Menjawab
Pertanyaan Filosofis-Fundamental Mengenai Tuhan
Judul
Buku : 5 Tantangan Abadi
Terhadap Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya
Pengarang : Saiyad Fareed Ahmad dan
Saiyad Salahuddin Ahmad
Penebit :
Mizan
Tebal : 323
“Tuhan telah mati, dan kitalah yang
membunuhnya”. Seruan oleh Freidrich
Nietschze ini seolah menjadi gaung, bahwasanya peranan Tuhan sudah benar-benar
tidak lagi dibutuhkan di kehidupan manusia sekarang. Memang, sejak Barat
memasuki masa penuhanan akal dan rasio yang digagas oleh Descartes, kepercayaan
masyarakat akan agama dan sesuatu yang bersifat mistis semakin menurun. Akal
dituhankan, agama dan gereja pun semakin kosong ditinggalkan. Buat apa pula
mempercayai atau menuhankan sesuatu yang gaib, kalau akal manusia telah menjadi
Tuhan? Inilah yang menjadi pemikiran masyarakat Barat waktu itu, bahkan hingga
sekarang. Agama dan keimanan kepada Tuhan tak lebih hanya sekedar kata belaka
yang tak memiliki makna.
Dalam keadaan yang seperti ini, ditambah lagi
dengan menyebarnya paham materialisme dan positifisme yang digagas oleh Karl
Marx dan Auguste Comte. Pengusung paham materialisme beranggapan bahwa di dunia
ini tidak ada halaman selain yang berbentuk materi. Ukuran segala sesuatu
adalah materinya. Dengan sendirinya, paham materialisme ini pun menafikkan
peranan dan wujud Tuhan yang bersifat gaib. Lain lagi dengan positivism Comte.
Ia beranggapan bahwasanya periode kehidupan manusia. Terbagi menjadi tiga tahap
: tahap teologis, metafisis, dan positif. Ummat manusia saat ini hidup di era
positif, yang hanya memusatkan pikiran pada halaman-halaman yang faktual yang
dapat diamati oleh indera. Bila manusia masih beragama ataupun mempercayai halaman-halaman
yang bersifat gaib termasuk Tuhan, maka mereka sebenarnya masih hidup dalam
tahap metafisis. Ketinggalan zaman. Disini masyarakat pun mempertanyakan : apakah Tuhan itu benar ada
atau tidak, kalau ada kenapa ia tak dapat diindera ? Atau kalau memang ada
apakah kita harus mengimaninya? Pertanyaan tersebut, yang seolah sederhana tapi
sangat fundamental, selalu digaungkan oleh kaum sekuler-liberal yang lebih
menuhankan akal mereka.
Di lain tempat, ada orang yang mengimani
keberadaan Tuhan tetapi dengan slogan bahwa tidak boleh ada agama yang
mengklaim kebenaran mutlak hanya berada di agamanya. Semua agama sama-sama
menuju kebenaran dan tujuan yang sama. Semua agama adalah sama benarnya, kalau
tidak mau dikatakan semua agama adalah salah. Mereka inilah yang mengusung
paham pluralisme agama, entah dalam bentuk ‘Global Theology’ nya John Hick atau
‘Transendent Unity of Religions’ nya Fritchof Schuorn, keduanya sama-sama
menuju arah yang sama, penghapusan klaim kebenaran pada satu agama. Di tengah krisis
keimanan terhadap tuhan dan pluralism agama sebagaimana disampaikan diatas,
tentu saja memerlukan jawaban dan pemecahan tersendiri.
Buku “5 tantangan abadi terhadap agama dan
jawaban islam terhadapnya” yang ditulis oleh Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad
Salahudin Ahmad, menghadirkan 5 pertanyaan mendasar beserta jawaban filosofis
untuk setiap pertanyaan. Setiap pertanyaan dan jawaban diletakkan dalam bab
tersendiri beserta kesimpulan akhir di tiap bab, yang berrati buku ini memiliki
5 bab di dalamnya. 5 pertanyaan yang dijawab pada tiap bab dalam buku ini ialah
:
1.
Benarkah tuhan itu ada ?
2.
Masuk akalkah keimanan kepada
tuhan ?
3.
Kalau Tuhan ada, kenapa ada
banyak keburukan di dunia ?
4.
Kalau agama benar, kenapa ada
banyak agama ?
5.
Apakah agama diperlukan bagi
moralitas ?
Setiap pertanyaan selalu didahului dengan
muqaddimah, mengenai hakikat pertanyaan yang dikemukakan dan bagaimana situasi
masyarakat yang sebenarnya dalam menghadapinya. Ini bisa dilihat pada halamanaman
21 sampai 24 dimana penulis buku ini menyampaikan bahwa semenjak dulu,
persoalan tentang keberadaan Tuhan merupakan pertanyaan paling fundamental dan
paling sering dilontarkan, namun kemudian muncullah gerakan yang menentang
keberadaan Tuhan yang umumnya berasal dari abad ke 17. Dari muqaddimah
tersebut, barulah penulis buku mengemukakan parameter-paramete tiap pertanyaan.
Dalam menjawab setiap pertanyaan, penulis buku
menggunakan jawaban yang filosofis yang didasarkan pada argument-argumen yang
kuat dari para ulama dan ilmuwan. Ulama dan ilmuwan yang dikutip argumennya pun
bukan hanya sebatas dari golongan Islam, tetapi juga dari golongan Barat
ataupun non Islam. Misalnya dalam argumentasi tentang wujud Tuhan. Selain
menyajikan argument dari golongan Islam seperti argumen kosmologis wujud
nisyaya Ibnu Sina ( halaman 34) dan argument kosmologis kalam yang digagas oleh
ulama seperti Al Farabi, Al Ghazali dan Ibnu Rusyd (halaman 32), penulis buku
juga mencantumkan argumen dari tokoh barat seperti argumen ontologism yang
dikembangkan oleh Anselmus (Halaman 35) dan argument kesadaran John Locke ( halaman 39). Dalam halaman ini penulis buku bersikap washatiyyah
(Pertengahan) dalam mengambil argument dari masingmasing tokoh Islam atau pun
Barat. Halaman ini mungkin dikarenakan ke lima pertanyaan filosofis tersebut
juga menjadi problem yang memerlukan jawaban bukan hanya dalam ranah Islam,
tetapi juga dalam ranah agama-agama lainnya, ataupun dalam ranah Barat
sekalipun.
Dalam bab dua, penulis berusaha menjawab
pertanyaan ‘masuk akalkah keimanan kepada Tuhan’ dengan mengajukan
argument-argumen mengenai hubungan antara Tuhan, sains, dan agama. Penulis buku
berpendapat bahwa bidang-bidang sains dan nalar tunduk kepada Tuhan. Ia menulis
pada halaman 120:
“Orang beriman memiliki alasan yang kuat untuk
mempercayai kesejalanan (kompatibilitas) antara Tuhan dengan sains dan nalar.
Bidang-bidang sains dan nalar tunduk kepada Tuhan. Entah dari sudut pandang
sains dan nalar, penjelasan menyeluruh yang terbaik mengenai semua yang ada di
alam semesta terletak dalam konsep tentang Tuhan.”
Pada bab ketiga, pertanyaan yang dikemukakan
ialah kalau ada tuhan, mengapa ada banyak keburukan di dunia. Di antara sekian
argumen yang dikemukakan untuk menjawab, penulis buku menerangkan bahwasanya
terkadang ketentuan Ilahi yang kita pandang buruk pada kenyataannya adalah baik
(halaman 138). Halaman ini tampak pada kisan nabi musa dan nabi khidir. Sewaktu
perjalanan mereka, nabi Khidir melubangi perahu milik pekerja, membunuh seorang
pemuda dan membangun kembali tembok yang hamper runtuh. Nabi musa yang ikut
bersama nabi Khidir gagal dalam memahami makna tindakan nabi Khidir yang
sekilas tampak buruk atau tidak jelas. Padahal dibalik setiap tindakan nya, ada
ketentuan Ilahi yang bekerja dengan tujuan yang jauh lebih baik daripada apa
yang bisa dipiirkan manusia.
Mengenai permasalahan tentang pluralisme agama
yang dibahas pada bab 4, penulis buku menolak paham pluralisme agama dengan
alasan dan pendekatan apapun. Agama yang tetap paling benar ialah Islam.
Sementara agama-agama lainnya seperti Hindu, Budha, termasuk agama ahlul kitab
seperti Yahudi dan Nasrani, kesemuanya mengalami inkonsistensi kitab suci dan
distorsi teks didalamnya (halamanaman 243). Hanya Islam lah yang memiliki
sumber dalam beragama yang masih terpelihara dan otentik. Dan pada akhirnya
pun, Allah menyerukan kepada ummat manusia baik muslim atau non muslim untuk
berpegang pada titik-titik persamaan (kalimah sawa) dalam mewujudkan satu agama
primordial berupa sikap tunduk kepada Tuhan sebagaimana tertulis pada surat al
Imran ayat 64 :
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka
katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah)". (QS Ali Imran (3): 64)
Pertanyaan kelima yaitu apakah agama diperlukan
bagi moralitas. Penulis buku berpendapat bahwa Tuhan merupakan sumber bagi
moralitas, maka dengan sendirinya agama pun diperlukan menjadi sumber bagi
moralitas. Adapun dalam Islam, perilaku moral dipandang sebagai bagian tak
terpisahkan dari pemenuhan tujuan atau maksud penciptaan, yakni sikap tunduk
dan patuh kepada Tuhan untuk menjadi khilafah Nya di muka bumi ini (halamanaman
303).
Kelima jawaban filosofis pada buku ini yang padat
terhadap tantangan-tantangan intelektual pada agama pada dasarnya bertujuan
untuk menyediakan sudut pandang Islam yang bersifat pengantar menyangkut
persoalan-persoalan umum berkaitan dengan Tuhan. Halaman ini lah yang menjadi
nilai lebih pada buku ini sehingga layak dimiliki. Menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang fundamental sebagai gerbang untuk mengenal konsep Tuhan secara lebih
lanjut dalam Islam. Selain itu bahasa yang digunakan dalam buku ini adalah
bahasa yang mudah dipahami oleh seluruh golongan masyarakat, baik golongan
intelektual ataupun non intelektual.
Terlepas dari itu semua, tetap saja buku ini
memiliki kekurangan. Diantaranya ialah ketiadaan biografi penulis buku yang
biasanya terletak pada halamanaman bagian akhir, sehingga para pembaca tidak
bisa mengenal latar belakang kehidupan penulis, atau latar belakang
intelektual. Untuk sebuah buku berisi wacana pemikiran dan filosofis seperti
ini, penting kiranya menyantumkan biografi penulis agar pembaca lebih bisa
menilai secara lebih objektf mengenai kandungan buku ini. Dalam halaman ini,
pembaca pun masih dibuat bertanya, siapa sebenarnya Saiyad Fareed Ahmad dan
Saiyad Salahuddin Ahmad, penulis buku ini. Ketiadaan biografi penulis buku ini
lah yang menjadi poin evaluasi dalam buku ini.