Jumat, 16 Mei 2014

Disorientasi Pendidikan Indonesia

Disorientasi Pendidikan Indonesia

Satu kata yang tepat menggambarkan fenomena pendidikan di Indonesia sekarang, miris. Betapa tidak, seorang murid TK di JIS (Jakarta International School) yang harusnya melewati masa kanak-kanaknya dengan bermain dan riang gembira, kini malah harus hidup dalam trauma yang mendalam  dan ketakutan, karena menjadi korban tindak kekerasan sodomi oleh sekelompok karyawan disana. Di lain tempat, siswa kelas satu SD di salah satu sekolah di Makassar tewas karena dikeroyok oleh teman-temannya sendiri. Mereka baru siswa tingkat sekolah dasar, dan sudah bisa membunuh orang, lantas apalagi kalau mereka sudah besar nanti ?

Pada jenjang  pendidikan yang lebih tinggi, permasalahan dalam pendidikan menjadi lebih kompleks lagi. Tawuran antar pelajar atau sekolah yang banyak terjadi, contohnya, yang seolah telah menjadi hal yang tak terpisahkan di berbagai SMP dan SMA. Ditambah lagi dengan tingginya tingkat pergaulan yang bebas, yang bahkan menjerumus kepada seks bebas di kalangan remaja, yang mana pada kasus di Indonesia ini sudah mencapai tingkat parah. Dr. Sugiri Syarief, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di salah satu workshop generasi berencana dan berkarakter mengatakan bahwa 50% dari remaja di Jakarta telah melakukan seks bebas. Ia melanjutkan penduduk Jakarta yang berjumlah 10 juta dan 2,6 jutanya ialah remaja, maka jumlah remaja yang melakukan seks bebas sebanyak 1,3 juta orang. Ini baru yang terjadi di Jakarta, belum di kota-kota besar lainnya, berapa banyak remaja yang telah terjerumus dalam seks bebas ?     

Bila kita merujuk kepada rapor tingkat pendidikan Indonesia dibanding negara lainnya, maka tingkat pendidikan negara kita termasuk rendah. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80.

Sekelumit gambaran diatas tentu membuat kita bertanya-tanya, apa yang salah dengan pendidikan di negeri ini ? 

Salah Orientasi ?

Bila kita melihat bagaimana pelaksaan sistem pendidikan di sekolah-sekolah, kita akan menemukan kesalahan orientasi yang terjadi disana. Siswa lebih dituntut bagaimana mencapai nilai yang tinggi sehingga bisa lulus ujian nasional. Akibatnya fokus pelaksaan pendidikan di sekolah-sekolah adalah pelaksaan berbagai macam jenis ujian, ulangan harian, mingguan, semester, simulasi pelaksaan UAN, dan segala jenis kegiatan yang berkaitan dengan “bagaimana agar bisa mencapai nilai tinggi dan lulus ujian”. Hal lainnya yang lebih penting seperti penanaman karakter dan moral pun seakan diabaikan begitu saja.

Padahal pendidikan bukan hanya sekedar mencapai nilai tinggi atau lulus ujian. Menurut M.J. Langeveld, professor dalam bidang pendidikan dari Belanda, setidaknya ada 3 tujuan pendidikan: yang pertama adalah membimbing manusia yang belum dewasa kepada kedewasaan. Yang kedua ialah menolong anak untuk melaksanakan tugas tugas hidupnya, agar bisa mandiri, akil-baliq, dan bertanggung jawab secara susila. Dan yang ketiga ialah untuk belajar mencapai penentuan-diri-susila dan tanggung jawab. Jadi pendidikan tidak hanya agar lulus dalam ujian, tetapi lebih kepada pembentukan kepribadian kedewasaan, dan moral. Pengabaikan pendidikan moral dan karakter inilah yang menjadi salah satu sebab kenapa banyak siswa yang terlibat dalam tindak kekerasan atau terjerumus pada hubungan seks bebas

Begitu juga dengan sistem pengajaran yang ada di sekolah-sekolah. Model pengajaran di sekolah-sekolah di Indonesia masih memperlakukan siswa sebagai passive object yang tidak tahu apa-apa, dan guru bertindak sebagai active object tunggal, yang mengajarkan siswa dengan materi dan metode yang baku. Akibatnya, situasi pembelajaran di sekolah menjadi kaku dan tidak menyenangkan, dan akhirnya kreativitas siswa pun tidak bisa dimaksimalkan karena terperangkap oleh sistem pembelajaran yang kaku. Hal ini ditambah dengan tuntutan tugas guru untuk membuat berbagai RPP dan silabus dengan mengikuti model dari pusat yang baku dan memaksa guru memakai buku pelajaran BSE ( Buku Sekolah Elektronik).

Pentingnya Pendidikan Karakter

Dengan adanya permasalahan diatas, tentunya memerlukan evaluasi. Hal pertama yang perlu dievaluasi adalah orientasi pendidikan yang terlalu fokus pada pencapaian target akademik dan mengesampingkan nilai karakter dan moral siswa. Apabila hal ini terus berlanjut, maka tidak mustahil kedepannya hanyalah tercipta manusia yang kaya intelektual tapi miskin moral. Dalam keadaan seperti ini yang perlu dilaksanakan di semua jenjang pendidikan adalah pendidikan moral dan karakter. Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”. Pendidikan karakter ini melingkupi juga pendidikan moral dan mental. Siswa diajarkan bagaimana menjadi pribadi yang jujur, bertanggung jawab, berdedikasi tinggi, berperilaku baik, sopan, taat, dan pelajaran moral lainnya. Dengan ini maka siswa sudah mempunyai kompas dalam menentukan mana hal yang baik dan buruk, mana yang harus dikerjakan dan ditinggalkan.

Dalam pelaksanaan pendidikan karakter ini, tentunya harus melibatkan tiga sarana pendidikan : sekolah, rumah, dan lingkungan agar bisa terlaksananya pendidikan karakter yang maksimal. Sebagian masyarakat masih banyak, untuk masalah pendidikan serahkan saja ke sekolah. Akibatnya anak menjadi kurang perhatian dan pendidikan ketika mereka berada di rumah. Sebaiknya, orang tua juga harus memantau perkembangan dan kegiatan anak di sekolah, agar terhindar dari hal-hal yang tidak benar, seperti tawuran atau hubungan bebas.

Contoh pelaksanaan pendidikan karakter yang tergolong sukses dan dapat dijadikan role model dalam menyintesakan antara peran sekolah, rumah dan lingkungan ialah pondok modern Darussalam Gontor yang terletak di Ponorogo. Di pondok Gontor, para santri diharuskan tinggal di asrama dua puluh empat jam, yang mana selama itu pula kegiatan santri dipantau oleh pengurus asrama dan ustadz pembimbing yang bertindak sebagai orang tua mereka. Di pondok ini para santri juga diajarkan untuk bersikap bertanggung jawab, berdedikasi tinggi, jujur, amanah dan pelajaran moral lainnya dalam keseharian mereka. Jadi pendidikan di pondok gontor bukan hanya dalam pengajaran berbagai materi dan pelajaran, tapi juga dalam pembentukan karakter. Sesuai dengan motto yang berlaku disana : “Pendidikan lebih penting daripada pengajaran, Guru lebih penting daripada pendidikan, dan Jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri”. Selain itu peran seorang guru disini, selain bertindak sebagai pengajajar juga sebagai orang tua yang mengayomi para santri, dan menjadi figur taladan yang baik.

Model Pendidikan Aktif

Selain pelaksanaan pendidikan karakter, model pendidikan yang pasif juga harus dirubah menjadi pendidikan yang aktif. Yang dimaksud dengan pendidikan pasif adalah model pendidikan yang mana guru berperan sebagai pengajar dan murid yang diajar, guru lebih mengetahui dan murid tidak tahu,guru bercerita dan murid mendengar. Model pendidikan seperti ini lah yang menciptakan suasana kaku dalam sekolah.

Sebaliknya, dalam pelaksanaan pendidikan harus diciptakan situasi yang aktif dan menyenangkan, sehingga siswa pun juga mempunyai semangat lebih dalam belajar. Guru pun tidak lagi bertindak sebagai pengajar tunggal, tetapi lebih kepada seseorang yang mengayomi siswa nya sehingga dapat mengeluarkan segala kreativitas dan potensi mereka, tanpa terbatasi oleh kurikulum dan metode yang baku. Bila kita berkaca pada negara Amerika dan Finlandia, negara dengan peringkat yang tinggi dalam pelaksaan pendidikan di dunia, tidak ada kurikulum atau standar yang berlaku secara serempak di seluruh negara dalam pelaksaan pendidikan di sekolah. Tiap sekolah atau guru bebas dalam menentukan metode atau kurikulumnya sendiri, dengan menyesuaikan tingkat kreativitas dan potensi siswa. Siswa pun menjadi  lebih aktif dalam menyalurkan ide dan potensi nya ke berbagai bidang. Alih-alih menciptakan situasi belajar yang kaku dan membosankan, para guru di negara tesebut pun lebih menciptakan situasi belajar yang aktif dan menyenangkan.

Dalam pelaksaan model pendidikan seperti ini tentu saja diperlukan peranan dan campur tangan pemerintah atau dalam hal ini ialah kementrian pendidikan. Sistem pendidikan yang ada sekarang harus lebih ditingkatkan, dari yang hanya menekankan pada kecakapan akademik, menuju pembinaan karakter dan mental juga. Dari yang hanya menggunakan metode dan kurikulum yang baku, menuju kepada penggunaan dan metode yang lebih aktif dan bervariatif.


Bilamana kedua poin diatas dapat dibenahi dan ditingkatkan, saya yakin dalam beberapa tahu ke depan bangsa Indonesia akan mencapai kemajuan yang luar biasa dalam berbagai bidang, dan disegani oleh bangsa lainnya, karena kemajuan suatu bangsa bukan lah disebabkan oleh seberapa banyak kekayaan sumber daya alamnya, ataupun seberapa maju tingkat militer atau ekonominya. Kemajuan suatu bangsa berasal dari pendidikan yang maju juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar