika pada era modern. Namun seolah tidak cukup, muncul lagi aliran baru hermeneutika di era modern yang diusung oleh Jurgen Habermas dengan konsepnya hermeneutika kritis (Critical Hermeneutic). Konsep hermeneutika kritis Habermas berawal dari mazhab Frankfurt, sebuah komunitas intelektual di lingkungan institute fur sozialforschung, sebuah universitas di kota Frankfurt Jerman. Misi gerakan ini ialah pemikiran kritis dengan maksud memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat industri sekarang dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Namun pada perkembanganya, mazhab frankfut ini mengalami kebuntuan dalam menegasikan filsafat bahasa dalam proses kritiknya. Disinilah peranan Habermas. Ia mengkritisi rasio struktural diatas[13] dengan meletakkan unsur hermeneutika dalam rasio tersebut, yaitu rasio komunikatif (Comunicatif Ratio).

Dinamika perkembangan hermeneutika diatas sudah cukup menggambarkan, bagaimana hermeneutika berawal dan berkembang dari era klasik hingga era modern sekarang ini. Pada perkembangan selanjutnya, beberapa pemikir Islam juga menerapkan hermeneutika dalam mengkaji makna dalam Al Quran. Sebut saja Nasr Hamid Abu Zayd yang mengkaji Al Quran dimana ia melakukan pendekatan linguistik dan sastra dalam menggali makna Al Quran. Atau pemikir lainnya seperti Farid Esack, Muhammad Arkoun, Ali Harb dan lainnya. Mereka semua melakukan pendekatan hermeneutika dalam mengkaji makna dari teks-teks Al Quran. Begitu pula dengan Muhamad Syahrur, yang juga menerapkan konsep hermeneutika dalam mengkaji makna Al Quran. Bila kita cermati, maka akan tampak bahwa pemikiran Syahrur dalam bidang Hermeneutika memiliki kesamaan atau paling tidak sedikit banyak terpengaruh dari dinamika hermeneutika diatas yang dicanangkan oleh beberapa tokoh nya. Penolakan Syahrur terhadap teori sinonimitas dalam bahasa karena menurutnya tiap kata memiliki makna nya sendiri yang dilatarbelakangi oleh sejarah kata tersebut berkembang memiliki kesamaan dengan hermeneutika linguistik dialektis yang dipaparkan oleh Gadamer seperti diatas.

C.    Studi Hermeneutika Al Quran Muhammad Syahrur
Setelah paparan diatas mengenai latar belakang kehidupan dan pemikiran Muhamad Syahrur dan dinamika kemunculan dan perkembangan hermeneutika hingga masuknya ke dalam ranah pemikiran beberapa pemikir Islam modern, termasuk Muhammad Syahrur, maka pada pembahasan kali ini akan menjelaskan inti dari kajian atau studi hermeneutika Al Quran yang dilakukan Muhammad Syahrur, yang mana dalam hal ini terdiri dari tiga bagian : latar belakang pemikiran hermeneutika Muhammad Syahrur, Hermeneutika Syahrur dalam studi Al Quran, dan produk pemikiran hermeneutika Al Quran Syahrur.

1. Landasan Pemikiran Hermeneutika Muhammad Syahrur
Pemikiran hermeneutika Muhammad Syahrur sejatinya dipengaruhi dari berbagai aspek, diantaranya : filsafat proses, metode historis linguistik, dana juga unsur-unsur dari relativisme dan dialektika Hegel. Namun, dari semua itu, ada dua aspek yang paling nampak dalam pemikiran Syahrur ialah filsafat proses yang teraplikan dalam konsep triodik keadaaan awal-kondisi menjadi-kondisi jadi (Being-Progress-Becoming) dan metode linguistik historis

Filsafat Proses
Filsafat proses yang menjadi landasan pemikiran hermeneutika Syahrur ini tampak ketika ia membicarakan tentang konsep triodik nya yaitu keadaan awal, keadaan menjadi, dan keadaan jadi  atau dalam bahasa arabnya al kaynunah, as sayrurah dan as soyruroh. Filsafat proses berpendapat bahwa segala yang ada dalam dunia ini selalu berhubungan satu sama lainnya, dan semuanya selalu dalam keadaan berkembang dan dinamis tanpa pernah berhenti[14]. Adapun yang pertama kali mengungkapkan filsafat proses ini ialah Alfred White Northead. Oleh Syahrur, filsafat proses ini ia terjemahkan menjadi suatu konsep triadik seperti diatas yang mana menurutnya salah satu unsur dari konsep triadik tersebut tak bisa berdiri sendiri dan akan selalu berhubungan dengan unsur lainnnya.

Sebagai kondisi awal atau Being, Syahrur berpendapat bahwasanya yang dimaksud Being ialah segala wujud yang material. Dan sebagaimana diungkapkan diatas, bahwasanya segala sesuatu yang dalam keadaan being ini akan menuju keadaan selanjutnya, yaitu keadaan menjadi atau progress dan keadaan jadi atau becoming[15]. Dalam hal ini Syahrur meletakkan segala sesuatu yang ada di dunia ini dalam posisi Being termasuk dalam pembahasan tentang Al Quran, hal ini berarti bahwasanya Al Quran beserta maknanya akan selalu berubah dan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Memang Syahrur tetap beranggapan bahwasanya teks Al Quran ialah teks yang tetap dan abolut, yang mana langsung berasal dari Allah, tetapi makna Al Quran selalu berubah mengikuti perkembangan zaman serta bagaimana kondisi masyarakat yang melingkupinya dan interaksi masyarakat terhadap teks Al Quran tersebut. Pada tahap ini maka posisi Al Quran sudah berubah dari yang Being menjadi Progress. Setelah mengalami progress, maka hasil yang dihasilkan ialah kajian akan makna Al Quran yang benar-benar baru, yang mana ia mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Dari sini pula lah, maka akan mengasilkan dimensi keilmuan baru dalam ilmu kalam, fiqh, dan cabang ilmu lain sebagainya, yang mana mengikuti perkembangan zaman dan tuntutan dan kebutuhan hidup manusia.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwasanya Syahrur berpandangan bahwa segala sesuatu yang ada pada zaman yang lalu tidak dapat disamakan dengan hari ini, karena semua yang ada di dunia ini akan selalu berubah dan bergerak sesuai dengan konsep triadik. Termasuk dalam hal ini Al Quran dan makna nya yang juga akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan interaksi manusia dengan nya. Hal ini sebagaimana ditulis Syahrur dalam bukunya[16] :

"Abad ketujuh tentunya berbeda dengan abad ke sepuluh, dua puluh, atau abad empat puluh. Manusia pada abad-abad ini tentunya juga berbeda satu sama lainnya dalam hal pengetahuan, kebiasaan, tantangan kehidupan, politik, ekonomi, dan dinamika keilmuan mereka. Masing-masing dari mereka akan meingterpretasikan at tanzil (Al Quran) sesuai dengan taraf keilmuan mereka dan kondisi mereka. Maka sebagian dari mereka akan menemukan apa yang tidak orang lain temukan, begitupun sebaliknya".

Metode Linguistik Historis
Selain menggunakan filsafat proses sebagai landasan studi hermeneutika Al Qurannya, Syahrur juga berangkat dari metode linguitik historis untuk menganalisa makna di dalam Al Quran. Disini Syahrur melihat bahwasanya setiap kata memiliki latar belakang historisnya sendiri. Hal inilah yang ia gunakan untuk menganalisa struktur kata dan kalimat dalam Al Quran. Hal ini sebagaimana diakui oleh Dr. Ja’far dak Al Bab, dalam pengantar buku “ Al Kitab wa Al Quran, Qiraah Mu’ashirah[17] :

"Syahrur berangkat dari metode linguisitk historis dalam studinya terhadap bahasa, yang mana ia gunakan untuk menganalisa struktur dalam suatu bahasa."

Dalam menggunakan metode linguistik historisnya, Syahrur mengambil refrensi dari Mu’jam Maqoyis al Lughoh milik Abu Ali Al Farisi, selain itu ia juga terinspirasi dari studi tentang bahasa yang dilakukan oleh Ibnu al Jinni, dan Imam al Jurjani. Dari itu semua, ia sampai kepada beberapa poin kesimpulan yaitu:
1.  Bahwasanya disiplin ilmu bahasa selalu dalam keadaan dinamis, selalu bergerak mengikuti                 alur zaman dan kondisi masyarakat.
2.  Adanya keterikatan atau hubungan antara pikiran manusia dan bahasa. Hal ini berimplikasi                 bahwa setiap makna dari kata berasal dari pemikiran manusia dan konteksnya sendiri.
3. Menolak adanya sinonimitas dalam bahasa.

Beranjak dari beberapa poin diatas, maka Syahrur menolak persamaan makna antara Al Kitab, Al Quran, Al Furqon, dan At Tanzil, dimana menurutnya masing-masing dari istilah tersebut memiliki maknanya tersendiri. Disini Syahrur memberi makna dan definisi masing-masing dari setiap kata tersebut. Hal ini berbeda dengan apa yang disepaki oleh para ulama’, yang mana kesemua kata  tersebut hanyalah nama lain untuk Al Quran.

  Dialektika Materialisme
Materialisme ialah suatu paham yang memandang bahwasnaya di dunia ini tidak ada hal selain materi. Dengan kata lain paham materialisme ini menolak hal-hal yang bersifat metafisik, seperti Tuhan, ruh, jiwa dan sebagainya, ataupun hal-hal yang berasal darinya seperti wahyu Tuhan, ataupun syari’at yang dibawakan oleh para nabi-nabi[18]. Adapun dialektika adalah suatu konsep filsafat yang dicanangkan oleh Martin Hegel yang mana tujuan nya ialah mencari asal muasal suatu wujud.

Muhammad Syahrur menggunakan metode dialektika materialism ini ketika dia membahas tentang dialektika materi dan manusia, dalam bab ke dua dari buku Al Kitab wa Al Quran Qira’ah Muashirah. Disini Syahrur berpandangan bahwasanya sumber pengetahuan manusia ialah dari alam yang bersifat materi, bukan dari hal-hal lainnya yang bersifat non materi, atau metafisik[19].

D.   Hermeneutika Syahrur Dalam Studi Al Quran
Sebagaimana disampaikan diatas bahwasya Syahrur menolak adanya sinonimitas di dalam bahasa, yang mana hal tersebut merupakan aplikasi lebih lanjut dari konsep triadik diatas. Dalam hal ini Syahrur membedakan term antara Al Kitab, Al Quran, Al Furqon dan At Tanzil. Syahrur memberikan batasan makna antara satu term diatas dengan term lainnya, dimana masing-masing memiliki konsep dan arti tersendiri. Padahal menurut ulama tafsir sendiri pun, keempat term tersebut hanyalah nama lain dari Al Quran dan merujuk kepada satu makna dan konsep yang sama. Menurut para Ulama Tafsir, perbedaan antara satu term dengan lainnya, hanyalah perbedaan dalam nama, bukan makna. Disinilah titik awal pemikiran hermeneutika Syahrur berasal. Maka untuk lebih lanjutnya, akan dibahas mengenai perbedaaan antara ke empat term tersebut menurut Syahrur.

a.      Al Kitab
Menurut Syahrur Al Kitab adalah definisi umum dari apa yang diwahyukan oleh Allah Swt kepada nabi Muhammad Saw, yang mana di dalam Al Kitab ini juga mencakup konsep tentang Al Quran dan Al Furqon. Berdasarkan ayat yang terdapat di dalamnya, Syahrur membagi Al Quran menjadi dua bagian, al muhkam dan al mutasyabih, yang mana pengklasifikasian ini berdasarkan pada ayat :

الَّذِىْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَ أُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةُ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلَهُ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلَّا اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلُّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَرُ إِلَّا أُولُوْ الْاَلْبَابُ[20]

Berdasarkan ayat ini, Syahrur membagi ayat Al Quran menjadi dua bagian, ayat muhkam dan mutasyabih. Ayat muhkam atau yang dia sebut juga dengan Ummul Kitab ialah ayat-ayat yang membahas selain tentang masalah aqidah, sedangkan ayat mutasyabih ialah ayat yang membahas tentang masalah, ibadah, akhlaq dan hukum, dimana makna dari ayat-ayat tersebut dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan waktu[21]. Di ayat mutasyabih inilah terjadinya proses relatifisme makna, yang mana akan melahirkan pandangan dan konsep baru dalam studi makna dan ayat-ayat Al Quran. Hal ini sebagaimana tampak pada upaya syahrur menjelaskan tentang konsep hijab wanita, yang akan dijelaskan pada pembahasan nanti. Di sini pulalah Syahrur mengaplikasikan konsepnya tentang filsafat proses dan konsep triadiknya, dimana semua hal di dunia ini akan selalu bergerak dan berubah mengikuti perkembangan waktu.

b.      Al Quran
Syahrur membedakan makna antara al Kitab dan al Quran, yang mana perbedaan ini ia landaskan pada penyebutan kata Al kitab dan Al Quran dalam Al Quran itu sendiri. Di dalam surat Al Baqarah ayat dua tertulis :

y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
Kitab  ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa

Sementara itu, di dalam surat Al baqarah ayat seratus delapan puluh lima tertulis : 

ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4
 (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

Syahrur melihat bahwasanya penyebutan kata Al Kitab pada ayat yang pertama diposisikan sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa, sementara penyebutan kata Al Quran diposisikan sebagai petunjuk bagi ummat manusia (Hudan li an naas). Hal ini berarti bahwa Al Quran lebih bersifat global, dimana ia ditujukan bagi seluruh ummat manusia, baik yang muslim ataupun tidak. Sementara itu Al Kitab lebih bersifat khusus, dimana ia ditujukan untuk orang yang bertaqwa kepada Allah saja, atau ummat muslim. Dari sini Syahrur mengambil kesimpulan bahwasanya Al Kitab dan Al Quran ialah dua hal yang berbeda.

c.       Al Furqon
Sebagaimana Ad Dzikr, Syahrur berpendapat bahwasanya Al Furqon sendiri tidak sama  dengan Al Kitab, melainkan ia hanyalah bagian Ummu al Kitab atau Ar Risalah yang mana Al Furqon sendiri ialah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada nabi Musa A.S. Syahrur mendasari pendapat ini berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 53 :

  øŒÎ)ur $oY÷s?#uä ÓyqãB |=»tGÅ3ø9$# tb$s%öàÿø9$#ur öNä3ª=yès9 tbrßtGöksE ÇÎÌÈ  
dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa Al kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk.

Lebih lanjut lagi, Syahrur berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Al Furqon ini ialah ‘sepuluh perintah’ yang diberikan kepada nabi Musa A.S. ‘Perintah sepuluh’ ini pun sudah termuat di dalam Al Quran pada surat Al An’am ayat 151-153.

Berdasarkan uraian diatas, penulis sampai pada beberapa kesimpulan sejauh ini :
  1. Syahrur memberikan pengklasifikasian dan makna baru dari masing-masing istilah Al Kitab, Al Quran, Al Furqon dan At Tanzil. Bagi Syahrur Al Kitab ialah sebuah istilah umum bagi apa yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW yang mana tercakup di dalamnya Al Quran, Al Furqon dan Ad Dzikr. Berdasarkan ayatnya, Al Kitab dibagi menjadi dua bagian yaitu kitab muhkan dan kitab mutasyabih. Kitab muhkam atau Sab’ul Matsanu bersifat mutlak dan tetap (Qot’i Tsubut). Sementara itu kitab mutasyabih bersifat relatif. Dengan kata lain interpretasi makna kitab mutasybih ini selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Dengan ini, maka sebenarnya konsep kitab mutasyabih yang diajukan Syahrur ini merupakan aplikasi dari penerapan konsep triadik, dimana segala hal akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Pun begitu, Syahrur melihat bahwasanya interpretasi dan penafsiran Al Quran pada zaman dahulu tidak bisa lagi diterapkan pada hari ini, oleh karena itu ia membutuhkan suatu penafsiran yang menyesuaikan dengan pembaharuan hari ini.
  2. Syahrur menolak adanya sinonimitas dalam bahasa. Ia melihat bahwasanya setiap kata sudah memiliki maknanya tersendiri dan tidak mungkin ada dua kata yang memiliki makna yang sama. Beranjak dari sini pula, ia menolak adanya kesamaan makna antara istilah Al Kitab, Al Quran, Al Furqon dan Ad Dzikr. Setiap dari istilah tersebut memiliki definisi dan maknanya tersendiri.
  3. Syahrur melihat bahwasanya sebuah kata tidak terlahir dari suatu konteks tertentu. Oleh karenanya makna menjadi fleksibel, ia akan selalu mengikuti perkembangan zaman dan kondisi. Oleh karena itu juga, ia melihat makna yang terkandung dalam Al Quran bersifat relatif, dimana ia mengikuti perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang melingkupinya.


D.    Produk Pemikiran Hermeneutika Al Quran Muhammad Syahrur
Konsep pemikiran hermeneutika Al Quran Muhammad Syahrur seperti dipaparkan diatas telah melahirkan suatu produk pemikiran tertentu dalam studi keislaman, khususnya yang berkaitan dengan fiqh. Beberapa hal yang terlahir dari konsep hermeneutika Syahrur ialah:

1.    Teori Limit (Nazriyah al Hudud)
Pada hakikatnya, teori limit ialah aplikasi lebih lanjut dari konsep triadik yang dicanangkan Syahrur. Teori limit Syahrur sendiri ialah sebuah metode baru untuk memahami Al Quran berdasarkan konteks sekarang. Hal ini ia lakukan agar Al Quran sendiri tidak bersifat statis, tetapi dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Teori limit Syahrur melihat bahwasanya setiap hukum Syariah dalam Islam memiliki dua batas, yaitu batas atas dan batas bawah (al Hadd al A’la dan al Hadd al Adna).Diantara kedua garis batas tersebut akan terbentuk suatu kurva matematis, dan disitulah suatu Syari’ah yang telah bersifat mutlak qat’i, bisa menjadi relatif zonni. Syahrur sendiri mengungkapkan bahwa dengan adanya teori limit ini akan memungkinkan terbukanya ruang baru untuk ijtihad dan penafsiran baru, selama tidak menyimpang dari batasan landasan hukum Allah[22]. Adapun Syahrur melandasi teori limitnya dari ayat Al Quran :

 šù=Ï? ߊrßãm «!$# 4 ÆtBur ÆìÏÜム©!$# ¼ã&s!qßuur ã&ù#Åzôム;M»¨Zy_ ̍ôfs? `ÏB $ygÏFóss? ㍻yg÷RF{$# šúïÏ$Î#»yz $ygŠÏù 4 šÏ9ºsŒur ãöqxÿø9$# ÞOŠÏàyèø9$# ÇÊÌÈ   ÆtBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur £yètGtƒur ¼çnyŠrßãn ã&ù#Åzôム#·$tR #V$Î#»yz $ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ  
Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.

Contoh kurva matematis teori limit Syahrur
Beberapa contoh dari aplikasi teori limit ini ialah hukuman untuk para pencuri. Islam sendiri pun sudah menetapkan hukuman bagi seorang pencuri ialah dipotong tangannya. Disini Syahrur melihat bahwasanya hukuman potong tangan berada dalam posisi batas atas (al Hadd al A’la). Dengan demikian, ia melihat bagi seorang pencuri tidak harus dipotong tangannya, bisa saja hukumannya lebih rendah daripada itu, tergantung dengan nilai barang yang ia curi[23]. Contoh lain ialah ketika ia menetapkan batasan aurat batasan berpakaian bagi wanita. Syahrur melihat bahwasanya aurat bagi wanita sesungguhnya hanya dua, yaitu dada dan alat kelaminnya. Disini kedua hal tersebut menempati posisi batas bawah (al Hadd al Adna). Dengan demikian seorang wanita hanya berkewajiban menutup kedua  area tersebut, sedangkan kewajiban menutup seluruh tubuh, sebagaimana disyariatkan oleh Islam sendiri hanyalah hal yang terbentuk dari konstruk masyarakat. Apabila teori limit Syahrur ini diaplikasikan dalam berbagai hal khususnya yang berkaitan dengan ranah fiqh, maka hal ini akan berdampak pada konstruksi besar-besaran dalam syariah Islam. Hal-hal yang telah memiliki hukum tertentu seperti haram atau halal, wajib atau sunnah, maka melalalui teori limit ini akan berubah. Kerelatifan syariah Islam pun akan menjadi suatu keniscayaan.

2. Pembatasan Aurat Bagi Wanita
Dalam masalah batasan aurat bagi manusia, Syahrur memberikan batasan yang rancu, terlebih untuk batas aurat bagi wanita. Sebagaimana teori limit, Syahrur juga memberikan batas atas dan bawah untuk aurat manusia. Bagi pria, batas atasnya  ialah alat kelamin, dubur, dan kedua selangkangan, sedangkan batas bawahnya ialah yang selain itu. Untuk wanita sendiri batasan atasnya auratnya sama dengan pria, dengan tambahan kedua dadanya, dan batasan bawahnya ialah selain itu[24]. Disini Syahrur jelas telah mendekonstruksi Syariah Islam dalam hal batasan aurat. Dalam Islam sendiri pun batasan aurat bagi wanita ialah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan, tanpa mengenal istilah batas atas atau batas bawah.
Islam sendiri pun sudah memberikan batasan menutup aurat yang jelas bagi wanita

Menurut ia juga, batasan aurat bagi wanita yang sekarang ialah suatu hal yang terbentuk oleh konstruk masyarakat, bukan hal yang ditetapkan secara pasti oleh syariah Islam. Ia merujuk kepada awal mula Islam muncul. Menurutnya, ada perbedaan cara berpakaian bagi wanita arab dahulu. Bagi wanita yang menyandang status budak, maka ia tidak menutupi seluruh tubuhnya, sedangkan bagi wanita yang menyandang status merdeka, maka ia menutupi seluruh tubuhnya. Setelah Islam datang, maka cara berpakaian wanita yang merdeka dijadikan landasan untuk menetapkan batasan menutup pakaian bagi seluruh wanita Islam[25]. Hal ini menurut Syahrur merupakan suatu hal yang terbentuk oleh konstruk masyarakat, bukan ditetapkan oleh Islam sendiri.

Bahkan lebih jauh lagi, melalui  Syahrur memperbolehkan untuk melihat aurat orang lain. Hal ini ia dasari dari interpretasi dia mengenai ayat Al Quran :

@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ ( Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ)  ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr&  ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr&  ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r&  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/  ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷ƒr& Írr& šúüÏèÎ7»­F9$# ÎŽöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# šúïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàtƒ 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( Ÿwur tûøóÎŽôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøƒä `ÏB £`ÎgÏFt^ƒÎ 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ[26]  
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah Hai orang-orang yang beriman,  supaya kamu beruntung.

Kata “ Yagdudna min Absoorihinna” menurut Syahrur mengandung indikasi bahwasanya seseorang hendaklah menahan sebagian dari pandangannya dan kemaluannya agar tidak ditunjukkan. Hal ini bukan berarti bahwa seseorang harus menutupi seluruh batasan auranya, tetapi hanya sebagiannya saja. Hal ini berkaitan dengan rasa malu dan apa yang dikatakan Syahrur dengan “ as suluk al ijtima’i” atau etika sosial. Dengan kata lain, menurut Syahrur sah-sah saja bila seorang wanita menunjukkan auratnya dan bagian tubuhnya, selain aurat yang ditetapkan oleh batasan maksimal seperti diatas, kepada khalayak umum, selama ia tidak merasa malu atau keberatan. 


E.     Kritik Atas Hermeneutika Al Quran Muhammad Syahrur
Dari pemaparan diatas, dapat ditarik beberapa poin kesimpulan dari pemikiran hermeneutika Syahrur dalam studi Al Quran. Pertama, Syahrur melandasi pemikiran nya dari konsep triadik, yang mana ia meletakkan segala sesuatu di dunia ini, termasuk Al Quran, dalam konsep ini. Hal ini berimplikasi bahwa Al Quran akan selalu berada dalam proses dinamis, dan bersifat relatif, karena ia akan selalu mengikuti perkembangan zaman. Kedua, dalam mendasari kajian linguistiknya terhadap Al Quran, ia menolak adanya konsep sinonimitas di dalam bahasa, termasuk dalam Al Quran sendiri. Dari sinilah ia menolak adanya perbedaan makna dan definisi antara istilah Al Kitab, Al Quran, Al Furqon, dan Ad Dzikr, dimana ia memberikan penjelasan dan konsep tersendiri untuk masing-masing istilah itu. Dalam Al Kitab misalnya, dimana ia membagi ayat-ayat dalam Al Kitab menjadi dua bagian, yaitu ayat muhkam dan mutasyabih. Bilamana ayat muhkam sudah berisi ketetapan yang pasti, ayat mutasyabih menurutnya berisi hal-hal yang bersifat reratif dan dinamis, diman terbuka ruang untuk manusia untuk meinginterpretasikannya secara bebas. Konsep pemikiran Syahrur diatas tentu saja tidak bisa dibenarkan semuanya, dimana dalam hal ini membutuhkan sebuah tindakan analisis dan kritik terhadapnya.

Latar belakang akademik Syahrur yang tidak ada sangkut pautnya dengan ranah studi Islam ataupun bahasa ternyata membawa dampak bahwa ia kurang menguasai kedua aspek terebut, terutama dalam aspek bahasa. Yusuf Soidawi, dalam bukunya “ Baidotu ad Diik” mengungkan kritik secara terperinci dan sistematis mengenai kesalahan-kesalahan bahasa dalam buku “Al Kitab wa Al Quran” nya Syahrur. Diantara kesalahan yang ia ungkapkan ialah bagaimana Syahrur telah salah dalam mengambil dan memaknai asli kata Al Kitab, dimana menurut Yusuf Soidawi sendiri dalam bukunya dalam memberikan definisi dan asli kata Al Kitab Syahrur tidak menguasai sejarah dan perkembangan bahasa Arab itu sendiri[27]. Di bagian lain, Syahrur juga memabagi ayat Al Quran dalam dua bagian utama : ayat muhkam dan mutasyabih. Menurut Yusuf Yusuf Soidawi sendiri, pengklasifikasian ini tidak didasari oleh ilmu nahwu dan sorf yang kuat, dimana Syahrur telah salah memahami susunan makna ayat ini dari aspek tatanan bahasanya[28].

Selain beberapa kritikan Yusuf terhadap ketidak cakapan Syahrur dalam kajian bahasa Arab, Yusuf juga menyampaikan kritik kerasnya terhadap penolakan Syahrur akan penolakan teori sinonimitas. Menurut Yusuf, penolakan Syahrur akan sinonimitas dalam bahasa merupakan hal yang tidak berdasar. Sebaliknya, Yusuf dengan lantang mengatakan akan adanya sinonimitas dalam bahasa, bukan hanya dalam bahasa arab saja, tetapi juga dalam semua bahasa. Hal ini menurutnya ialah sebuah keniscayaan di dalam sebuah bahasa. Yusuf sendiri memberikan contoh dalam bukunya beberapa kata yang memiliki makna yang sama. Misalnya kata as saif dan al hisam yang keduanya merujuk kepada satu makna yaitu pedang. Kemudian ada juga kata ‘uqul dan albab yang keduanya bermakna sama yaitu orang yang berakal. Contoh lain terdapat pada kata da’a dan naada yang keduanya juga bermakna sama yaitu memanggil, serta banyak lagi contoh lainnya[29].

Secara keseluruhan, kesalahan Syahrur dalam studi hermenutika Al Quran nya berdasarkan dari kedangkalan ia dari sisi kecakapan ia dalam aspek bahasa. Latar belakang pendidikan ia yang berasal dari jurusan teknik tidak memiliki sangkut pautnya dengan studi keislalaman, apalagi studi akan bahasa Arab. Memang ia sempat mempelajari secara otodidak akan studi bahasa bersama gurunya Dr. Ja’far al bab, tapi itu semua tidaklah cukup. Ketidakcakapan Syahrur dalam aspek bahasa tercermin dalam bukunya Al Kitab wa Al Quran, dimana Yusuf Soidawi menemukan lebih dari 80 kesalahan Syahrur dalam melakukan analisis studi bahasa dalam proyek hermenutika Al Qurannya disini. Selain itu penerapan konsep triadiknya terhadap posisi Al Quran, dimana ia memposisikan Al Quran sebagai hal yang bersifat relative-dinamis, tidak bisa dibenarkan begitu saja. Salah satu karakter Al Quran sendiri ialah kebenaran nya di semua waktu dan kondisi. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa kebenaran Al Quran bersifat relatif dan dapat dimaknai ulang, apalagi sampai mengubah hukum dan ketentuan, seperti pendapat Syahrur diatas, tentu saja tak bisa dibenarkan. 

F.     Penutup dan Kesimpulan
Perkembangan yang pesat dalam ranah studi dan akademika sekarang, khususnya yang berkembang di Barat, ternyata membuat beberapa pemikir dan civitas akademika dari ummat Islam silau, dimana kemudian mereka mengambil beberapa hal dari perkembangan keilmuan dari Barat untuk kemudian mereka terapkan dalam kajian studi Islam. Tetapi yang patut digarisbawahi disini ialah, harus adanya sikap kritis dan hati-hati ummat Islam dalam mengambil beberapa aspek keilmuan di Barat, karena tidak semua hal yang diambil dari sana dapat diterapkan dalam studi Islam. Perbedaan akan nilai-nilai ajaran serta konsep keilmuan menjadi hal yang mendasari tindakan ini. Seperti telah diketahui bahwa dinamika kehidupan dan keilmuan di Barat dipenuhi dengan aspek-aspek relativisme, liberalisme, dan menjunjung tinggi kebebasan berfikir tanpa dibatasi norma-norma agama.

Studi hermeneutika Al Quran yang dilakukan Syahrur menjadi contoh dari hal diatas. Dalam bukunya Al Kitab wa Al Quran, terlihat jelas bagaimana ia melakukan pendekatan hermeneutika linguisitik dalam mengkaji Al Quran itu sendiri. Sesuai dengan konsep triadik yang ia canangkan, ia mendudukkan Al Quran sebagai suatu objek yang dinamis-relatif, akan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Begitu pun dengan pemikiran dia dalam aspek linguistik nya, dimana ia menolak adanya sinonimitas dalam bahasa, yang berimbas pada upaya Syahrur dalam mendefinisikan Al Kitab, Al Quran, Al Furqon dan Ad Dzikr, dimana kesemua definsi tersebut sebagai justifikasi dia akan kerelatifan dan kedinamisan Al Quran.

Memang tak bisa dinafikkan bahwa dinamika intelektual dan akademik di Barat sedang berkembang pesat pada beberapa dekade ini, dan merupakan suatu hal yang lumrah bilamana ummat Islam mengambil mengambil beberapa pembelajaran dari sana. Namun satu hal yang perlu diperhatikan ialah perlunya tindakan hati-hati dan sikap kritis dalam memilah-milah hal mana yang bisa diambil dan diterapkan dalam Islam, dan hal yang mana juga yang harus dinafikkan, sehingga dapat menghindari adanya kerancuan dalam dinamika intelektual dan studi Islam. Wallahu a’lam.








                                                                             Refrensi

Ab      Abdullah,  Amin, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual ( Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press   dan Forum Studi Hukum Islam, 2004)
           Affanah, Jawwad Musa Muhammad, Al Quran wa Auhamu al Qiraah Mu’ashirah ( Oman: Daarul        Basyar li an Nasyr wa at Tauzi’: 1994)
           Aji Nugroho, Muhammad, Hermeneutika Muhammad Syahrur, Telaah Tentang Teori Hudud (Tanpa  Tahun dan Penerbit)
            Armas, Adnin, Metodologi Bibel Dalam Studi Al Quran, (Jakarta: Gema Insani, Cetakan Kedua    2007)
           Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics, Hermeneutics as method, philosophy and critique   (London and New York : Routledge, 1990)
           Browning, W.R.F, Kamus Al Kitab, Dictionary of Bible ( Inggris : Oxford University, 1990)
           Christman, Andrean in Muhammad Sahrur, The Quran, Morality and Critical Reason : The Essential  Muhammad Sahrur (leiden Boston :Brill 2009)
           Clark, Peter, The Sahrur Phenomenon: A Liberal Islamic Voice From Syria, Islam and Christian-Muslim Relations, vol 7, no 3, 1996, accesed from : http ://www.wluml.org/sites/wluml.org/files/import/English/pubs/rtf/dosiers17/D17-11-shahrur.rtf
           Gadamer, Hans Georg, Truth and Method ( London : Continum, 1975)
           Habermas, Jurgen, Knowledge and Human Interest ( Boston :Beacon Press 1971)
           Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika (Yogyakarta: Penerbit Paradigma, 2009)
           Meslee, C. Robert,  Proccess Relational Philosophy An Introduction to Alfred North Whitehead (West Conshohocken : Templeton Foundation Press, 2008)
           Mustaqim, Abdul , Epistemologi Tafsir Kontemporer ( Yogyakarta :LKIS, 2013)  
           Soidawi, Yusuf , Baidotu ad Diik ( Penerbit  al ‘Awunihay)
           Syahrur, Muhammad , Nahwa Ushul al Jadidal Lil Fiqh al Islami (Damaskus, al Ahali li at Thiba’ah wa an Nasyr wa at Tauzi’, 2000)
           Syahrur, Muhammad, Al Kitab wa Al Quran, Qira’ah Muashirah ( Damaskus : Penerbit Al Ahali, 1990) hal 20
            Utsman, Mahmud, A Fikr al Maadi al hadits wa Mauqif al Islam Minhu ( Kairo: Daarul al Islamiyyah li at Thiba’ah wa an Nasyr : 1984)





[1] Andrea Christman, in Muhammad Sahrur, The Quran, Morality and Critical Reason : The Essential Muhammad Sahrur (leiden Boston :Brill 2009) p xix
[2] Ibid, hal 502
[3] Peter Clark, The Sahrur Phenomenon: A Liberal Islamic Voice From Syria, Islam and Christian-Muslim Relations, vol 7, no 3, 1996, accesed from : http ://www.wluml.org/sites/wluml.org/files/import/English/pubs/rtf/dosiers17/D17-11-shahrur.rtf
[4] Andrea Christman, Op.cit, hal xx-xxi
[5] Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, Hermeneutics as method, philosophy and critique (London and New York : Routledge, 1990) p 1
[6] Ibid, hal 11
[7] Tipologis ialah suatu pengakuan bahwasanya INjil memuat tentang berita-berita tentang juru selamat dan keselamatan ummat manusia. Lihat W.R.F Browning, Kamus Al KItab, Dictionary of Bible ( Inggris : Oxford University, 1990) hal 11
[8] Alegoris adalah suatu metode penafsiran yang melihat bahwasanya suatu kata mempunyai makna kedua, dimana ia bertentangan dengan maknanya yang pertama. Lihat W.R.F Browning, Ibid, hal 137
[9] Josef Bleicher, Op.Cit hal 11
[10] Auslegung merujuk pada sebuah interpretative objektif sedangkan speculative deutung atau speculative interpretation adalah suatu penetapan yang dibangun pada intuisi dan koherensi dari a priori system yang dibangun. Josef Bleicher, Op.Cit, hal 30
[11] Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika (Yogyakarta: Penerbit Paradigma, 2009) p 286
[12] Hans Georg Gadamer, Truth and Method ( London : Continum, 1975) p 394.
[13] Lihat Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interest (Boston :Beacon Press 1971)p  44
[14] C. Robert Meslee, Proccess Relational Philosophy An Introduction to Alfred North Whitehead (West Conshohocken : Templeton Foundation Press, 2008) hal 8
[15] Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul al Jadidal Lil Fiqh al Islami (Damaskus, al Ahali li at Thiba’ah wa an Nasyr wa at Tauzi’, 2000) hal 27
[16] Ibid hal 55
[17] Ja’far dak Al Bab dalam pengantar buku Al Kitab wa Al Quran, QIra’ah Muashirah ( Damaskus : Penerbit Al Ahali, 1990) hal 20
[18] Muhammad Syahrur, Op.Cit, hal 55
[19] Ibid, hal 42
[20] Al Imran : 7
[21] Muhammad Syahrur, Op.Cit, hal 37
[22] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer ( Yogyakarta :LKIS, 2013) h 93
[23] Muhammad Syahrur, Al KItab wa Al Quran, Ibid hal 499
[24] Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li Al Fiqh Islami ( Kairo : al Ahali, 1996) hal 509
[25] Ibid, hal 506
[26] An Nur : 31
[27] Yusuf Soidawi, Baidotu ad Diik ( Penerbit  al ‘Awunihay) hal 14
[28] Ibid, hal 51
[29] Ibid, hal 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar