Senin, 04 Maret 2013

MEMAHAMI MAKNA AGAMA DAN FILSAFAT DALAM PERSPEKTIF BARAT


MEMAHAMI MAKNA AGAMA DAN FILSAFAT DALAM PERSPEKTIF BARAT
Oleh    : Sugeng Priyadi, Mahasiswa Program Studi Aqidah Filsafat, Semester 6

Filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan, mother of science, mempunyai sejarah panjang dalam sejarah peradaban manusia. Diawali dari munculnya filsafat pada era Yunani kuno, kemudian disusul oleh era filsafat skolastik, masa renaissance, hingga modern dan postmodern seperti sekarang ini. Sebagai sebuah mother of science, maka filsafat mempunya tingkat urgensitas yang tinggi dalam kerangka berfikir pada manusia, hal ini dikarenakan yang menjadi objek kajian dari filsafat adalah aktifitas pola pikir manusia terkait yang terkait dengan banyak objek, dan dalam banyak literature objek tersebut adalah Tuhan, alam, manusia, dan ilmu pengetahuan[1]. Disinilah letak urgensitasnya, apabila ilmu-ilmu lainnya berkutat pada ranah praktis, maka filsafat berkutat pada ranah teoritis yang mendasari ilmu praktis tersebut. Dimana hasil temuan dari seorang peneliti selalu didasari oleh pola pikir peneliti tersebut.

Sebagaimana dijelaskan oleh Alp Arslan Acikgence di teorinya dalam buku “ Islamic Science Toward a Definition” bahwasanya ilmu hanya lahir dari pandangan hidup tertentu saja( science arises within certain worldview only)[2]”. Demikian juga yang berlaku dalam filsafat, dimana pandangan hidup suatu peradaban melahirkan ilmu filsafat. Dalam hal ini peradaban barat, yang mana  perkembangan filsafat  di barat dipengaruhi dan diwarnai oleh miliu masyarakat yang berkembang di barat seiring era tertentu. Peradaban di barat sendiri, tentunya berbeda dengan peradaban timur atau islam, dimana memang diantara kedua nya terjadi benturan peradaban, Clash of Civilization, hal ini dikarenakan antara peradaban barat dan timur memang mengandung nilai dan moral yang berbeda.

Dalam nilai dan moral yang menyebabkan perbedaan antara peradaban barat dan timur, nilai-nilai agama juga turut mempengaruhi perbedaan antara keduanya. Pada dataran diskursus akademik,makna agama atau religion memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan agama, tapi gagal[3]. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di peradaban timur atau Islam, disaat Barat masih meraba-raba dalam memahami bentuk agama dan Tuhan nya, maka dalam Islam bentuk agama dan Tuhan telah sempurna sejak pertama kali Islam diturunkan di Makkah, sebagaimana firmannya :
tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu ( Al Maidah:3)

Maka untuk mengerti sejauh mana benturan peradaban yang terjadi antara Barat dan Timur sekarang ini, kita harus mengetahui bagaimana Barat dalam memaknai agama dan filsafat, yang mana keduanya menjadi sebab adanya perbedaan worldview antara kedua peradaban tersebut.

Filsafat Barat, Mencari Kebenaran Dengan Akal dan Rasio.
Sejarah mencatat bahwa asal-muasal munculnya pertama kali munculnya pemikiran filsafat dari ranah Yunani kuno. Pada masa awal, filsuf seperti Pytaghoras dan Ptolomeus, objek kajian filsafatnya masih berkisar mengenai alam dan manusia. Barulah pada masa puncak filsuf Yunani, yaitu Sokrates, Aristoteles dan Plato, ranah kajian filsafat mulai membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan metafisik, termasuk mengenai Tuhan, dan juga logika. Dalam pandangan Plato, ia membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu dunia intelegible sebagai dunia hakiki dan dunia sensible sebagai dunia yang yang sementara dan tidak hakiki. Ia berpendapat bahwasanya kita hidup dalam dunia yang sementara ini, sementara Tuhan berada pada dunia yang hakiki. Berbeda dengan mentornya, Aristoteles berpedanapat bahwasanya alam pikiran manusia tak akan bisa memahami dunia yang hakiki tersebut, hal-hal yang metafisik termasuk Tuhan hanya apa yang dipahami manusia dalam akalnya, bukan pada hakikatnya[4].

Dari Aristoteles ini lah muncul istilah penggerak yang tak bergerak, Unmoved Mover[5] untuk menjelaskan sifat penciptaan Tuhan. Dari sini kita bisa memahami bahwasanya dari awal filsafat muncul pada era Yunani kuno mereka masih belum bisa memahami Tuhan dengan kaffah, semua ide mereka berdasarkan hasil pemikiran akal mereka. Pada perkembangan selanjutnya pemikiran para filsuf Yunani kuno ini akan diadopsi oleh banyak filsuf setelahnya, termasuk filsuf muslim.

Pada perkemabngan selanjutnya, perkembangan filsafat di barat menjadi lebih kompleks lagi, dari yang awalnya God Centered pada masa Yunani Kuno, maka pada masa modern menjadi Human Centered. Filsuf pertama yang menggagasnya adalah Rene Descartes, dengan teorinya “Cogito Ergo Sum(Aku berfikir maka aku ada)” atau rasionalisme. Dimana dalam rasionalisme ia akan meragukan segala sesuatu dan menerima kebenaran dari sumber akal manusia. Termasuk ia menafikkan peran wahyu dalam pencarian kebenaran. Baginya kebenaran absolute adalah apa yang bersumber dari akal manusia[6]. Berbeda lagi dengan filsuf Inggris, David Hume, dimana sumber kebenaran bukanlah akal manusia, tetapi adalah apa yang dapat diindera atau dirasakan oleh manusia. Alirannya disebut dengan Empirisme. Termasuk juga ia menafikkan hal-hal yang bersifat metafisika, atau yang tak dapat dirasa, karena baginya itu bukanlah kebenaran[7].

Memasuki era postmodern, kajian filsafat menjadi lebih kompleks dari masa modern, dimana pada era ini bukan lagi human centered, tetapi no centered, alias tak memiliki patokan atau ukuran kebenaran. Tokoh penggagasnya siapa lagi kalau bukan Nietschze yang mengatakan bahwasanya Tuhan Telah Mati. Dari pemikiran dialah berkembang paham seperti nihilisme, relativisme, dan humanisme. Suatu kebenaran tidak lagi berpatokan pada nilai dan moral- moral tertentu, tetapi berdasarkan apa yang manusia kehendaki dan anggap baik. Nilai-nilai moral kemanusiaan, ketertiban dan kedisiplinan semuanya dicampakkan olehnya. Human is Measure of All Thing, katanya. Manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu. Manusia tidak lagi untuk Tuhan. Tetapi Tuhan untuk manusia. Moralis tidak selalu harus religius. Sila ketuhanan boleh nantinya diganti sila kemanusiaan. Sebab disini ilmuwannya sudah berani berfatwa “Syariat bukan lagi untuk Tuhan, tetapi untuk manusia” Kemanusiaan lebih penting dari syari’at.[8]

Demikianlah, pencarian akan kebenaran dalam peradaban Barat menghasilkan makna kebenaran yang problematik dan rancu. Ini diakibatkan karena dalam filsafat Barat sendiri bersandarkan pada akal manusia yang terbatas dalam pencarian akan kebenaran, sehingga makna yang dihasilkan juga akan terasa absurd. Hal ini ditambah lagi dengan pemikiran sebagian filsuf untuk mencampakkan segala macam jenis moral dan nilai dalam pencarian kebenaran. Yang benar adalah apa yang sesuai oleh keinginan dan hasrat manusia, demikian doktrin humanism berkata. Paham seperti inilah yang bertentangan dengan ajaran peradaban Timur atau Islam,sehingga menimbulkan pertentangan antara dua peradaban ini.

Agama Dalam Barat, Sebuah Diskursus Definisi.
Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwasanya Barat sebagai sebuah peradaban barat telah salah dalam menafsirkan agama, dan mengalami problematika yang besar dalam penafsirannya. Hal ini tak lepas dari miliu keagamaan yang terjadi di Barat saat abad pertengahan, atau yang lazim disebut “Dark Age”. Dinamakan zaman kegelapan karena pada masa itu barat dalam keadaan  yang sangat tertinggal dari peradaban lainnya dan juga dalam keadaaan tertekan . Tekanan ini disebabkan oleh otoritas gereja dalam menekan kehidupan bermasyarakat yang begitu hebatnya. Setiap gerakan yang bertentangan dengan kemauan gereja maka akan langsung dimusnahkan atau diinkuisisi. Gerakan-gerakan keilmuan yang bertentangan dengan gereja dimusnahkan, begitu juga dengan gerakan kemasyarakatan. Wanita-wanita tak mempunya kedudukan yang sesuai dalam tatanan kehidupan. Hal inilah yang membuat masyarakat Barat saat itu mengalami trauma yang mendalam dengan agama, khususnya gereja yang menggap dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi ini.

Maka ketika era penindasan oleh gereja berakhir dengan revolusi besar-besaran oleh masyrakat barat saat itu, agama tak lagi mempunyai tempat pada masyrakat Barat, dikarenakan trauma yang telah disebabkan oleh penindasan gereja. Urusan pemerintahan dan kegamaan harus dipisahkan, tidak boleh disatukan atau sekulerisasi pemerintahan. Gereja-gereja banyak ditinggalakan oleh pemeluknya. Sehingga tak salah apabila dikatakan bahwa “ The wisdom has gone to the east ( Kebijakan telah Pergi ke Timur)”.

Sebagai ganti dari agama tersebut,muncullah paham atheism, atau tak beragama. Muncul pula pemikir-pemikir Barat yang anti agama seperti Nietschze yang menyatakan bahwasanya orang yang beragama pada hakikatnya adalah orang yang tak bebas, Karena masih terikat akan sesuatu, maka ia sama dengan budak. Muncul pula reaksi anti agama seperti perkataan Sigmund Freud dalam bukunya The Future of an Illusion :“Agama akan menjadi penyakit saraf yang mengganggu manusia sedunia”[9]

Selain reaksi anti keagamaan di Barat, agama juga bisa dipahami sebagai fanatisme. Sehingga sampai ada artis yang mengatakan “My religion is song, sex and champagne” dan itu masih dianggap wajar. Sejatinya akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama barat kata Karen Armstrong dalam History of Good nya justru banyak berbicara Yesus ketimbang Tuhan. Padahal. Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan.

Bibel sendiri yang menjadi sumber Kristen di Barat sudah tak lagi otentik, dimana telah banyak terjadi distorsi dan makna serta teksnya disesuaikan dengan kehidupan bermasyarakat barat. Dan untuk menafsirkan Bibel ini maka kaum Kristen menggunakan metode kritik Bibel(Biblical Critism)[10]. Ini bukti bahwasanya kitab suci Kristen sendiri pun sudah bermasalah, sehingga para pengikutnya harus mengadakan perubahan di dalamnya agar sesuai dengan konteks kehidupan manusia.

Dalam Barat sekarang pun telah terjadi pendefinisian makna beragama. “Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi, daripada beragama tapi jahat lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Walhasil agama yang pada awalnya berorientasi pada teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi antrosopentris (Manusia sebagai pusat)[11].Sehingga pada perkembangan selanjutnya maka agama dapat disesuaikan bahkan dirubah sesuai dengan konteks kemasyarakatan yang ada. Celakanya pemikiran seperti ini pun diadopsi oleh para pemikir muslim di Indonesia. Kita dapat menemukan contoh pemikiran ini pada salah satu dosen kampus STAIN yang menuliskan buku “Menusantarakan Islam, dari Teosentris menjadi Antroposentris”.

Sekilas Dari Perspektif Islam
Islam sebagai diin yang kaamil sejak pertama kali diturunkan jelas berbeda dengan Barat. Memang tak dapat dipungkiri bahwasanya para filsuf Muslim mengadopsi sebagian dari hasil pemikiran filsuf Yunani Kuno, namun bukan lantas diterima begitu saja, tetapi melalui proses penyaringan yang selektif sehingga sesuai dengan konteks Islam. Filsafat sendiri pun digunakan untuk menjelaskan konsep Tuhan, yang memang telah ada sejak Islam pertama diturunkan, bukan membentuk konsep Tuhan sebagaimana dalam filsafat barat.

Makna agama dalam Islam bukan saja dalam hal beribadah, tetapi agama juga mengatur segala tatanan hidup bermasyrakat sampai ke setiap sudutnya, sehingga tak akan menimbulkan keadaan tertekan pada masyarakat, bahkan malah menjaga kemaslahatan bermasyrakat. Islam sendiri pun adalah ad diin wa ad daulah, agama sekaligus pemerintahan, sehingga paham sekularisasi tak dapat dipraktekkan pada kondisi beragama Islam. Wallahu a’lam bissawab.        

Refrensi
Zarkasyi, Hamid Fahmy, Misykat, Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam ( Jakarta Selatan, INSIST, 2012)
Zarkasyi, Hamid Fahmy, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, Jurnal Kalimah volume 8, 2010.
Pals, Daniel, Seven Theories of Religion (Yogyakarta, IRCISod, 2011)
Muslih, Mohammad, Pengantar Ilmu Filsafat ( Ponorogo, Darussalam University Press, 2008)
Zubaedi dkk, Filsafat Barat, Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn ( Yogyakarta, Ar Ruzz Media, 2010)
Armas, Adnin, Metodologi Bibel Dalam Studi Al Quran,Kajian Kritis (Depok, Gema Insani Press, 2007)



[1] Mohammad Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, Ponorogo, Darussalam University Press, 2008,hal 10.
[2] Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, Jurnal Tsaqofah, volume 8 no 2, 2010, hal 118
[3] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat Refleksi Tentang Westernisasi,Liberalisasi, dan Islam,Jakarta Selatan,INSIST 2012, hal 20
[4] Op.cit, hal 33
[5] Istilah ini merujuk kepada Tuhan, bahwasanya Tuhan adalah penggerak yang tak bergerak. Tuhan mampu menciptakan segalanya, namun ia tak bergerak, karena apabila ia bergerak, maka ia akan membutuhkan penggerak lainnya, maka ia bukanlah Tuhan. Lihat Amal Fathullah Zarkasyi,Aqidah Tauhid inda alfalasifah, mutakallimun wa sufiyyun, hal 17.
[6] Dr. Zubaedi,M.Ag,Mpd dkk, Filsafat Barat, Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains Ala Thomas Kuhn,Yogyakarta, Ar Ruzz Media, 2010, hal 23
[7] Op.Cit hal 33
[8] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat, Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam, Jakarta, INSIST, 2012, hal 57-58.
[9] Daniel L. Pals. Seven Theories of Religion, terj, Jogjakarta, IRCISoD, 2010, hal  81.
[10] Adnin Armas M.A, Metodologi Bibel Dalam Studi Al Quran, Depok, Gema Insani Press 2007, hal 36.
[11] Op.Cit, hal 59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar