Disorientasi Pendidikan Indonesia
Satu kata yang
tepat menggambarkan fenomena pendidikan di Indonesia sekarang, miris. Betapa
tidak, seorang murid TK di JIS (Jakarta International School) yang harusnya
melewati masa kanak-kanaknya dengan bermain dan riang gembira, kini malah harus
hidup dalam trauma yang mendalam dan
ketakutan, karena menjadi korban tindak kekerasan sodomi oleh sekelompok
karyawan disana. Di lain tempat, siswa kelas satu SD di salah satu sekolah di
Makassar tewas karena dikeroyok oleh teman-temannya sendiri. Mereka baru siswa
tingkat sekolah dasar, dan sudah bisa membunuh orang, lantas apalagi kalau
mereka sudah besar nanti ?
Pada
jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
permasalahan dalam pendidikan menjadi lebih kompleks lagi. Tawuran antar
pelajar atau sekolah yang banyak terjadi, contohnya, yang seolah telah menjadi
hal yang tak terpisahkan di berbagai SMP dan SMA. Ditambah lagi dengan
tingginya tingkat pergaulan yang bebas, yang bahkan menjerumus kepada seks
bebas di kalangan remaja, yang mana pada kasus di Indonesia ini sudah mencapai
tingkat parah. Dr. Sugiri Syarief, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) di salah satu workshop generasi berencana dan
berkarakter mengatakan bahwa 50% dari remaja di Jakarta telah melakukan seks
bebas. Ia melanjutkan penduduk Jakarta yang berjumlah 10 juta dan 2,6 jutanya
ialah remaja, maka jumlah remaja yang melakukan seks bebas sebanyak 1,3 juta
orang. Ini baru yang terjadi di Jakarta, belum di kota-kota besar lainnya,
berapa banyak remaja yang telah terjerumus dalam seks bebas ?
Bila kita
merujuk kepada rapor tingkat pendidikan Indonesia dibanding negara lainnya,
maka tingkat pendidikan negara kita termasuk rendah. Berdasarkan data dalam
Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed
Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang
diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau
education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934.
Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. EDI
dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80,
sedangkan kategori rendah di bawah 0,80.
Sekelumit
gambaran diatas tentu membuat kita bertanya-tanya, apa yang salah dengan
pendidikan di negeri ini ?
Salah Orientasi
?
Bila kita
melihat bagaimana pelaksaan sistem pendidikan di sekolah-sekolah, kita akan
menemukan kesalahan orientasi yang terjadi disana. Siswa lebih dituntut
bagaimana mencapai nilai yang tinggi sehingga bisa lulus ujian nasional. Akibatnya
fokus pelaksaan pendidikan di sekolah-sekolah adalah pelaksaan berbagai macam
jenis ujian, ulangan harian, mingguan, semester, simulasi pelaksaan UAN, dan
segala jenis kegiatan yang berkaitan dengan “bagaimana agar bisa mencapai nilai
tinggi dan lulus ujian”. Hal lainnya yang lebih penting seperti penanaman
karakter dan moral pun seakan diabaikan begitu saja.
Padahal
pendidikan bukan hanya sekedar mencapai nilai tinggi atau lulus ujian. Menurut M.J.
Langeveld, professor dalam bidang pendidikan dari Belanda, setidaknya ada 3
tujuan pendidikan: yang pertama adalah membimbing manusia yang belum dewasa
kepada kedewasaan. Yang kedua ialah menolong anak untuk melaksanakan tugas tugas
hidupnya, agar bisa mandiri, akil-baliq, dan bertanggung jawab secara susila. Dan
yang ketiga ialah untuk belajar mencapai penentuan-diri-susila dan tanggung
jawab. Jadi pendidikan tidak hanya agar lulus dalam ujian, tetapi lebih kepada
pembentukan kepribadian kedewasaan, dan moral. Pengabaikan pendidikan moral dan
karakter inilah yang menjadi salah satu sebab kenapa banyak siswa yang terlibat
dalam tindak kekerasan atau terjerumus pada hubungan seks bebas
Begitu juga
dengan sistem pengajaran yang ada di sekolah-sekolah. Model pengajaran di sekolah-sekolah
di Indonesia masih memperlakukan siswa sebagai passive object yang tidak
tahu apa-apa, dan guru bertindak sebagai active object tunggal, yang
mengajarkan siswa dengan materi dan metode yang baku. Akibatnya, situasi
pembelajaran di sekolah menjadi kaku dan tidak menyenangkan, dan akhirnya
kreativitas siswa pun tidak bisa dimaksimalkan karena terperangkap oleh sistem
pembelajaran yang kaku. Hal ini ditambah dengan tuntutan tugas guru untuk
membuat berbagai RPP dan silabus dengan mengikuti model dari pusat yang baku
dan memaksa guru memakai buku pelajaran BSE ( Buku Sekolah Elektronik).
Pentingnya
Pendidikan Karakter
Dengan adanya
permasalahan diatas, tentunya memerlukan evaluasi. Hal pertama yang perlu
dievaluasi adalah orientasi pendidikan yang terlalu fokus pada pencapaian
target akademik dan mengesampingkan nilai karakter dan moral siswa. Apabila hal
ini terus berlanjut, maka tidak mustahil kedepannya hanyalah tercipta manusia yang
kaya intelektual tapi miskin moral. Dalam keadaan seperti ini yang perlu
dilaksanakan di semua jenjang pendidikan adalah pendidikan moral dan karakter. Menurut
David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai
sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help
people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think
about the kind of character we want for our children, it is clear that we want
them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and
then do what they believe to be right, even in the face of pressure from
without and temptation from within”. Pendidikan karakter ini melingkupi
juga pendidikan moral dan mental. Siswa diajarkan bagaimana menjadi pribadi
yang jujur, bertanggung jawab, berdedikasi tinggi, berperilaku baik, sopan,
taat, dan pelajaran moral lainnya. Dengan ini maka siswa sudah mempunyai kompas
dalam menentukan mana hal yang baik dan buruk, mana yang harus dikerjakan dan
ditinggalkan.
Dalam pelaksanaan
pendidikan karakter ini, tentunya harus melibatkan tiga sarana pendidikan :
sekolah, rumah, dan lingkungan agar bisa terlaksananya pendidikan karakter yang
maksimal. Sebagian masyarakat masih banyak, untuk masalah pendidikan serahkan
saja ke sekolah. Akibatnya anak menjadi kurang perhatian dan pendidikan ketika
mereka berada di rumah. Sebaiknya, orang tua juga harus memantau perkembangan
dan kegiatan anak di sekolah, agar terhindar dari hal-hal yang tidak benar,
seperti tawuran atau hubungan bebas.
Contoh
pelaksanaan pendidikan karakter yang tergolong sukses dan dapat dijadikan role
model dalam menyintesakan antara peran sekolah, rumah dan lingkungan ialah
pondok modern Darussalam Gontor yang terletak di Ponorogo. Di pondok Gontor,
para santri diharuskan tinggal di asrama dua puluh empat jam, yang mana selama
itu pula kegiatan santri dipantau oleh pengurus asrama dan ustadz pembimbing
yang bertindak sebagai orang tua mereka. Di pondok ini para santri juga diajarkan
untuk bersikap bertanggung jawab, berdedikasi tinggi, jujur, amanah dan
pelajaran moral lainnya dalam keseharian mereka. Jadi pendidikan di pondok
gontor bukan hanya dalam pengajaran berbagai materi dan pelajaran, tapi juga dalam
pembentukan karakter. Sesuai dengan motto yang berlaku disana : “Pendidikan
lebih penting daripada pengajaran, Guru lebih penting daripada pendidikan, dan
Jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri”. Selain itu peran seorang
guru disini, selain bertindak sebagai pengajajar juga sebagai orang tua yang
mengayomi para santri, dan menjadi figur taladan yang baik.
Model
Pendidikan Aktif
Selain
pelaksanaan pendidikan karakter, model pendidikan yang pasif juga harus dirubah
menjadi pendidikan yang aktif. Yang dimaksud dengan pendidikan pasif adalah
model pendidikan yang mana guru berperan sebagai pengajar dan murid yang
diajar, guru lebih mengetahui dan murid tidak tahu,guru bercerita dan murid
mendengar. Model pendidikan seperti ini lah yang menciptakan suasana kaku dalam
sekolah.
Sebaliknya,
dalam pelaksanaan pendidikan harus diciptakan situasi yang aktif dan
menyenangkan, sehingga siswa pun juga mempunyai semangat lebih dalam belajar.
Guru pun tidak lagi bertindak sebagai pengajar tunggal, tetapi lebih kepada
seseorang yang mengayomi siswa nya sehingga dapat mengeluarkan segala
kreativitas dan potensi mereka, tanpa terbatasi oleh kurikulum dan metode yang
baku. Bila kita berkaca pada negara Amerika dan Finlandia, negara dengan peringkat
yang tinggi dalam pelaksaan pendidikan di dunia, tidak ada kurikulum atau
standar yang berlaku secara serempak di seluruh negara dalam pelaksaan
pendidikan di sekolah. Tiap sekolah atau guru bebas dalam menentukan metode
atau kurikulumnya sendiri, dengan menyesuaikan tingkat kreativitas dan potensi siswa.
Siswa pun menjadi lebih aktif dalam
menyalurkan ide dan potensi nya ke berbagai bidang. Alih-alih menciptakan
situasi belajar yang kaku dan membosankan, para guru di negara tesebut pun
lebih menciptakan situasi belajar yang aktif dan menyenangkan.
Dalam pelaksaan
model pendidikan seperti ini tentu saja diperlukan peranan dan campur tangan
pemerintah atau dalam hal ini ialah kementrian pendidikan. Sistem pendidikan
yang ada sekarang harus lebih ditingkatkan, dari yang hanya menekankan pada
kecakapan akademik, menuju pembinaan karakter dan mental juga. Dari yang hanya
menggunakan metode dan kurikulum yang baku, menuju kepada penggunaan dan metode
yang lebih aktif dan bervariatif.
Bilamana kedua
poin diatas dapat dibenahi dan ditingkatkan, saya yakin dalam beberapa tahu ke
depan bangsa Indonesia akan mencapai kemajuan yang luar biasa dalam berbagai
bidang, dan disegani oleh bangsa lainnya, karena kemajuan suatu bangsa bukan
lah disebabkan oleh seberapa banyak kekayaan sumber daya alamnya, ataupun seberapa
maju tingkat militer atau ekonominya. Kemajuan suatu bangsa berasal dari
pendidikan yang maju juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar