Jumat, 16 Mei 2014

Menjawab Pertanyaan Filosofis-Fundamental Mengenai Tuhan

Menjawab Pertanyaan Filosofis-Fundamental Mengenai Tuhan


Judul Buku               : 5 Tantangan Abadi Terhadap Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya

Pengarang                 : Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahuddin Ahmad

Penebit                       : Mizan

Tebal                          : 323

“Tuhan telah mati, dan kitalah yang membunuhnya”.  Seruan oleh Freidrich Nietschze ini seolah menjadi gaung, bahwasanya peranan Tuhan sudah benar-benar tidak lagi dibutuhkan di kehidupan manusia sekarang. Memang, sejak Barat memasuki masa penuhanan akal dan rasio yang digagas oleh Descartes, kepercayaan masyarakat akan agama dan sesuatu yang bersifat mistis semakin menurun. Akal dituhankan, agama dan gereja pun semakin kosong ditinggalkan. Buat apa pula mempercayai atau menuhankan sesuatu yang gaib, kalau akal manusia telah menjadi Tuhan? Inilah yang menjadi pemikiran masyarakat Barat waktu itu, bahkan hingga sekarang. Agama dan keimanan kepada Tuhan tak lebih hanya sekedar kata belaka yang tak memiliki makna.

Dalam keadaan yang seperti ini, ditambah lagi dengan menyebarnya paham materialisme dan positifisme yang digagas oleh Karl Marx dan Auguste Comte. Pengusung paham materialisme beranggapan bahwa di dunia ini tidak ada halaman selain yang berbentuk materi. Ukuran segala sesuatu adalah materinya. Dengan sendirinya, paham materialisme ini pun menafikkan peranan dan wujud Tuhan yang bersifat gaib. Lain lagi dengan positivism Comte. Ia beranggapan bahwasanya periode kehidupan manusia. Terbagi menjadi tiga tahap : tahap teologis, metafisis, dan positif. Ummat manusia saat ini hidup di era positif, yang hanya memusatkan pikiran pada halaman-halaman yang faktual yang dapat diamati oleh indera. Bila manusia masih beragama ataupun mempercayai halaman-halaman yang bersifat gaib termasuk Tuhan, maka mereka sebenarnya masih hidup dalam tahap metafisis. Ketinggalan zaman. Disini masyarakat pun  mempertanyakan : apakah Tuhan itu benar ada atau tidak, kalau ada kenapa ia tak dapat diindera ? Atau kalau memang ada apakah kita harus mengimaninya? Pertanyaan tersebut, yang seolah sederhana tapi sangat fundamental, selalu digaungkan oleh kaum sekuler-liberal yang lebih menuhankan akal mereka.

Di lain tempat, ada orang yang mengimani keberadaan Tuhan tetapi dengan slogan bahwa tidak boleh ada agama yang mengklaim kebenaran mutlak hanya berada di agamanya. Semua agama sama-sama menuju kebenaran dan tujuan yang sama. Semua agama adalah sama benarnya, kalau tidak mau dikatakan semua agama adalah salah. Mereka inilah yang mengusung paham pluralisme agama, entah dalam bentuk ‘Global Theology’ nya John Hick atau ‘Transendent Unity of Religions’ nya Fritchof Schuorn, keduanya sama-sama menuju arah yang sama, penghapusan klaim kebenaran pada satu agama. Di tengah krisis keimanan terhadap tuhan dan pluralism agama sebagaimana disampaikan diatas, tentu saja memerlukan jawaban dan pemecahan tersendiri.

Buku “5 tantangan abadi terhadap agama dan jawaban islam terhadapnya” yang ditulis oleh Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahudin Ahmad, menghadirkan 5 pertanyaan mendasar beserta jawaban filosofis untuk setiap pertanyaan. Setiap pertanyaan dan jawaban diletakkan dalam bab tersendiri beserta kesimpulan akhir di tiap bab, yang berrati buku ini memiliki 5 bab di dalamnya. 5 pertanyaan yang dijawab pada tiap bab dalam buku ini ialah :

1.      Benarkah tuhan itu ada ?
2.      Masuk akalkah keimanan kepada tuhan ? 
3.      Kalau Tuhan ada, kenapa ada banyak keburukan di dunia ?
4.      Kalau agama benar, kenapa ada banyak agama ?
5.      Apakah agama diperlukan bagi moralitas ?

Setiap pertanyaan selalu didahului dengan muqaddimah, mengenai hakikat pertanyaan yang dikemukakan dan bagaimana situasi masyarakat yang sebenarnya dalam menghadapinya. Ini bisa dilihat pada halamanaman 21 sampai 24 dimana penulis buku ini menyampaikan bahwa semenjak dulu, persoalan tentang keberadaan Tuhan merupakan pertanyaan paling fundamental dan paling sering dilontarkan, namun kemudian muncullah gerakan yang menentang keberadaan Tuhan yang umumnya berasal dari abad ke 17. Dari muqaddimah tersebut, barulah penulis buku mengemukakan parameter-paramete tiap pertanyaan.

Dalam menjawab setiap pertanyaan, penulis buku menggunakan jawaban yang filosofis yang didasarkan pada argument-argumen yang kuat dari para ulama dan ilmuwan. Ulama dan ilmuwan yang dikutip argumennya pun bukan hanya sebatas dari golongan Islam, tetapi juga dari golongan Barat ataupun non Islam. Misalnya dalam argumentasi tentang wujud Tuhan. Selain menyajikan argument dari golongan Islam seperti argumen kosmologis wujud nisyaya Ibnu Sina ( halaman 34) dan argument kosmologis kalam yang digagas oleh ulama seperti Al Farabi, Al Ghazali dan Ibnu Rusyd (halaman 32), penulis buku juga mencantumkan argumen dari tokoh barat seperti argumen ontologism yang dikembangkan oleh Anselmus (Halaman 35) dan argument kesadaran John Locke ( halaman  39). Dalam halaman ini penulis buku bersikap washatiyyah (Pertengahan) dalam mengambil argument dari masingmasing tokoh Islam atau pun Barat. Halaman ini mungkin dikarenakan ke lima pertanyaan filosofis tersebut juga menjadi problem yang memerlukan jawaban bukan hanya dalam ranah Islam, tetapi juga dalam ranah agama-agama lainnya, ataupun dalam ranah Barat sekalipun.

Dalam bab dua, penulis berusaha menjawab pertanyaan ‘masuk akalkah keimanan kepada Tuhan’ dengan mengajukan argument-argumen mengenai hubungan antara Tuhan, sains, dan agama. Penulis buku berpendapat bahwa bidang-bidang sains dan nalar tunduk kepada Tuhan. Ia menulis pada halaman 120:

“Orang beriman memiliki alasan yang kuat untuk mempercayai kesejalanan (kompatibilitas) antara Tuhan dengan sains dan nalar. Bidang-bidang sains dan nalar tunduk kepada Tuhan. Entah dari sudut pandang sains dan nalar, penjelasan menyeluruh yang terbaik mengenai semua yang ada di alam semesta terletak dalam konsep tentang Tuhan.”

Pada bab ketiga, pertanyaan yang dikemukakan ialah kalau ada tuhan, mengapa ada banyak keburukan di dunia. Di antara sekian argumen yang dikemukakan untuk menjawab, penulis buku menerangkan bahwasanya terkadang ketentuan Ilahi yang kita pandang buruk pada kenyataannya adalah baik (halaman 138). Halaman ini tampak pada kisan nabi musa dan nabi khidir. Sewaktu perjalanan mereka, nabi Khidir melubangi perahu milik pekerja, membunuh seorang pemuda dan membangun kembali tembok yang hamper runtuh. Nabi musa yang ikut bersama nabi Khidir gagal dalam memahami makna tindakan nabi Khidir yang sekilas tampak buruk atau tidak jelas. Padahal dibalik setiap tindakan nya, ada ketentuan Ilahi yang bekerja dengan tujuan yang jauh lebih baik daripada apa yang bisa dipiirkan manusia.

Mengenai permasalahan tentang pluralisme agama yang dibahas pada bab 4, penulis buku menolak paham pluralisme agama dengan alasan dan pendekatan apapun. Agama yang tetap paling benar ialah Islam. Sementara agama-agama lainnya seperti Hindu, Budha, termasuk agama ahlul kitab seperti Yahudi dan Nasrani, kesemuanya mengalami inkonsistensi kitab suci dan distorsi teks didalamnya (halamanaman 243). Hanya Islam lah yang memiliki sumber dalam beragama yang masih terpelihara dan otentik. Dan pada akhirnya pun, Allah menyerukan kepada ummat manusia baik muslim atau non muslim untuk berpegang pada titik-titik persamaan (kalimah sawa) dalam mewujudkan satu agama primordial berupa sikap tunduk kepada Tuhan sebagaimana tertulis pada surat al Imran ayat 64 :

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS Ali Imran (3): 64)

Pertanyaan kelima yaitu apakah agama diperlukan bagi moralitas. Penulis buku berpendapat bahwa Tuhan merupakan sumber bagi moralitas, maka dengan sendirinya agama pun diperlukan menjadi sumber bagi moralitas. Adapun dalam Islam, perilaku moral dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari pemenuhan tujuan atau maksud penciptaan, yakni sikap tunduk dan patuh kepada Tuhan untuk menjadi khilafah Nya di muka bumi ini (halamanaman 303).

Kelima jawaban filosofis pada buku ini yang padat terhadap tantangan-tantangan intelektual pada agama pada dasarnya bertujuan untuk menyediakan sudut pandang Islam yang bersifat pengantar menyangkut persoalan-persoalan umum berkaitan dengan Tuhan. Halaman ini lah yang menjadi nilai lebih pada buku ini sehingga layak dimiliki. Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang fundamental sebagai gerbang untuk mengenal konsep Tuhan secara lebih lanjut dalam Islam. Selain itu bahasa yang digunakan dalam buku ini adalah bahasa yang mudah dipahami oleh seluruh golongan masyarakat, baik golongan intelektual ataupun non intelektual.


Terlepas dari itu semua, tetap saja buku ini memiliki kekurangan. Diantaranya ialah ketiadaan biografi penulis buku yang biasanya terletak pada halamanaman bagian akhir, sehingga para pembaca tidak bisa mengenal latar belakang kehidupan penulis, atau latar belakang intelektual. Untuk sebuah buku berisi wacana pemikiran dan filosofis seperti ini, penting kiranya menyantumkan biografi penulis agar pembaca lebih bisa menilai secara lebih objektf mengenai kandungan buku ini. Dalam halaman ini, pembaca pun masih dibuat bertanya, siapa sebenarnya Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahuddin Ahmad, penulis buku ini. Ketiadaan biografi penulis buku ini lah yang menjadi poin evaluasi dalam buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar