MEMAHAMI MAKNA AGAMA DAN FILSAFAT DALAM PERSPEKTIF BARAT
Oleh : Sugeng Priyadi,
Mahasiswa Program Studi Aqidah Filsafat, Semester 6
Filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan, mother of
science, mempunyai sejarah panjang dalam sejarah peradaban manusia. Diawali
dari munculnya filsafat pada era Yunani kuno, kemudian disusul oleh era
filsafat skolastik, masa renaissance, hingga modern dan postmodern seperti
sekarang ini. Sebagai sebuah mother of science, maka filsafat mempunya
tingkat urgensitas yang tinggi dalam kerangka berfikir pada manusia, hal ini
dikarenakan yang menjadi objek kajian dari filsafat adalah aktifitas pola pikir
manusia terkait yang terkait dengan banyak objek, dan dalam banyak literature
objek tersebut adalah Tuhan, alam, manusia, dan ilmu pengetahuan[1].
Disinilah letak urgensitasnya, apabila ilmu-ilmu lainnya berkutat pada ranah
praktis, maka filsafat berkutat pada ranah teoritis yang mendasari ilmu praktis
tersebut. Dimana hasil temuan dari seorang peneliti selalu didasari oleh pola
pikir peneliti tersebut.
Sebagaimana dijelaskan oleh Alp Arslan Acikgence di teorinya dalam
buku “ Islamic Science Toward a Definition” bahwasanya ilmu hanya lahir dari
pandangan hidup tertentu saja( science arises within certain worldview only)[2]”.
Demikian juga yang berlaku dalam filsafat, dimana pandangan hidup suatu
peradaban melahirkan ilmu filsafat. Dalam hal ini peradaban barat, yang
mana perkembangan filsafat di barat dipengaruhi dan diwarnai oleh miliu
masyarakat yang berkembang di barat seiring era tertentu. Peradaban di barat
sendiri, tentunya berbeda dengan peradaban timur atau islam, dimana memang
diantara kedua nya terjadi benturan peradaban, Clash of Civilization,
hal ini dikarenakan antara peradaban barat dan timur memang mengandung nilai
dan moral yang berbeda.
Dalam nilai dan moral yang menyebabkan perbedaan antara peradaban
barat dan timur, nilai-nilai agama juga turut mempengaruhi perbedaan antara
keduanya. Pada dataran diskursus akademik,makna agama atau religion memang problematik.
Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan agama, tapi gagal[3]. Hal
ini berbeda dengan yang terjadi di peradaban timur atau Islam, disaat Barat
masih meraba-raba dalam memahami bentuk agama dan Tuhan nya, maka dalam Islam
bentuk agama dan Tuhan telah sempurna sejak pertama kali Islam diturunkan di
Makkah, sebagaimana firmannya
:
tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYÏ 4
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu
( Al Maidah:3)
Maka untuk mengerti sejauh mana benturan peradaban yang terjadi
antara Barat dan Timur sekarang ini, kita harus mengetahui bagaimana Barat
dalam memaknai agama dan filsafat, yang mana keduanya menjadi sebab adanya
perbedaan worldview antara kedua peradaban tersebut.
Filsafat Barat, Mencari Kebenaran Dengan Akal dan Rasio.
Sejarah mencatat bahwa asal-muasal munculnya pertama kali munculnya
pemikiran filsafat dari ranah Yunani kuno. Pada masa awal, filsuf seperti
Pytaghoras dan Ptolomeus, objek kajian filsafatnya masih berkisar mengenai alam
dan manusia. Barulah pada masa puncak filsuf Yunani, yaitu Sokrates,
Aristoteles dan Plato, ranah kajian filsafat mulai membahas mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan metafisik, termasuk mengenai Tuhan, dan juga logika.
Dalam pandangan Plato, ia membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu dunia intelegible
sebagai dunia hakiki dan dunia sensible sebagai dunia yang yang
sementara dan tidak hakiki. Ia berpendapat bahwasanya kita hidup dalam dunia
yang sementara ini, sementara Tuhan berada pada dunia yang hakiki. Berbeda
dengan mentornya, Aristoteles berpedanapat bahwasanya alam pikiran manusia tak
akan bisa memahami dunia yang hakiki tersebut, hal-hal yang metafisik termasuk
Tuhan hanya apa yang dipahami manusia dalam akalnya, bukan pada hakikatnya[4].
Dari Aristoteles ini lah muncul istilah penggerak yang tak bergerak,
Unmoved Mover[5]
untuk menjelaskan sifat penciptaan Tuhan. Dari sini kita bisa memahami
bahwasanya dari awal filsafat muncul pada era Yunani kuno mereka masih belum
bisa memahami Tuhan dengan kaffah, semua ide mereka berdasarkan hasil pemikiran
akal mereka. Pada perkembangan selanjutnya pemikiran para filsuf Yunani kuno
ini akan diadopsi oleh banyak filsuf setelahnya, termasuk filsuf muslim.
Pada perkemabngan selanjutnya, perkembangan filsafat di barat
menjadi lebih kompleks lagi, dari yang awalnya God Centered pada masa
Yunani Kuno, maka pada masa modern menjadi Human Centered. Filsuf
pertama yang menggagasnya adalah Rene Descartes, dengan teorinya “Cogito
Ergo Sum(Aku berfikir maka aku ada)” atau rasionalisme. Dimana dalam
rasionalisme ia akan meragukan segala sesuatu dan menerima kebenaran dari
sumber akal manusia. Termasuk ia menafikkan peran wahyu dalam pencarian
kebenaran. Baginya kebenaran absolute adalah apa yang bersumber dari akal
manusia[6].
Berbeda lagi dengan filsuf Inggris, David Hume, dimana sumber kebenaran
bukanlah akal manusia, tetapi adalah apa yang dapat diindera atau dirasakan
oleh manusia. Alirannya disebut dengan Empirisme. Termasuk juga ia menafikkan
hal-hal yang bersifat metafisika, atau yang tak dapat dirasa, karena baginya
itu bukanlah kebenaran[7].
Memasuki era postmodern, kajian filsafat menjadi lebih kompleks
dari masa modern, dimana pada era ini bukan lagi human centered, tetapi no
centered, alias tak memiliki patokan atau ukuran kebenaran. Tokoh
penggagasnya siapa lagi kalau bukan Nietschze yang mengatakan bahwasanya Tuhan
Telah Mati. Dari pemikiran dialah berkembang paham seperti nihilisme,
relativisme, dan humanisme. Suatu kebenaran tidak lagi berpatokan pada nilai
dan moral- moral tertentu, tetapi berdasarkan apa yang manusia kehendaki dan
anggap baik. Nilai-nilai moral kemanusiaan, ketertiban dan kedisiplinan
semuanya dicampakkan olehnya. Human is Measure of All Thing, katanya.
Manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu. Manusia tidak lagi untuk Tuhan.
Tetapi Tuhan untuk manusia. Moralis tidak selalu harus religius. Sila ketuhanan
boleh nantinya diganti sila kemanusiaan. Sebab disini ilmuwannya sudah berani
berfatwa “Syariat bukan lagi untuk Tuhan, tetapi untuk manusia” Kemanusiaan
lebih penting dari syari’at.[8]
Demikianlah, pencarian akan kebenaran dalam peradaban Barat
menghasilkan makna kebenaran yang problematik dan rancu. Ini diakibatkan karena
dalam filsafat Barat sendiri bersandarkan pada akal manusia yang terbatas dalam
pencarian akan kebenaran, sehingga makna yang dihasilkan juga akan terasa
absurd. Hal ini ditambah lagi dengan pemikiran sebagian filsuf untuk
mencampakkan segala macam jenis moral dan nilai dalam pencarian kebenaran. Yang
benar adalah apa yang sesuai oleh keinginan dan hasrat manusia, demikian
doktrin humanism berkata. Paham seperti inilah yang bertentangan dengan ajaran
peradaban Timur atau Islam,sehingga menimbulkan pertentangan antara dua
peradaban ini.
Agama Dalam Barat, Sebuah Diskursus Definisi.
Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwasanya Barat sebagai sebuah
peradaban barat telah salah dalam menafsirkan agama, dan mengalami problematika
yang besar dalam penafsirannya. Hal ini tak lepas dari miliu keagamaan yang
terjadi di Barat saat abad pertengahan, atau yang lazim disebut “Dark Age”.
Dinamakan zaman kegelapan karena pada masa itu barat dalam keadaan yang sangat tertinggal dari peradaban lainnya
dan juga dalam keadaaan tertekan . Tekanan ini disebabkan oleh otoritas gereja
dalam menekan kehidupan bermasyarakat yang begitu hebatnya. Setiap gerakan yang
bertentangan dengan kemauan gereja maka akan langsung dimusnahkan atau
diinkuisisi. Gerakan-gerakan keilmuan yang bertentangan dengan gereja
dimusnahkan, begitu juga dengan gerakan kemasyarakatan. Wanita-wanita tak
mempunya kedudukan yang sesuai dalam tatanan kehidupan. Hal inilah yang membuat
masyarakat Barat saat itu mengalami trauma yang mendalam dengan agama,
khususnya gereja yang menggap dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi ini.
Maka ketika era penindasan oleh gereja berakhir dengan revolusi
besar-besaran oleh masyrakat barat saat itu, agama tak lagi mempunyai tempat
pada masyrakat Barat, dikarenakan trauma yang telah disebabkan oleh penindasan
gereja. Urusan pemerintahan dan kegamaan harus dipisahkan, tidak boleh
disatukan atau sekulerisasi pemerintahan. Gereja-gereja banyak ditinggalakan
oleh pemeluknya. Sehingga tak salah apabila dikatakan bahwa “ The wisdom has
gone to the east ( Kebijakan telah Pergi ke Timur)”.
Sebagai ganti dari agama tersebut,muncullah paham atheism, atau tak
beragama. Muncul pula pemikir-pemikir Barat yang anti agama seperti Nietschze
yang menyatakan bahwasanya orang yang beragama pada hakikatnya adalah orang
yang tak bebas, Karena masih terikat akan sesuatu, maka ia sama dengan budak.
Muncul pula reaksi anti agama seperti perkataan Sigmund Freud dalam bukunya The
Future of an Illusion :“Agama akan menjadi penyakit saraf yang mengganggu
manusia sedunia”[9]
Selain reaksi anti keagamaan di Barat, agama juga bisa dipahami
sebagai fanatisme. Sehingga sampai ada artis yang mengatakan “My religion is
song, sex and champagne” dan itu masih dianggap wajar. Sejatinya akar
kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah.
Agama barat kata Karen Armstrong dalam History of Good nya justru banyak
berbicara Yesus ketimbang Tuhan. Padahal. Yesus sendiri tidak pernah mengklaim
dirinya suci, apalagi Tuhan.
Bibel sendiri yang menjadi sumber Kristen di Barat sudah tak lagi
otentik, dimana telah banyak terjadi distorsi dan makna serta teksnya
disesuaikan dengan kehidupan bermasyarakat barat. Dan untuk menafsirkan Bibel
ini maka kaum Kristen menggunakan metode kritik Bibel(Biblical Critism)[10].
Ini bukti bahwasanya kitab suci Kristen sendiri pun sudah bermasalah, sehingga
para pengikutnya harus mengadakan perubahan di dalamnya agar sesuai dengan
konteks kehidupan manusia.
Dalam Barat sekarang pun telah terjadi pendefinisian makna
beragama. “Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi, daripada beragama
tapi jahat lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Walhasil agama
yang pada awalnya berorientasi pada teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi
antrosopentris (Manusia sebagai pusat)[11].Sehingga
pada perkembangan selanjutnya maka agama dapat disesuaikan bahkan dirubah
sesuai dengan konteks kemasyarakatan yang ada. Celakanya pemikiran seperti ini
pun diadopsi oleh para pemikir muslim di Indonesia. Kita dapat menemukan contoh
pemikiran ini pada salah satu dosen kampus STAIN yang menuliskan buku
“Menusantarakan Islam, dari Teosentris menjadi Antroposentris”.
Sekilas Dari Perspektif Islam
Islam sebagai diin yang kaamil sejak pertama kali
diturunkan jelas berbeda dengan Barat. Memang tak dapat dipungkiri bahwasanya
para filsuf Muslim mengadopsi sebagian dari hasil pemikiran filsuf Yunani Kuno,
namun bukan lantas diterima begitu saja, tetapi melalui proses penyaringan yang
selektif sehingga sesuai dengan konteks Islam. Filsafat sendiri pun digunakan
untuk menjelaskan konsep Tuhan, yang memang telah ada sejak Islam pertama
diturunkan, bukan membentuk konsep Tuhan sebagaimana dalam filsafat barat.
Makna agama dalam Islam bukan saja dalam hal beribadah, tetapi agama juga
mengatur segala tatanan hidup bermasyrakat sampai ke setiap sudutnya, sehingga
tak akan menimbulkan keadaan tertekan pada masyarakat, bahkan malah menjaga
kemaslahatan bermasyrakat. Islam sendiri pun adalah ad diin wa ad daulah,
agama sekaligus pemerintahan, sehingga paham sekularisasi tak dapat
dipraktekkan pada kondisi beragama Islam. Wallahu a’lam bissawab.
Refrensi
Zarkasyi, Hamid
Fahmy, Misykat, Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam (
Jakarta Selatan, INSIST, 2012)
Zarkasyi, Hamid
Fahmy, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, Jurnal Kalimah volume 8,
2010.
Pals, Daniel,
Seven Theories of Religion (Yogyakarta, IRCISod, 2011)
Muslih,
Mohammad, Pengantar Ilmu Filsafat ( Ponorogo, Darussalam University Press,
2008)
Zubaedi dkk,
Filsafat Barat, Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala
Thomas Kuhn ( Yogyakarta, Ar Ruzz Media, 2010)
Armas, Adnin,
Metodologi Bibel Dalam Studi Al Quran,Kajian Kritis (Depok, Gema Insani Press,
2007)
[1]
Mohammad Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, Ponorogo, Darussalam University
Press, 2008,hal 10.
[2]
Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, Jurnal
Tsaqofah, volume 8 no 2, 2010, hal 118
[3]
Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat Refleksi Tentang Westernisasi,Liberalisasi, dan
Islam,Jakarta Selatan,INSIST 2012, hal 20
[4]
Op.cit, hal 33
[5]
Istilah ini merujuk kepada Tuhan, bahwasanya Tuhan adalah penggerak yang tak
bergerak. Tuhan mampu menciptakan segalanya, namun ia tak bergerak, karena
apabila ia bergerak, maka ia akan membutuhkan penggerak lainnya, maka ia
bukanlah Tuhan. Lihat Amal Fathullah Zarkasyi,Aqidah Tauhid inda alfalasifah,
mutakallimun wa sufiyyun, hal 17.
[6]
Dr. Zubaedi,M.Ag,Mpd dkk, Filsafat Barat, Dari Logika Baru Rene Descartes
Hingga Revolusi Sains Ala Thomas Kuhn,Yogyakarta, Ar Ruzz Media, 2010, hal 23
[7]
Op.Cit hal 33
[8]
Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat, Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan
Islam, Jakarta, INSIST, 2012, hal 57-58.
[9]
Daniel L. Pals. Seven Theories of Religion, terj, Jogjakarta, IRCISoD, 2010,
hal 81.
[10]
Adnin Armas M.A, Metodologi Bibel Dalam Studi Al Quran, Depok, Gema Insani
Press 2007, hal 36.
[11]
Op.Cit, hal 59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar