Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad Abduh
A.
Pendahuluan
Sejarah
telah mencatat bahwasanya Islam mencapai masa kejayaan pada masa dinasti
abbasiyah dan juga dinasti utsmaniyyah. Pada masa dinasti Abbasiyah, Islam
berkembang dengan pesat, mulai dari berkembangnya berbagai bidang keilmuan yang
pesat, perluasan wilayah kerajaan, penaklukan berbagai daerah, perbaikan sistem
pemerintahan, dan berbagai bidang lainnya. Setelah runtuhnya dinasti abbasiyah
oleh penyerangan bangsa Tartar, kemajuan ummat Islam dilanjutkan oleh dinasti
Utsmaniyyah ( 1281-1924). Bahkan di masa dinasti ini terjadi penaklukkan
kekaisaran Byzantium atau Romawi oleh sultan Muhammad al Fatih pada tahun 1453.
Penaklukan ini sekaligus menandakan betapa gemilangnya kemajuan Islam pada waktu
itu.
Namun
seiring berjalannya waktu, ummat Islam mengalami kemunduran dan ketertinggalan
dari bangsa-bangsa lainnya, utamanya bangsa Barat. Di saat Barat telah mencapai
masa renaissance dan meraih kemajuan dan keunggulan dalam berbagai
bidang, ummat Islam malah mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh
berbagai faktor, diantaranya ialah erosi nilai-nilai Islam dan ketidak adaan
perhatian dari pihak pemerintah terhadapnya, berkembangnya tradisi taqlid di
antara ummat Islam, dan faktor-faktor lainnya.
Situasi
ini mendorong ummat Islam untuk melakukan perubahan dan pembaharuan, untuk
mengejar ketertingalan dari bangsa lainnya. Disini tampillah tokoh-tokoh
seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Ahmad Khan dan tokoh lainnya yang
mengusung gagasan modernisasi Islam. Makalah ini bermaksud untuk mengkaji
secara lebih jauh mengenai gagasan pembaharuan pemikiran Islam yang diusung
oleh Muhammad Abduh.
B.
Biografi Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh dilahirkan di suatu desa di Mesir Hilir pada tahun 1265/1849 H. Ayahnya
bernama Abdullah Hasan Khairullah, dan ibunya adalah Junaidah. Ia lahir dan
menjadi dewasa dalam lingkungan desa di bawah asuhan ibu ayahnya yang tak ada
hubungannya dengan didikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang kuat.
Kemampuan
baca tulisnya ia dapatkan di rumah. Ia mampu menghafal Al Quran semenjak usia
muda remaja. Pada tahun 1279 H/1863 M, orang tuanya menyerahkan ia ke syaikh
Mujahid, yang masih terhitung kakak ibunya di Tanta, untuk memperhalus bacaanya
di masjid Al-Ahmadi.
Ilmu-ilmu
dasar keislaman ia dapatkan pada tahun 1281 H/ 1865 M. Karena kecewa dengan
metode pengajaran yang disampaikan oleh gurunya, dia pun meninggalkan tempat
belajarnya untuk kemudian kembali ke Muhallat Nashr. Akhirnya pada tahun 1282
H/1866 M dia pun menikah dengan gadis yang sekampung dengannya.
Baru
empat puluh hari semenjak pernikahannya, dia dipaksa oleh ayahnya untuk kembali
ke Tanta meneruskan studiny. Lagi lagi ia menolak permintaan ayahnya dan
melarikan diri ke kanisah Urin, tempat tinggal kerabat ayahnya. Di sinilah
Muhammad Abduh mendapatkan apa yang diharapkannya. Syeikh Darwis, yang masih
kerabat ayahnya, banyak berjasa dalam mengantarkan Abduh ke gerbang
kesuksesannya. Dijelaskannya Abduh tentang hal-hal yang berkaitan dengan bacaan,
sehingga memotivasi Abduh untuk terus belajar. Atas motivasi pamannya ia pun
melanjutkan studinya ke AL Azhar, sebuah lembaga pendidikan tinggi yang
mempertemukannya dengan ulama-ulama terkemuka di Mesir.
Di sana juga dia mempelajari ilmu-ilmu yang tidak diajarkan di Al Azhar seperti
falsafah, matematika, teologi dan lainnya yang secara puas dan mendalam dia
dapatkan dari syeikh Jamaluddin Al Afghani.
Pada
tahun 1877 M, ia berhasil menyelesaikan studinya di Al Azhar dengan nilai
yudisium peringkat kedua, Alim. Setelah lulus ia mengajar pada
almamaternya dan mengajar pula di Darul Ulum dan di rumahnya sendiri. Kegiatan
lainya selain mengajar ialah menulis artikel untuk beberapa media masa, seperti
Al-Ahram. Kehandalanya dalam bidang menulis ikut mengantarkannya untuk menjadi
pemimpin redaksi pada Al Waqaiq Al Mishriyyah, lembaran negara yang
telah terbit pada masa Muhammad Ali dengan Al Tahthawi sebagai pemimpin
redaksinya yang pertama.
Disamping
mengajar dan menjadi pemimpin redaksi, Muhammad Abduh juga mulai aktif dalam
kegiatan-kegiatan politik untuk menentang kebijakan pemerintah setempat.Hal ini
membuatnya menerima hukuman tahanan kota di Mahalla Nashr, kampung halamannya
sendiri selama setahun.
Keterlibatannya
dalam pemberontakan Urabi Pasha menyebabkan dia diasingkan ke luar negeri
selama 3 tahun. Atas undangan Jamaluddin al Afghani, dia pergi ke Prancis untuk
bergabung dengannya menerbitkan majalah Al Urwat Al Wutsqa. Setelah 18 bulan,
ia kembali ke Beirut dan mengajar di sekolah Sulthaniyyah. Disanalah ia
menulis Risalah Tauhid dan menerjemahkan Al Radd ala Ad Dahriyyin, buku
tulisan Jamaluddin Al Afghani.
Atas
izin Khadewi Taufik, ia kembali ke Kairo, namun tak diizinkan mengajar di Al
Azhar. Sebagai gantinya dia diangkat menjadi hakim pada pengadilan negeri yang
kelak mengantarkannya untuk menjadi penasehat mahkamah tinggi. Setelah itu ia
diangkat menjadi mufti Mesir, dan juga menjadi anggota Majlis Syura (1899),
dewan legislatif Mesir yang waktu itu masih muda usianya. Dan jabatannya
sebagai anggota legislatif tersebut dipegangnya sampai dia wafat pada hari
selasa, 11 Juli 1905.
C.
Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Abduh
1.
Analisis Sebab Mundurnya Ummat Islam dan Perlunya Membongkar Kejumudan
Menurut
analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ummat islam ini disebabkan oleh
faktor eksternal, seperti hegemoni Eropa yang
mengancam eksistensi masyarakat muslim, dan
faktor internal, yaitu situasi yang diciptakan kaum muslimin sendiri.
Menurut
Muhammad Abduh bangsa Eropa telah memasuki fase baru yang bercirikan peradaban
yang berdasarkan ilmu pengetahuan, seni, industri, kekayaan dan keteraturan,
serta organisasi politik baru yang berdasarkan pada penaklukan yang disangga
oleh sarana baru, seperti melakukan perang, dan didukung oleh senjata yang
mampu menyapu bersih banyak musuh. Mereka dianggap sebagai agresor, karena
berusaha merebut negeri bangsa lain. Mereka tidak patut memerintah masyarakat
muslim karena berbeda agama dan masyarakat muslim tak layak tunduk kepada
mereka, sekalipun seandainya mereka menegakkan keadilan. Prinsip mereka yang
tinggi tidak sesuai dengan sikap mereka terhadap rakyat yang ditaklukkan. Orang
Mesir menderita karena percaya begitu saja kepada orang asing tanpa bisa
membedakan mana yang menipu dan mana yang tulus, mana yang benar dan mana yang
berdusta, mana yang setia dan mana yang pengkhianat. Dalam pertemuan dengan
seorang wakil pemerintah di Inggris, Muhammad Abduh ditanya bagaimana
pendapatnya tentang keadaan kebijakan Mesir dan Inggris di sana, maka
ia menjawab:
“Kami,
bangsa Mesir dari Partai Liberal, pernah percaya kepada liberalisme dan simpati
Inggris. Kini kami tidak lagi percaya karena fakta lebih kuat dibandingkan
dengan kata-kata. Kami lihat sikap leberal anda hanyalah untuk anda sendiri,
simpati anda kepada kami seperti simpatinya serigala kepada domba yang akan
disantapnya.”
Adapun
faktor internal adalah faktor yang disebabkan oleh ummat islam sendiri. Yang
dimaksud disini adalah berkembangnya paham Jumud di kalangan ummat Islam. Dalam
kata jumud terkandung arti membeku, keadaan statis, tak ada perubahan. Karena
dipengaruhi paham jumud ummat Islam tidak menghendaki perubahan, ummat Islam
berpegang teguh pada tradisi.Sikap ini kemudian dibawa ke dalam tubuh ummat
Islam oleh orang-orang yang bukan Arab dan kemudian dapat merampas puncak
kekuasaan politik dunia Islam. Begitu pun adat istiadat mereka dan paham
animisme yang turut mempengaruhi ummat Islam. Selain itu mereka berasal dari
bangsa yang tak mementingkan akal seperti yang dianjurkan dalam Islam.
Menurut
Muhammad Abduh, ini adalah bid’ah , yang akan membuat ummat Islam lupa akan
ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya. Bid’ah-bid’ah inilah yang akan
mewujudkan masyarakat Islam yang jauh menyeleweng dari masyarakat islam yang
sesungguhnya. Disini dia memandang, ummat Islam harus kembali kepada
ajaran-ajaran asli mereka, dan karena zaman dan suasana sekarang telah berubah,
maka ajaran-ajaran asli tersebut perlu disesuaikan dengan keadaan zaman
sekarang. Adapun ajaran yang perlu disesuaikan bukanlah dalam bidang tauhid,
karena menurutnya bidang itu merupakan bidang yang sudah pasti. Yang harus
disesuaikan adalah bidang mu’amalah ( hidup kemasyarakatan).
Untuk
menyesuaikan dasar-dasar itu dengan situasi modern perlu diadakan interpretasi
baru, dan untuk itu perlu diadakan ijtihad.
2.
Perlunya Ijtihad
Sejak
akhir abad ke 4 H, ummat Islam meyakini bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Kenyataan ini telah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama. Muhammad
Abduh yang memang menyadari bahwa masyarakat dari masa ke masa selalu mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman, tentu saja tidak menerima
kenyataan tersebut. Karenanya, menurut Muhammad Abduh, pintu ijtihad tidak
boleh ditutup, selamanya pintu ijtihad harus dibuka.
Ijtihad
menurut pendapatnya bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu diadakan.
Tetapi hanya orang-orang yang memenuhi syarat yang diperlukan yang boleh
melakukan ijtihad. Adapun yang tak memenuhi syarat harus mengikuti pendapat
mujtahid yang ia setujui fahamnya.
Ijtihad
ini dijalankan langsung pada Al Quran dan hadits, sebagai sumber asli dari
ajaran Islam. Pendapat para ulama ataupun ijma’ mereka tak termasuk karena
ijma’ mereka tak mempunyai sifat ma’sum.
Maka
dengan sendirinya, taklid kepada ulama’ lama tak perlu dipertahankan, bahkan
mesti diperangi karena taklid inilah yang membuat ummat Islam berada dalam
kemunduran dan tak dapat maju.
Pendapatnya
tentang pembukaan pintu ijtihad dan pembrantasan taklid, berdasar pada kekuatan
akal. Yang mana dalam hal ini berkaitan dengan konsep tauhidnya, yang tertulis
dalam bukunya ‘ Risalah Tauhid’.
3.
Konsep Tauhid dan Penggunaan Akal Pikiran.
Menurut
Muhammad Abduh, tauhid ialah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah,
tentang sifat-sifat wajib tetap padaNya, sifat-sifat yang boleh disifatkan
kepadaNya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada
diriNya,juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakini kerasulannya,
meyakinkan apa yang wajib ada pada diri mereka, apa yang boleh dihubungkan
(Nisbah) kepada diri mereka dan apa yang
terlarang menghubungkan kepada diri mereka.
Intisari ajaran Islam menurut Muhammad
Abduh adalah, percaya kepada keesaan Tuhan seperti yang ditetapkan oleh akal
dan didukung oleh Al-Qur’an. Menurut Muhammad Abduh, dalam Islam ada ajaran
untuk menjunjung tinggi akal Dalam Al Quran juga banyak terdapat banyak
ayat-ayat yang menggugah akal. Disini Muhammad Abduh tampak mengagungkan akal.
Di dalam buku nya Risalah Tauhid, ia bahkan menulis :
Keyakinan yang
wajib kita pegang ialah, bahwa agama Islam adalah agama tauhid, bukan agama
yang terpecah belah dalam kepercayaan-kepercayaan itu. Akal adalah pembantunya
yang paling utama, dan naql ( Al Quran dan Sunnah) merupakan sendi-sendinya.
Ia (Al
Quran) menganjurkan kepada kita untuk
melakukan penyelidikan dengan menggunakan akal, kepada benda-benda alam yang
terdaoat di sekitar kita, menemnus rahasia-rahasi alam itu yang sekedar ingin
dicapai,sehingga timbul keyakinan terhadap apaapa yang telah dianjurkan kita
untuk menyelidikinya.
Bila
kita melihat pendapat Abduh terkait masalah akal, maka sekilas memiliki
kesamaan dengan mazhab mu’tazilah, yang juga mengagungkan akal daripada naql.
Namun menurut Abduh sendiri, dia mengaku sebagai pengikut metode salaf yang
tidak menafsirkan hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan, sifat-sifatnNya, dan
Alam gaib.
4.
Ilmu Pengetahuan Modern
Ilmu
pengetahuan modern yang datang dari Barat, menurut Muhammad Abduh, tidaklah
bid’ah sebagaimana yang selama ini diyakini oleh ummat Islam. Ilmu pengetahuan
tersebut didasarkan pada sunnatullah dan tidak bertentangan dengan Islam,
karena juga berasal dari Allah.
Selanjutnya
Muhammad Abduh menandaskan bahwa Islam bila dipahami dengan benar akan dapat
menerima segala bahasan ilmiah. Bahkan Islam masih menurut Muhammad Abduh,
lebih dulu memiliki toleransi untuk dapat menerima ilmu pengetahuan daripada
Nasrani. Selain itu Islam dianggap penyebab tegaknya semangat ilmiah di Eropa
pada abad ke 16 M.
5.
Perbaikan Pendidikan Modern di Al Azhar.
Sebagai
konswekensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus mempelajari dan mementingkan
ilmu pengetahuan, ummat islam harus mementingkan tentang ilmu pendidikan. Ide
pembaharuan pendidikan Al Azhar yang diinginkan Muhammad Abduh barangkali
muncul karena kondisi minim yang dilihatnya pada saat belajar di universitas
tersebut. Ketika dia belajar di AL Azhar, dia tidak menemukan ilmu-ilmu fardhu
kifayah sehingga untuk mendapatkannya dia harus pergi mencari llmu tersebut
di luar Al Azhar. Lawatannya ke Eropa selama beberapa waktu dan kejumudan yang
dirasaannya di masjid Al Ahmady, tanta waktu ia belajar, nampaknya juga
berperan dalam memunculkan ide pembaharuannya di Al Azhar.
Langkah-langkah
yang diambilnya dalam membenahi Al Azhar paling tidak berkisar pada beberapa
hal. Pertama, pembatasan kurikulum. Kedua, ujian tahunan dengan beasiswa bagi
mahasiswa yang lulus. Ketiga, penyeleksian buku-buku yang baik dan bermanfaat.
Keempat, tempo mata kuliah yang primer lebih panjang daripada yang hanya
sekunder. Kelima, penambahan mata kuliah yang terkait dengan ilmu pengetahuan
modern.
D.
Pengaruh Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Abduh
Pembenahan
yang dilakukan Abduh terhadap sistem pendidikan di Al Azhar sama halnya dengan
melakukan pembaharuan di seluruh dunia, hal ini karena mahasiswa-mahasiswa yang
belajar di Al Azhar berasal dari seluruh dunia.
Dari
Indonesia pun tercatat pendirian organisasi-organisasi Islam seperti
Muhammadiyah dan Al Irsyad juga punya keterkaitan langsung dengan ide-ide
Abduh. K.H Ahmad Dahlan dan Ahmad Syurkati, dua ulama yang dikenal sebagai
pendiri kedua organisasi diatas, adalah termasuk para ulama’ yang pernah
berkenalan dengan ide-ide pembaharuan Abduh di Mesir
E.
Kesimpulan dan Penutup
Tidak
diragukan lagi, gagasan yang dilontarkan oleh Muhammad Abduh terkait
pembaharuan Islam sangat banyak berpengaruh dalam perkembangan Islam abad ini. Pendapat
dan ajaran-ajaran Abduh mempengaruhi dunia Islam pada umumnya terutama dunia
Arab melalui karangannya sendiri ataupun murid-muridnya seperti Muhammad Rasyid
Ridha, Kasim Amin, Farid Wajdi, Tantawi Jauhari, ataupun kaum intelek atasan
Mesir seperti Muhammad Husein Haykal, Abbas mahmud, Ibrahim A kadir, dan sa’ad
Zaghlul.
Selain itu, ia juga membuka kembali
pintu-pintu Ijtihad yang telah tertutup, gerakan pembaharuan ini juga
memotivasi dan mendorong tokoh-tokoh lainnya di berbagai negara untuk turut
mengadakan gerakan yang serupa.
Daftar Refrensi
Abduh, Muhammad, Risalah Tauhid, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang,
cetakan ketujuh, 1979
Arsalan, Al Amir Syakib, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, Jakarta,
Penerbit Bulan Bintang.
Fahal, Mukhtar dan Aziz, Achmad Amir, Teologi Islam Modern,
Surabaya, Gitamedia Press, 1999.
Murodadi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang, Penerbit Karya Toha
Putra, 1997
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, Jakarta, Penerbit bulan Bintang, cetakan kedua, 1982