Jumat, 05 April 2013

AGAMA DAN KEPRIBADIAN MENURUT SIGMUND FREUD


AGAMA DAN KEPRIBADIAN MENURUT SIGMUND FREUD

A.                PENDAHULUAN
Agama pada dasarnya bukan hanya mencakup keimanan pada sosok Tuhan yang agung, tetapi juga melingkupi tatanan dan disiplin hidup, hubungan antara individu di masyarakat, serta hubungan pada Tuhan dan hal lainnya. Ringkasnya agama mencakup hubungan manusia, baik dengan Tuhan atau hubungan sesama manusia.
Namun memasuki era modernitas ini, timbul pendekatan- pendekatan baru dalam memahami agama. Berkembangnya ilmu-ilmu postivisme yang digaungkan oleh Auguste Comte sejak abad ke 18, ternyata juga digunakan dalam pendekatan agama-agama. Walhasil muncullah cabang-cabang ilmu baru dalam pendekatan agama. Bila dulu kita hanya mengenal ilmu Aqidah,Tauhid, dan syari’ah untuk memahami konsep agama dalam islam, maka sekarang muncul ilmu seperti Sosiologi agama, Psikologi Agama, dan Antropologi Agama dalam pendekatan studi agama.
Diantara salah satu tokoh yang terkenal pada abad ke 20 ini adalah Sigmund Freud. Sejatinya, ia adalah seorang psikolog terkenal pada masanya, dengan konsepnya tentang psikoanalisa. Namun dengan paradigma dan konsep psikoanalisanya, ia juga menggunakannya untuk memandang dan melakukan pendekatan dalam studi agama. Walhasil dalam bukunya yang berjudul “Totem and taboo” dan “The Future of an Ilussion”, dimana Sigmund Freud menuangkan pemikirannya mengenai sejarah, konsep dan masa depan agama.
Freud memandang agama sebagai pemenuhan akan nafsu kekanak-kanakan. Ini tak terlepas dengan pekerjaan dia sebagai seorang ahli psikologi  yang mana akan melahirkan konsep mengenai psikoanalisis dan tahapan seksual manusia. Maka untuk memahami dengan lebih jelas pandangan Freud mengenai agama, dalam tulisan ini akan terlebih dahulu diulas mengenai sejarah hidup Sigmund Freud, dan konsepnya mengenai psikologi manusia, barulah sampai pada teorinya mengenai Agama. Karena teori Freud mengenai agama didasarkan pada pandangannya mengenai teori psikologinya.

B.                 Riwayat Hidup Sigmund Freud
Sigmund Freud
Sigmund Freud dilahirkan di Freiberg, Moravia pada 6 Mei 1856, yang pada waktu itu merupakan suatu daerah kekaisaran Austria-Hongaria, sekarang berada di Republik Ceko. Keluarganya adalah penganut agama Yahudi. Ayahnya bekerja sebagai seorang pedagang, dan menikah untuk kedua kalinya saat dua orang putranya yang lain  sudah tumbuh dewasa. Freud adalah anak pertama dari Istri kedua yang jauh lebih muda.[1]
Ketika berumur 4 tahun, kelauraganya pindah ke Wina. Di Ibukota Austria ini, ia menetap sampai 82 tahun umurnya.  Sebagai seorang Yahudi, dia sadar tidak mungkin terlalu menunjukkan kesalehan agamanya sendiri di kota yang didominasi oleh Kristen Katolik, meskipun keluarganya tetap tinggal disini. Hampir sepanjang hayatnya ia tinggal disana, membesarkan anak-anaknya hingga dewasa.
Sewaktu belajar di sekokah menengah, ia adalah seoramg siswa berbakat. Ia berhasil menyelesaikan studinya dengan ranking tertinggidi kelasnya. DIa juga lancar berbahasa Jerman, Perancis, Inggris, Spanyol dan Italia.. Tahun 1873 ia belajar kedokteran di universtitas Wina. Kemudia ia bekerja sebagai dokter di laboratorium Profesor Bruecke, ahli ternama dalam bidang fisiologi. Sebagi dokter, ia bertuags di rumah sakit umum Wina, dengan terutama memusatkan perhatiannya pada anatomi otak. Pada tahun 1886 ia menikah dengan Martha Bernays, yang kemudian memiliki enam anak dan menjadi teman hidup Freud hingga akhir hayatnya. Karena alasan ekonomis, ia mengurangi penelitian ilmiah, serta membuka praktek sebagai dokter syaraf. Namun ia meneruskan penelitian di bidang neurologi dan setelah berkunjung ke Berlin, ia menulis beberapa karangan tentang cacat otak pada anak-anak. Lama kelamaan perhatiannya pada neurologi bergeser pada psikopatologi. Tepengaruh oleh Breur, ia mulai memanfaatkan hipnotis dan sugesti dalam praktek medisnya.[2]
Jika kita memandang pendidikan ilmiah Freud, boleh disimpulkan bahwa ia betul-betul dididik dalam pekerjaan ilmiah pada umumnya dan secara khusus pada penelitian medis Berdasarkan pendidkannya, dapat diaharapkan ia akan berkembang menjadi seorang neurology besar. Tambahan pula,ia mempunyai pengetahuan umum yang amat luas, bahkan ia juga berminat pada bidang kesustraan dan seni rupa.[3]

C.                Teori Freud : Psikoanalisa dan Alam Bawah Sadar.
Penemuan Freud yang paling fundamental adalah peranan dinamis ketidaksadaran dalam hidup psikis manusia.Sampai waktu itu, hidup psikis disamakan saja dengan kesadaran. Untuk pertama kali  dalam sejarah psikologi, Freud menjelaskan bahwa hidup psikis manusia sebagian besar berlangsung pada taraf tak sadar.
Dalam bukunya “The Interpretation of The Dream”, ia menjelaskan bahwa mimpi manusia selalu mengandung keingintahuan, dan selalu digambarkan dalam mitos, karya, dan  sastra, dongeng-dongeng dan magis. Freud memandang bahwa pengalaman alam mimpilah yang menyebabkan orang primitif percaya pada roh-roh. Dia menegaskan bahwasanya alam mimpi lebih penting daripada sekedar keingintahuan, atau bahkan teori-teori tentang roh. Dari sekian banyak anggapan tentang mimpi, yang paling penting adalah bahwa mimpi-mimpi memperlihatkan pada kita betapa banyaknya aktivitas pikiran manusia dibanding yang muncul ke permukaan sehari-hari.
Setiap orang, menurut Freud, paling tidak memiliki pikiran sadar (Consius Thought) tentang kehidupan sehari-hari. Saat kita berbicara dengan teman kita, kita tidak hanya menggunakan pikiran, tapi juga sadar dan tahu bahwa kita sedang menggunakannya. Selanjutnya kita juga tahu bahwa permukaan kesadaran kita itu terdapat ide dan konsep-konsep lain yang digambarkan sebagai alam”pra-sadar”(Pre-consius), yaitu memori, ide, niat-niat yang pada saat itu memang tidak kita sadari, namun bisa dipanggil kapan saja saat diperlukan, misalnya umur orang tua kita, apa hidangan makan malam semalam dsb. Meskipun demikian, dalam waktu tertentu pikiran kita tidak bisa menyadarinya, namun pikiran dengan mudah bisa mendapatkannya kembali saat dibutuhkan.[4]

D.                Teori Tentang Mimpi.
Mimpi merupakan suatu tema yang penting sekali bagi Freud. Beberapa kali ia mengulangi-antara lain dalam memperkenalkan psikoanalisis  bahwa mimpi adalah jalan utama yang mengantar kita ke ketidaksadaran. Bukunya yang berjudul “The Interpretation of the Dream” merupakan suatu buku besar. Dalam buku ini ia mengambil mimpi-mimpinya sendiri untuk objek penelitian dan menyajikannya kepada khayalak ramai.[5]
Karena mimpi adalah suatu produk psikis, dan arena hidup psikis dianggap sebagai konflik antara daya psikis, maka masuk akal lah apabila Freud memandang mimpi sebagai perwujudan suatu konflik. Freud menjelaskan bahwasanya pengalaman di alam mimpi sebagai sesuatu yang berbeda dari aktivitas di alam sadar ,maupun pra sadar. Saat itu kkita mempergunakan lapisan yang berasal dari wilayah lain dari pikiran kita, yang sangat dalam dan tersembunyi, serta banyak dan sangat kuat. Inilah yang dikatakan alam bawah sadar (Unconsius). Dia adalah inti dalam diri, walaupun tak disadari namun peranannya sangat penting. Pertama, karena  ia adalah sumber dorongan jasmaniah kita yang paling dasar, seperti dorongan untuk makan dan aktivitas seksual. Kedua,bergabungnya alam bawah sadar dengan keinginan-keinginan ini akan menciptakan ikatan luar biasa dari ide-ide, kesan, dan emosi yang dapat dihubungkan dengan segala hal yang pernah diajari,dilakukan, atau seseorang yang semenjak hari pertama hidup sampai akhir hayatnya[6]
E.     Seksualitas Anak-Anak.
Terapan menarik lainnya dalam model konflik kepribadian Freud adalah muncul dalam teorinya yang sangat terkenal yaitu seksualitas anak-anak dan Oedipus kompleks. Dalam bukunya “The Three Essay On The Theory of Sexuality”, Freud membuktikan bahwa semenjak lahir sampai seterusnya dorongan jasmani dan seksual telah mengendalikan sebagian besar tingkah laku anak-anak. Usia 18 bulan pertama dinamakan fase oral, dimana kepuasan seksual dipenuhi dengan menghisap zat makanan dari payudara ibunya. Dari usia 18 bulan sampai 3 tahun, disebut fase anal, dimana kepuasan datang dari pengaturan kotoran. Usia tiga tahun dan seterusnya disebut fase pallic, dimana kepuasan hasrat dilakukan dengan cara masturbasi dan fantasi seks. Fase pallic ini tetap bertahan sampai usia enam tahun dan seterusnya,saat muncul hal-hal nonseksual yang terssembunyi. Fase ini berakhir sempurna pada awal usia belasan tahun saat datangnya kemampuan seksual yang dewasa.
Pandangan Freud tentang perkembangan kepribadian manusia ini akan menjadi lebih penting ketika dia beralih membicarakan agama, karena satu-satunya perhatian utamanya adalah mencoba menemukan tempat keyakinan keagamaan di dalam tahap-tahap perkembangan emosi yang normal. Freud menyebutkan hubungan antara masa kanak-kanak dengan agama sebagai Oedipus kompleks[7]. Bahkan Freud merasa bahwa Oedipus Kompleks merupakan pengalaman inti masa kanak-kanak.
F.      Freud dan Agama.
Setelah mengembangkan ide dasarnya tentang psikoanalisa, Freud menempatkan agama sebagai satu objek studi lanjutan yang menantang. Semasa kecilnya, Freud telah mendapatkan pengetahuan dasar tentang agama Yahudi. Walaupun pada tahapan berikutnya, Freud merupakan penolak yang begitu kompleks terhadap agama. Freud menjalani hidupnya semenjak awal sampai akhir hayatnya sebagai orang yang benar-benar atheis.
Dalam bukunya “Totem and Tabo”, Freud mengetengahkan penafsiran psikoanalisa terhadap kehidupan masyarakat primitif. Dalam bukunya ini, ia menyoroti dua perilaku masyarakat primitif yaitu “totem’ dan “tabu”.
Dalam kebiasaan totem, sebuah suku atau klan mengasosiasikan diri mereka dengan binatang atau tumbuhan tertentu, yang dianggap sebagai objek sakral. Yang kedua, seseorang atau sesuatu disebut tabu jika satu suku ingin menyatakannya sebagai hal yang terlarang atau tidak diperbolehkan. Tabu yang paling lama dan paling kuat dipegang oleh masyarakat ada tiga hal. Pertama, hubungan seks dengan orang sedarah. Kedua, tidak diperbolehkan berburu dan memakan binatang totem, kecuali pada saat-saat tertentu. Ketiga,ia menganggap tidak ada alasan mendasar untuk membuat tabu dan larangan-larangan yang berlaku secara umum itu, kecuali karena memang pada satu waktu orang memang ingin melakukan perbuatan yang dilarang itu. Kenapa aturan ini membuat orang tersiksa, padahal orang-orang tidak mau mematuhinya ?
Freud menemukan jawabannya dalam teori alam bawah sadarnya. Ia mengklaim bahwa pengalamannya dengan pasien neurotis memperlihatkan kepribadian orang, baik yang normal dan terganggu, sama-sama ditandai dengan ambivalensi, pertentangan antara hasrat-hasrat yang begitu kuat. Mereka ingin melakukan sesuatu, namun pada saat yang sama juga tidak ingin melakukannya. Sebagai contoh, orang yang terkena gangguan saraf kadang-kadang merasa sangat dihantui oleh rasa sedih orang yang dicintainya,s eperti ayah dan ibu yang meninggal. Namun dalam penyelidikan alam bawah sadar kita mendapati bahwa sebenarnya itu bukanlah cint, tapi rasa bersalah dan benci yang disebabkan oleh emosi mereka.
Dan menurut Freud, orang-orang primitif juga mengalami hal seperti ini. Mereka menganggap para leluhur sebagai setan atau roh jahat yang harus dibenci. Dengan demikian kepatuhan terhadap larangan-larangan dalam suatu masyarakat meruapak sebuah ambivalensi dalam psikologi manusia.
Bagi seorang lelaki, terdapat hal lain berupa frustasi dan kecemburuan. Meskipun mereka takut dan tetap menghormati sang ayah, tapi secara seksual mereka tetap menginginkan wanita yang menjadi istri ayahnya. Dan dalam kejadian seperti ini, lelaki mengambil satu tindakan yang menentukan, yaitu anak laki-laki bersatu membunuh bapak mereka dan mengambil alih posisi ayahnya sebagai suami ibu mereka sendiri.
Pada awalnya, pembunuhan yang pertama dalam keluarga ini membawa kesenangan dan kebebasan. Tapi setelah dipikirkan kembali, kesedihan dan kemurungan pun muncul. Si anak kemudian dikuasai oleh rasa bersalah dan penyesalan. Karena ingin sekali memulihkan dan mengembalikan si ayah yang telah dibunuh, mereka menemukan pengganti ayah dalam binatang totem dan simbol-simbol. Mereka kemudian setuju untuk menyembah totem dan setelah itu bersumpah bahwa semua orang tua adalah tabu. Selang beberapa lama, aliran ini disebarluasakan ke seluruh suku dan menjadi aturan yang universal untuk melawan semua pembunuhan; ‘Kamu dialarang membunuh apapun’. Jadi tidak diragukan lagi, aturan ini menjadi aturan moral pertama yang mengatur umat manusia.
Munculnya kepercayaan terhadap agama bisa ditemukan dalam Oedipus kompleks, dalam emosi-emosi yang terpilih dalam diri manusia yang membawa mereka pada kejahatan besar yang pertama (membunuh ayah mereka) dan menjadikan ayah sebagai Tuhan dan berjanji untuk menahan hasrat seksual sebagai bentuk bakti padanya. Ini dinyatakan freud dengan ungkapan “ Agama totem muncul dari rasa bersalah anak, dan untuk menghilangkan perasaan itu, dan mengabulkan keinginan sang ayah, mereka kemudian menyembah sang ayah yang telah dibunuh, Seluruh agama yang datang kemudian kelihatannya juga ingin memecahkan persoalan yang sama.”[8]
Bagi Freud, pembunuhan di zaman pra-sejarah itu merupakan kejadian yang paling penting dalam perjalanan sejarah kehidupan sosial manusia. Peristiwa tersebut telah menciptakan emosi mendalam dimana kita bisa menemukan asal-usul agama. Dalam larangan incest (kesepakatan untuk melindungi klan dari akibat buruknya) kita bisa melihat moralitas dan kontrak sosial yang yang paling awal. Gabungan antara totemisme dan tabu kemudian membentuk pondasi dasar bagi seluruh peradaban.[9]
Bila dalam bukunya “Totem and Taboo” Freud mengkaji tentang kehidupanmasyarakat primitif masa lalu,maka lain lagi dalam bukunya yang berjudul “The Futute of an Ilussion” yang mengkaji tentang peluang dan agama pada masa mendatang.
Freud memulai buku The Future of an Ilussion dengan beberapa fakta yang sudah diketahui orang. Walaupun alam telah melahirkan spesies manusia, namun alam juga selalu mengancam manusia dengan predator, bencana, penyakit atau gangguan fisik lainnya. Untuk berlindung dari semua itu maka sejak awal kita harus tergabung pada masyarakat. Maka dengan demikian terciptalah apa yang kita sebut peradaban.
Kemudia Freud memperlihatkan kepada kita bahwa masyarakat bisa bertahan apabila mampu menundukkan hasrat-hasrat pribadi kepada aturan-aturan dan batasan-batasan yang ditentukan oleh masyarakat. ‘Kita tidak bisa membunuh seenaknya’ dan sebagainya adalah contoh dari hal ini. Namun walaupun dengan perjuangan untuk mengekang hasrat-hasrat ini, peradaban juga tak dapat melindungi kita secara sempurna. Ketika kita berhadapan dengan penyakit dan kematian, akhirnya kita semua tidak bisa tertolong.
Pada masa kanak-kanak, ayah akan selalu menasehati dan meyakinkan kita untuk mengahadapi ganasnya badai dan gelapnya malam. Setelah dewasa pun, kita masih membutuhkan keamanan dan kenyamanan seperti masa kanak-kanak ini. Menurut Freud, suara yang diberikan agama membuat kita berfikir bahwa kita bisa mengalami dan memiliki pengalaman kanak-kanak itu kembali. Dengan mengikuti pengalaman masa kanak-kanak, agama memproyeksikan dunia eksternal tentang tuhan. Tuhan dengan segala kekuatannya bisa menghilangkan ancaman alam. Kepercayaan agama mengklaim bahwa “ setiap kita berusaha untuk melakukan hal yang baik menurut Tuhan, maka tak akan mengakibatkan kita menjadi permainan yang kuasa dan kekuatan jahat alam”.
Menuru Freud, kata yang paling baik untuk menggambarkan kepercayaan seperti itu adalah ilusi (Illusion). Ilusi yang dimaksud disini adalah sesuatu yag khusus. Bagi Freud, ilusi adalah satu keyakinan yang kita pegangi dan harus selalu benar. Ilusi berbeda dengan delusi. Delusi adalah sesuatu yang juga kita inginkan menjadi nyata, tapi semua orang tahu bahwa hal itu tidak mungkin. Freud dengan tegas menyatakan bahwasanya kepercayaan Tuhan bukanlah sebuah delusi.
Oleh karena itu, ajaran agama sebenarnya bukanlah wahtu dari tuhan, dan juga bukan konklusi logis dari pembuktian ilmiah. Sebaliknya, ajaran agama merupakan pikiran-pikiran dengan ciri utama yang khas ‘kita sangat mengiinginkannya (ajaran-ajaran agama itu) menjadi kenyataan. Ajaran-ajaran agama adalah pemenuhan bagi keingina manusia yang paling tua,paling kuat, dan paling penting.
Freud mengakui bahwa di masa lalu agama memang telah memberikan sumbangan peradaban, begitu juga dengan agama-agama yang muncul belakangan. Tapi peradaban saat ini sudah dewasa dan sudah mapan. Kita tidak akan membangun masyarakat di atas takhayul dan represi-represi serta tidak akan menerapkan larangan-larangan pada anak-anak, pria dan wanita dewasa dalam mengatur tingkah laku mereka.
Ajaran agama juga harus dilihat dalam sudut pandang keyakinan dan aturan-aturan yang diperuntukkan bagi masa kanak-kanak ummat manusia. Dalam sejarah kuno ummat manusia, “ masa kebodohan dan lemahnya intelektual” agama menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari, sama seperti pada tahap neurotis pada masa kanak-kanak. Hal yang serupa juga berlaku pada perkembangan peradaban manusia. Agama yang terdapat dalam awal sejarah manusia adalah pertanda dari sebuah penyakit, dan keinginan untuk meninggalkan agama menjadi satu-satunya indikasi yang menunjukkan ‘kesehatan’ peradaban manusia. Dalam bahasa freud :
“Agama adalah gangguan obsesi mental manusia secara universal, sama seperti gangguan mental yang terjadi pada diri anak-anak. Agama muncul karena oedipus kompleks, karena masalah yang terjadi dengan ayah mereka. Jika anggapan ini memang benar, maka bisa diperkirakan bahwa meninggalkan agama niscaya akan membawa akibat fatal bagi proses pertumbuhan, dan kita mendapati diri kita dalam keadaan yang sangat kritiw di tengah-tengah fase pertumbuhan.[10]

G.    Beberapa Kritikan.
Apa yang telah diungkapkan oleh Sigmund Freud dalam karya-karya dan teorinya yang termuat dalam buku “Totem and Taboo” dan “The Future of an Illusion” tidak lantas menjadikan kita menerima begitu saja apa yang di dalamnya. Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu kita kritisi
Pertama, terlepas dari seberapa terkenalnya Sigmund Freud dengan konsep psikoanalisa nya dalam studi agama, dia adalah seorang atheis. Paradigma pemikiran dia yang atheis ini akan menjadikan kerangka pemikirannya dan hasil kajiannya juga bercorak atheis. Karena framework  adalah kerangka teori yang mendasari terlahirnya suatu ilmu. Sementara kerangka teori lahir dari paradigma tertentu yang didasari oleh asumsi dasar[11]. Freud yang seorang atheis, juga menyimpulkan bahwasanya agama hanya merupakan pemuasan akan hasrat kekanak-kanakan, lebih jauh lagi, bahkan ia menyatakan dalam bukunya The Future of an Illusion “ Agama akan menjadi penyakit saraf yang mengganggu manusia sedunia. Memang sejatinya perkembangan ilmu yang sedemikian pesatnya juga harus dibarengi dengan pemahaman akan agama dan hikmahnya, sebab bila tidak, maka perkembangan ilmu yang pesat, namun tanpa disertai dengan pemahaman akan agama, maka akan menjadikannya semakin menjauh dari hidayah Allah. Dengan kata lain kita tidak boleh men dikhotomi antara Islam dan pengetahuan. Sebagaimana sabda nabi :
مَنْ إِزْدَادَ لَهُ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ لَهُ هُدًى,فَمَا يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلَا بُعْدًا
Barang siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah hidayah (Islam) maka tidak akan bertambah padanya (kedekatan kepada) Allah kecuali akan semakin menjauh.( Al Bukhari)
Kedua, dalam argumennya Freud berpendapat bahwa agama sangat mirip dengan neurotis, sebab orang yang mengidap neurotis akan meyakini dan melakukan hal-hal yang irrasional, maka agama pun demikian, meyakini dan melakukan hal-hal yang irrasional. Misalnya seseorang yang menghabiskan waktunya untuk berdoa, dalam segi perilakunya tak berbeda dengan perilaku penderita sakit mental yang menghabiskan waktunya untuk menghitung kancing bajunya. Bagi orang yang berdoa, perilaku ini adalah normal, bukan karena sakit jiwa. Freud bersieras untuk menemukan motif alam bawah sadar dari perbuatan orang yang berdoa itu, karena sedari awal dia sudah mengasumsikan bahwa doa adalah perbuatan yang tak normal. Tentu saja dia tak akan berasumsi demikian kalau dia tak menyatakan bahwa berdoa itu muncul bukan dari motif rasional, akan tetapi dari motif tidak rasional yang terletak di alam bawah sadar. Padahal alam bawah sadar adalah sesuatu yang dia ingin buktikan. Dengan kata lain, beberapa diskusi yang diketengahkan Freud memakai penalaran yang sirkular (berputar-putar)

H.    Penutup dan Kesimpulan
Teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud tentang asal-usul agama dalam masyarakat primitive, yang dimuat dalam bukunya “Totem and Taboo” dan masa depan agama dalam bukunya “ The Future of an Illusion” boleh jadi menjadi sebuah hal yang baru dalam kajian asal usul agama. Konsep ini mengilhami banyak orang setelahnya, seperti carl Jung, Fritz Perls dan lain sebagainya. Latar belakang dia yang merupakan seorang dokter yang ahli dalam otak, melahirkan teori psikoanalisa dan tahap perkembangan seksualitas manusia, yang mana hal ini masih dipelajari dan dikembangkan hingga sekarang. Teori psikoanalisa nya ini juga ia gunakan dalam mengkaji asal usul agama,hingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa agama adalah pemuasan dari hasrat kekanak-kanakan. Dia juga berpendapat bahwa orang yang beragama adalah sama dengan orang yang mengidap penyakit gangguan mental.
Paradigma pemikiran Sigmund Freud yang seorang atheis, tentunya juga melahirkan konsep disiplin ilmu yang atheis juga, terlepas dari peranan agama dan tuhan. Maka selayaknya kita mengkritisi dengan framework Islam terlebih dahulu konsep yang dibawa oleh Sigmund Freud sebelum mempelajarinya lebih intens dan mendalam, sehingga kajian psikologi yang dikemukakan oleh Sigmund Freud pun tak akan terlepas dari kerangka studi Islam.
  
DAFTAR PUSTAKA
Pals L Daniels, Seven Theoriesof Religion, Penerbit IRCiSoD, Yogyakarta, cetakan pertama, Oktober 2011
Bertens K, Psikoanalisis Sigmund Freud, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006
Freud Sigmund, The Future of An Illusion,New York, London, 1961
Adler J Mortimer Dkk, Great Books of the Western World volume 54, The Major Works of Sigmund Freud, Encycloapaedia Britannica, cetakan ke tujuh, 2003
Nelson Benjamin, Freud Manusia Paling Berpengaruh abad ke 20, Ikon Teralitera, Surabaya, 2003
Muslih Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar paradigm dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, cetakan kelima 2008.



[1] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Penerbit IrciSOD, Jogjakarta, Oktober 2o11 hal 82.
[2][2] K. Bertens, Psikoalasis Sigmund Freud, Penerbit Gramedia, Jakarta, 2006, hal 10.
[3] Op.cit, hal 11
[4] Ibid, hal 87.
[5] Ibid, hal 16
[6] Ibid, hal 87
[7] Istilah ini muncul dari tragedi yang terkenal, menceritakan tentang seorang raja Oedipus,seorang raja yunani yang yang baik dan bijaksana yang tanpa sadar membunuh dan menikahi ibunya. Freud berpendapat bahwa peristiwa ini berkaitan dengan Oedipus kompleks. Karena di masa initerdapat hasratyang sangat kuat untuk menggantikan salah satu orang tuanya yang menjadi kekasih orang tuanya yang satu lagi. Lihat Seven Theories of Religion, Daniel L. Pals, hal 94.
[8] Totem and Taboo, dalam standar edition, jilid 13 hal 145.
[9] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Penerbit IrciSOD, Jogjakarta, Oktober 2o11 hal 105.
[10] The Future of an Ilussion, dalam standard edition, jilid 21 hal 43.
[11] Untuk lebih jelasnya mengenai  kerangka susunan ilmu pengetahuan lihat Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta.