Analisis dan Kritik Metode Hermeneutika Al Quran
Muhammad Syahrur
Abstrak
Al
Quran sebagai kitab suci ummat Islam mempunyai peranan yang sangat sentral dan
penting bagi seluruh kaum muslimin, dan karena itulah untuk memahami dan
menelaah kandungan serta makna yang terdapat di dalam Al Quran membutuhkan
suatu ilmu khusus, yaitu tafsir. Namun belakangan ini, ilmu tafsir bukan
satu-satunya ilmu yang digunakan untuk menelaah kandungan Al Quran, muncul pula
cabang ilmu lain yaitu hermeneutika. Hermeneutika sendiri merupakan suatu
metode yang pertama kali muncul di Barat untuk menelaah dan mengkritisi
teks-teks umum, yang mana pada perkembangan selanjutnya digunakan juga untuk
menggali makna Bibel. Seiring mewabahnya arus liberalisasi pemikiran yang
digaungkan oleh Barat ke Islam, ummat Islam pun perlahan mulai mengaplikasikan
metode hermeneutika tersebut untuk mengkaji Al Quran. Salah satu dari pemikir
Islam yang menerapkannya ialah Muhammad Syahrur yang berasal dari Syiria.
Keyword
: Hermeneutika, Syahrur, Triodik, Qira’ah Muashirah.
A.
Latar Belakang Kehidupan Muhammad Syahrur
Muhammad
Syahrur dilahirkan pada 11 April 1938 di Solihiyah, Damaskus atau Syria. Adapun
nama aslinya adalah Muhammas Syahrur bin Daib, dan merupakan anak kelima di
keluarganya. Syahrur sendiri bisa dikatakan dilahirkan dalam keluarga yang
tidak begitu religius. Ayahnya sendiri, walaupun dia sendiri meruapakan Muslim,
bisa dikatakan cukup berpaham liberal, yang mana ia melihat bahwasanya
pengajaran nilai-nilai agama lebih rendah daripada pengajaran akhlaq dan moral.
Bahkan di dalam satu kesempatan, ayahnya mengatakan kepada Syahrur “ Bila kamu
hendak menghangatkan diri, maka nyalakanlah api, bukan nya membaca Al Quran”.
Kalimat yang dikatakannya ini mengindikasikan bahwasanya ayah Syahrur lebih
percaya kepada hal-hal yang bersifat rasional-empiris daripada hal-hal yang
bersifat mistis dan religius.
Syahrur
muda memulai pendidikannya di sekolah negeri dasar, kemudian melanjutkan
pendikan menengahnya di sekolah Abdur Rahman di Damaskus sampai menyelesaikannya
pada tahun 1957. Pada tahun 1959, ketika
Rusia menjalin kesepakatan dan memulai hubungan diplomatic dengan Syria,
Syahrur dikirim ke Saratov, sebuah daerah di dekat Moskow untuk belajar tentang
teknik sipil. Di Rusia inilah, Syahrur mengenal dan belajar tentang paham
Marxisme dan Komunisme yang menjadi landasan bagi pemerintahan disana. Disini
pula ia bertemu dan berkenalan dengan Ja’far Dak Albaab, yang kelak akan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap Syahrur, terutama dalam aspek studi
bahasa. Syahrur menamatkan pendidikannya di Universitas Teknik Moskow pada
tahun 1964, kemudian ia menikahi salah satu wanita Rusia dan kembali ke Syria.
Pada
tahun 1968, Syahrur kembali meninggalkan Syria menuju Jerman untuk melanjutkan
studi masternya dan doktornya dalam bidang mekanika dan teknik bagunan di
Universitas Dublin, sampai ia berhasil menyelesaikannya pada tahun 1972. Selama
masa studinya di Jerman ini lah, ia terpengaruh oleh filsafat Hegelian dan
pemikiran Alfred White Northead tentang filsafat proses.
Setelah itu, kembali ke Syiria dan mulai mengajar di bidang mekanika dan teknik
bangunan di Universitas Damaskus dari tahun 1972 sampai 1998. Selama masa
mengajarnya di universitas ini juga, Syahrur banyak berkenalan dengan
pemikir-pemikir Islam lainnya yang mengajar disana juga, yang bercorak
marxisme, seperti : Adonis, Yus al Hafiz, Alis Markuz dan lainnya. Selain
pekerjaannya sebagai dosen di Universitas Damaskus, Syahrur juga menjadi
insinyur dalam mekanika pembangunan, dimana ia terlibat dalam lebih dari 2000
bangunan di Syiria.
Walaupun
latar belakang pendidikan dan pekerjaannya yang nyaris tidak bersentuhan dengan
bidang agama, Syahrur tetap tertarik untuk melakukan studi dan penelitian
terhadap Islam. Adapun landasan dia dalam melakukan studi tentang agama didapat
dari beberapa filsafat, teori, ataupun pemikiran yang mempengaruhi dia, seperti
filsafat Hegelian saat dia belajar di Dublin, pemikiran Alfred White Northead
tentang filsafat proses, filsafat marxisme dan komunisme saat dia belajar di
Syiria, dan pengaruh dari temannya, Ja’far dak Al Bab. Yang disebut paling
terakhir ini mempunyai pengaruh sangat besar dalam Syahrur dalam aspek bahasa,
yang mana akan tertuang dalam buku magnum opus nya, Al Kitab wa Al
Quran, Qiraah Mu’asirah.
Kesemua pemikiran dan filsafat yang mempengaruhi
Syahrur tersebut berkumpul dan bercampur dalam pemikirannya, sehingga kemudian
melahirkan sebuah konsepsi pemikiran yang unik atau bisa dikatakan berbeda
dengan ajaran dan konsep di Islam dalam usahanya untuk melakukan studi tentang
agama, khususnya yang berkaitan dengan Al Quran. Selain itu, latar belakang
pendidikan Syahrur berupa teknik sipil dan bangunan, juga ikut mempengaruhi
penelitian dia tentang Islam, dimana ia melihat dan menggambarkan beberapa
konsep ajaran Islam layaknya rumus dan kurva-kurva matematika.
Dari
penelitian dan studinya dalam Islam, Syahrur menghasilkan beberapa buku yaitu :
1) Al Kitab wa Al Quran, Qiraah Mu’ashirah,
2) Nahwa Ushul Jadidah li Alfiqh Islami, Fiqh Mar’ah, 3) Al Islam wa Al Iman, Manzum Alqiyam, 4)
Tajfif Manafi Al Irhab.
B.
Perkembangan Hermeneutika dan Masuknya Dalam Islam
|
Dinamika penyampaian suatu teks dari penulis kepada pembaca inilah yang menjadi tajuk utama dalam hermeneutika |
Hermeneutika
dapat diartikan sebagai teori atau filsafat untuk menginterpretasikan suatu
makna. Pada perkembangan selanjutnya, hermeneutika menjadi tema atau objek
utama dalam ilmu-ilmu sosial, filsafat bahasa, atau kritik terhadap sastra.
Kata hermeneutika sendiri berasal dari bahasa Yunani,” Hermeneuin” yang berarti
tafsir, interpretasi atau penerjemahan. Kata hermeneutika juga berasal dari salah
satu dewa dalam mitologi Yunani yang bernama Hermes, dimana ia mengabdi pada
Zeus dengan tugasnya untuk menyampaikan pesan dan berita dari para dewa-dewa
kepada manusia.
|
Hermes |
Oleh karena itu, tugas Hermes bukan hanya sekedar menyampaikan
pesan tersebut, tetapi ia juga menerjemahkan mengelola pesan-pesan dari dewa
agar bisa dimengerti dan dipahami oleh bahasa manusia. Dari sini diketahui
bahwa hermeneutika mempunyai dua tugas utama : 1) Mengetahui makna dalam suatu
kata atau kalimat dan 2) Meletakkan makna baru atas kata atau kalimat tersebut
dalam suatu rumusan yang sistematis.
Sedangkan
perkembangan hermeneutika secara historis terbagi menjadi tiga fase, klasik,
pertengahan, dan modern. Fase klasik ialah dimana hermeneutika masih dianggap
hanya sebagai seni menginterpretasikan makna (art of interpretation) dari suatu
teks, sedangkan pengertian hermeneutika sebagai penerjemahan sudah muncul jauh
sebelum itu. Permulaan fase hermenutika pertengahan umumnya dianggap sejak
upaya pemberiaan makna atau interpretasi terhadap bible atau perjanjian baru,
pada dua tataran makna, tipologis
dan alegoris.
Upaya interpretasi ini menandakan bahwasanya suatu teks yang telah tertulis
pada masa yang lampau dapat dipahami kembali sesuai dengan konteks hari ini.
Sedangkan fase terakhir dalam perkembangan hermeneutika ialah hermeneutika
modern. Josef Bleicher membagi fase ini menjadi tiga aliran hermeneutika :
yang pertama ialah teori hermeneutika yang diusung oleh Freidrich Schleimacher
dan didukung oleh Emilio Betti, yang kedua ialah filsafat hermeneutika yang
diusung oleh Martin Heidegger dan Hans Georg Gadamer, dan yang terakhir ialah
hermeneutika kritis, yang diusung oleh Jurgen Habermas.
Betti
memandang hermeneutika sebagai sebuah auslegung (Interpretasi), yaitu bagaimana
mendapatkan sebuah bentuk penafsiran yang valid dan objektif.
Oleh karena itu, Betti memandang seorang penafsir harus menyelami alam
kehidupan penulis teks untuk mendapatkan makna yang objektif. Hal inilah yang
ditentang oleh aliran filsafat hermeneutik. Gadamer berpendapat bahawasanya
berbicara tentang intrepretasi atau penafsiran yang objektif adalah suatu omong
kosong. Seorang penafsir tidak mungkin bisa masuk ke dalam alam penulis teks
dengan terlepas dari ruang lingkup kesejarahannya (penafsir).
Bertolak
dari penolakan terhadap teori hermeneutika Betti, Gadamer mengajukan sebuah konsep mengenai hermeneutika
linguistik dialektis , yang mana berfokus kepada bahasa sebagai sebuah ontologi
dan dialektika.
|
Hans Georg Gadamer |
Gadamer berpandangan bahwasanya bahasa tidak bisa terlepas dari
pengalaman hidup orang, pemahamaman ataupun pemikirannya. Bahasa ialah landasan
dan sarana untuk mencapai pengalaman hermeneutika.
Maka, Gadamer berpendapat bahwasanya tujuan hermeneutika bukanlah menciptakan
sebuah metode penafsiran baru, ataupun menciptakan tatanan yang sistematis,
tetapi tujuannya ialah mencapai sebuah pemahaman yang benar melalui konsentrasi
dalam bahasa. Disamping itu, Gadamer juga menolak sistem tanda dalam bahasa.
Sistem tanda dalam bahasa menurutnya telah menghalangi makna sebenarnya dari
sebuah kata. Ia mengatakan bahwanya sebuah bahasa harus dipahami merujuk kepada
perkembangan sejarahnya, maknanya dan dan susunan gramatikalnya.
Kedua
aliran hermeneutika diatas yang saling bertentangan dan berseteru mewarnai
dunia perkembangan hermeneutika pada era modern. Namun seolah tidak cukup,
muncul lagi aliran baru hermeneutika di era modern yang diusung oleh Jurgen
Habermas dengan konsepnya hermeneutika kritis (Critical Hermeneutic). Konsep
hermeneutika kritis Habermas berawal dari mazhab Frankfurt, sebuah komunitas
intelektual di lingkungan institute fur sozialforschung, sebuah
universitas di kota Frankfurt Jerman. Misi gerakan ini ialah pemikiran kritis
dengan maksud memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat
industri sekarang dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan
manusia dan dalam kebudayaan. Namun pada perkembanganya, mazhab frankfut ini
mengalami kebuntuan dalam menegasikan filsafat bahasa dalam proses kritiknya.
Disinilah peranan Habermas. Ia mengkritisi rasio struktural diatas dengan
meletakkan unsur hermeneutika dalam rasio tersebut, yaitu rasio komunikatif (Comunicatif
Ratio).
Dinamika
perkembangan hermeneutika diatas sudah cukup menggambarkan, bagaimana
hermeneutika berawal dan berkembang dari era klasik hingga era modern sekarang
ini. Pada perkembangan selanjutnya, beberapa pemikir Islam juga menerapkan
hermeneutika dalam mengkaji makna dalam Al Quran. Sebut saja Nasr Hamid Abu
Zayd yang mengkaji Al Quran dimana ia melakukan pendekatan linguistik dan
sastra dalam menggali makna Al Quran. Atau pemikir lainnya seperti Farid Esack,
Muhammad Arkoun, Ali Harb dan lainnya. Mereka semua melakukan pendekatan
hermeneutika dalam mengkaji makna dari teks-teks Al Quran. Begitu pula dengan
Muhamad Syahrur, yang juga menerapkan konsep hermeneutika dalam mengkaji makna
Al Quran. Bila kita cermati, maka akan tampak bahwa pemikiran Syahrur dalam
bidang Hermeneutika memiliki kesamaan atau paling tidak sedikit banyak
terpengaruh dari dinamika hermeneutika diatas yang dicanangkan oleh beberapa
tokoh nya. Penolakan Syahrur terhadap teori sinonimitas dalam bahasa karena menurutnya
tiap kata memiliki makna nya sendiri yang dilatarbelakangi oleh sejarah kata
tersebut berkembang memiliki kesamaan dengan hermeneutika linguistik dialektis
yang dipaparkan oleh Gadamer seperti diatas.
C.
Studi Hermeneutika Al Quran Muhammad Syahrur
Setelah
paparan diatas mengenai latar belakang kehidupan dan pemikiran Muhamad Syahrur
dan dinamika kemunculan dan perkembangan hermeneutika hingga masuknya ke dalam
ranah pemikiran beberapa pemikir Islam modern, termasuk Muhammad Syahrur, maka
pada pembahasan kali ini akan menjelaskan inti dari kajian atau studi
hermeneutika Al Quran yang dilakukan Muhammad Syahrur, yang mana dalam hal ini
terdiri dari tiga bagian : latar belakang pemikiran hermeneutika Muhammad
Syahrur, Hermeneutika Syahrur dalam studi Al Quran, dan produk pemikiran
hermeneutika Al Quran Syahrur.
1. Landasan Pemikiran Hermeneutika Muhammad Syahrur
Pemikiran
hermeneutika Muhammad Syahrur sejatinya dipengaruhi dari berbagai aspek,
diantaranya : filsafat proses, metode historis linguistik, dana juga unsur-unsur
dari relativisme dan dialektika Hegel. Namun, dari semua itu, ada dua aspek
yang paling nampak dalam pemikiran Syahrur ialah filsafat proses yang
teraplikan dalam konsep triodik keadaaan awal-kondisi menjadi-kondisi jadi (Being-Progress-Becoming)
dan metode linguistik historis
Filsafat Proses
Filsafat
proses yang menjadi landasan pemikiran hermeneutika Syahrur ini tampak ketika
ia membicarakan tentang konsep triodik nya yaitu keadaan awal, keadaan menjadi,
dan keadaan jadi atau dalam bahasa
arabnya al kaynunah, as sayrurah dan as soyruroh. Filsafat
proses berpendapat bahwa segala yang ada dalam dunia ini selalu berhubungan
satu sama lainnya, dan semuanya selalu dalam keadaan berkembang dan dinamis
tanpa pernah berhenti. Adapun
yang pertama kali mengungkapkan filsafat proses ini ialah Alfred White
Northead. Oleh Syahrur, filsafat proses ini ia terjemahkan menjadi suatu konsep
triadik seperti diatas yang mana menurutnya salah satu unsur dari konsep
triadik tersebut tak bisa berdiri sendiri dan akan selalu berhubungan dengan
unsur lainnnya.
Sebagai kondisi awal atau Being, Syahrur berpendapat
bahwasanya yang dimaksud Being ialah segala wujud yang material. Dan
sebagaimana diungkapkan diatas, bahwasanya segala sesuatu yang dalam keadaan being
ini akan menuju keadaan selanjutnya, yaitu keadaan menjadi atau progress
dan keadaan jadi atau becoming.
Dalam hal ini Syahrur meletakkan segala sesuatu yang ada di dunia ini dalam
posisi Being termasuk dalam pembahasan tentang Al Quran, hal ini berarti
bahwasanya Al Quran beserta maknanya akan selalu berubah dan berkembang
mengikuti perkembangan zaman. Memang Syahrur tetap beranggapan bahwasanya teks
Al Quran ialah teks yang tetap dan abolut, yang mana langsung berasal dari
Allah, tetapi makna Al Quran selalu berubah mengikuti perkembangan zaman serta
bagaimana kondisi masyarakat yang melingkupinya dan interaksi masyarakat
terhadap teks Al Quran tersebut. Pada
tahap ini maka posisi Al Quran sudah berubah dari yang Being menjadi Progress.
Setelah mengalami progress, maka hasil yang dihasilkan ialah kajian akan
makna Al Quran yang benar-benar baru, yang mana ia mengikuti perkembangan dan
tuntutan zaman. Dari sini pula lah, maka akan mengasilkan dimensi keilmuan baru
dalam ilmu kalam, fiqh, dan cabang ilmu lain sebagainya, yang mana mengikuti
perkembangan zaman dan tuntutan dan kebutuhan hidup manusia.
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwasanya Syahrur berpandangan bahwa segala
sesuatu yang ada pada zaman yang lalu tidak dapat disamakan dengan hari ini,
karena semua yang ada di dunia ini akan selalu berubah dan bergerak sesuai
dengan konsep triadik. Termasuk dalam hal ini Al Quran dan makna nya yang juga
akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan interaksi manusia dengan nya.
Hal ini sebagaimana ditulis Syahrur dalam bukunya :
"Abad ketujuh tentunya berbeda dengan abad ke sepuluh, dua puluh,
atau abad empat puluh. Manusia pada abad-abad ini tentunya juga berbeda satu
sama lainnya dalam hal pengetahuan, kebiasaan, tantangan kehidupan, politik,
ekonomi, dan dinamika keilmuan mereka. Masing-masing dari mereka akan
meingterpretasikan at tanzil (Al Quran) sesuai dengan taraf keilmuan mereka dan
kondisi mereka. Maka sebagian dari mereka akan menemukan apa yang tidak orang
lain temukan, begitupun sebaliknya".
Metode Linguistik Historis
Selain
menggunakan filsafat proses sebagai landasan studi hermeneutika Al Qurannya,
Syahrur juga berangkat dari metode linguitik historis untuk menganalisa makna
di dalam Al Quran. Disini Syahrur melihat bahwasanya setiap kata memiliki latar belakang
historisnya sendiri. Hal inilah yang ia gunakan untuk menganalisa struktur kata
dan kalimat dalam Al Quran. Hal ini
sebagaimana diakui oleh Dr. Ja’far dak Al Bab, dalam pengantar buku “ Al
Kitab wa Al Quran, Qiraah Mu’ashirah” :
"Syahrur berangkat dari metode linguisitk historis dalam studinya
terhadap bahasa, yang mana ia gunakan untuk menganalisa struktur dalam suatu
bahasa."
Dalam
menggunakan metode linguistik historisnya,
Syahrur mengambil refrensi dari Mu’jam Maqoyis al Lughoh milik Abu Ali
Al Farisi, selain itu ia juga terinspirasi dari studi tentang bahasa yang
dilakukan oleh Ibnu al Jinni, dan Imam al Jurjani. Dari itu semua, ia sampai kepada beberapa poin
kesimpulan yaitu:
1. Bahwasanya disiplin ilmu bahasa selalu dalam keadaan dinamis, selalu
bergerak mengikuti alur zaman dan kondisi masyarakat.
2. Adanya keterikatan atau hubungan antara pikiran manusia dan bahasa. Hal ini
berimplikasi bahwa setiap makna dari kata berasal dari pemikiran manusia dan
konteksnya sendiri.
3. Menolak adanya sinonimitas dalam bahasa.
Beranjak dari beberapa poin diatas, maka Syahrur menolak
persamaan makna antara Al Kitab, Al Quran, Al Furqon, dan At Tanzil, dimana
menurutnya masing-masing dari istilah tersebut memiliki maknanya tersendiri.
Disini Syahrur memberi makna dan definisi masing-masing dari setiap kata
tersebut. Hal ini berbeda dengan apa yang disepaki oleh para ulama’, yang mana
kesemua kata tersebut hanyalah nama lain
untuk Al Quran.
Dialektika Materialisme
Materialisme
ialah suatu paham yang memandang bahwasnaya di dunia ini tidak ada hal selain
materi. Dengan kata lain paham materialisme ini menolak hal-hal yang bersifat
metafisik, seperti Tuhan, ruh, jiwa dan sebagainya, ataupun hal-hal yang
berasal darinya seperti wahyu Tuhan, ataupun syari’at yang dibawakan oleh para
nabi-nabi.
Adapun dialektika adalah suatu konsep filsafat yang dicanangkan oleh Martin
Hegel yang mana tujuan nya ialah mencari asal muasal suatu wujud.
Muhammad
Syahrur menggunakan metode dialektika materialism ini ketika dia membahas
tentang dialektika materi dan manusia, dalam bab ke dua dari buku Al Kitab
wa Al Quran Qira’ah Muashirah. Disini Syahrur berpandangan bahwasanya
sumber pengetahuan manusia ialah dari alam yang bersifat materi, bukan dari
hal-hal lainnya yang bersifat non materi, atau metafisik.
D. Hermeneutika Syahrur Dalam Studi Al Quran
Sebagaimana
disampaikan diatas bahwasya Syahrur menolak adanya sinonimitas di dalam bahasa,
yang mana hal tersebut merupakan aplikasi lebih lanjut dari konsep triadik
diatas. Dalam hal ini Syahrur membedakan term antara Al Kitab, Al Quran, Al
Furqon dan At Tanzil. Syahrur memberikan batasan makna antara satu term diatas
dengan term lainnya, dimana masing-masing memiliki konsep dan arti tersendiri.
Padahal menurut ulama tafsir sendiri pun, keempat term tersebut hanyalah nama
lain dari Al Quran dan merujuk kepada satu makna dan konsep yang sama. Menurut
para Ulama Tafsir, perbedaan antara satu term dengan lainnya, hanyalah
perbedaan dalam nama, bukan makna. Disinilah titik awal pemikiran hermeneutika
Syahrur berasal. Maka untuk lebih lanjutnya, akan dibahas mengenai perbedaaan
antara ke empat term tersebut menurut Syahrur.
a.
Al Kitab
Menurut
Syahrur Al Kitab adalah definisi umum dari apa yang diwahyukan oleh Allah Swt
kepada nabi Muhammad Saw, yang mana di dalam Al Kitab ini juga mencakup konsep
tentang Al Quran dan Al Furqon. Berdasarkan ayat yang terdapat di dalamnya,
Syahrur membagi Al Quran menjadi dua bagian, al muhkam dan al
mutasyabih, yang mana pengklasifikasian ini berdasarkan pada ayat :
الَّذِىْ
أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ
وَ أُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةُ وَابْتِغَاءَ
تَأْوِيْلَهُ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلَّا اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى
الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلُّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَرُ
إِلَّا أُولُوْ الْاَلْبَابُ
Berdasarkan
ayat ini, Syahrur membagi ayat Al Quran menjadi dua bagian, ayat muhkam dan
mutasyabih. Ayat muhkam atau yang dia sebut juga dengan Ummul Kitab ialah
ayat-ayat yang membahas selain tentang masalah aqidah, sedangkan ayat
mutasyabih ialah ayat yang membahas tentang masalah, ibadah, akhlaq dan hukum,
dimana makna dari ayat-ayat tersebut dapat menyesuaikan dengan perkembangan
masyarakat dan waktu.
Di ayat mutasyabih inilah terjadinya proses relatifisme makna, yang mana akan
melahirkan pandangan dan konsep baru dalam studi makna dan ayat-ayat Al Quran.
Hal ini sebagaimana tampak pada upaya syahrur menjelaskan tentang konsep hijab
wanita, yang akan dijelaskan pada pembahasan nanti. Di sini pulalah Syahrur
mengaplikasikan konsepnya tentang filsafat proses dan konsep triadiknya, dimana
semua hal di dunia ini akan selalu bergerak dan berubah mengikuti perkembangan
waktu.
b.
Al Quran
Syahrur
membedakan makna antara al Kitab dan al Quran, yang mana perbedaan ini ia
landaskan pada penyebutan kata Al kitab dan Al Quran dalam Al Quran itu
sendiri. Di dalam surat Al Baqarah ayat dua tertulis :
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa
Sementara itu,
di dalam surat Al baqarah ayat seratus delapan puluh lima tertulis :
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
Syahrur melihat
bahwasanya penyebutan kata Al Kitab pada ayat yang pertama diposisikan sebagai
petunjuk bagi orang yang bertaqwa, sementara penyebutan kata Al Quran
diposisikan sebagai petunjuk bagi ummat manusia (Hudan li an naas). Hal
ini berarti bahwa Al Quran lebih bersifat global, dimana ia ditujukan bagi
seluruh ummat manusia, baik yang muslim ataupun tidak. Sementara itu Al Kitab
lebih bersifat khusus, dimana ia ditujukan untuk orang yang bertaqwa kepada
Allah saja, atau ummat muslim. Dari sini Syahrur mengambil kesimpulan
bahwasanya Al Kitab dan Al Quran ialah dua hal yang berbeda.
c. Al
Furqon
Sebagaimana Ad
Dzikr, Syahrur berpendapat bahwasanya Al Furqon sendiri tidak sama dengan Al Kitab, melainkan ia hanyalah bagian
Ummu al Kitab atau Ar Risalah yang mana Al Furqon sendiri ialah wahyu Tuhan
yang diturunkan kepada nabi Musa A.S. Syahrur mendasari pendapat ini
berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 53 :
øÎ)ur $oY÷s?#uä ÓyqãB |=»tGÅ3ø9$# tb$s%öàÿø9$#ur öNä3ª=yès9 tbrßtGöksE ÇÎÌÈ
dan (ingatlah), ketika Kami berikan
kepada Musa Al kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar
dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk.
Lebih lanjut
lagi, Syahrur berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Al Furqon ini ialah
‘sepuluh perintah’ yang diberikan kepada nabi Musa A.S. ‘Perintah sepuluh’ ini
pun sudah termuat di dalam Al Quran pada surat Al An’am ayat 151-153.
Berdasarkan
uraian diatas, penulis sampai pada beberapa kesimpulan sejauh ini :
- Syahrur memberikan pengklasifikasian dan makna baru dari
masing-masing istilah Al Kitab, Al Quran, Al Furqon dan At Tanzil. Bagi Syahrur
Al Kitab ialah sebuah istilah umum bagi apa yang diwahyukan oleh Allah SWT
kepada nabi Muhammad SAW yang mana tercakup di dalamnya Al Quran, Al Furqon dan
Ad Dzikr. Berdasarkan ayatnya, Al Kitab dibagi menjadi dua bagian yaitu kitab
muhkan dan kitab mutasyabih. Kitab muhkam atau Sab’ul Matsanu bersifat mutlak
dan tetap (Qot’i Tsubut). Sementara itu kitab mutasyabih bersifat
relatif. Dengan kata lain interpretasi makna kitab mutasybih ini
selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Dengan ini, maka sebenarnya konsep
kitab mutasyabih yang diajukan Syahrur ini merupakan aplikasi dari penerapan
konsep triadik, dimana segala hal akan selalu mengalami perubahan dan
perkembangan. Pun begitu, Syahrur melihat bahwasanya interpretasi dan
penafsiran Al Quran pada zaman dahulu tidak bisa lagi diterapkan pada hari ini,
oleh karena itu ia membutuhkan suatu penafsiran yang menyesuaikan dengan
pembaharuan hari ini.
- Syahrur menolak adanya sinonimitas dalam bahasa. Ia melihat
bahwasanya setiap kata sudah memiliki maknanya tersendiri dan tidak mungkin ada
dua kata yang memiliki makna yang sama. Beranjak dari sini pula, ia menolak
adanya kesamaan makna antara istilah Al Kitab, Al Quran, Al Furqon dan Ad
Dzikr. Setiap dari istilah tersebut memiliki definisi dan maknanya tersendiri.
- Syahrur melihat bahwasanya sebuah kata tidak terlahir dari suatu
konteks tertentu. Oleh karenanya makna menjadi fleksibel, ia akan selalu
mengikuti perkembangan zaman dan kondisi. Oleh karena itu juga, ia melihat
makna yang terkandung dalam Al Quran bersifat relatif, dimana ia mengikuti
perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang melingkupinya.
D.
Produk
Pemikiran Hermeneutika Al Quran Muhammad Syahrur
Konsep pemikiran hermeneutika Al Quran Muhammad Syahrur
seperti dipaparkan diatas telah melahirkan suatu produk pemikiran tertentu
dalam studi keislaman, khususnya yang berkaitan dengan fiqh. Beberapa hal yang
terlahir dari konsep hermeneutika Syahrur ialah:
1. Teori Limit
(Nazriyah al Hudud)
Pada
hakikatnya, teori limit ialah aplikasi lebih lanjut dari konsep triadik yang
dicanangkan Syahrur. Teori limit Syahrur sendiri ialah sebuah metode baru untuk
memahami Al Quran berdasarkan konteks sekarang. Hal ini ia lakukan agar Al
Quran sendiri tidak bersifat statis, tetapi dinamis mengikuti perkembangan dan
tuntutan zaman. Teori limit Syahrur melihat bahwasanya setiap hukum Syariah
dalam Islam memiliki dua batas, yaitu batas atas dan batas bawah (al Hadd al
A’la dan al Hadd al Adna).Diantara kedua garis batas tersebut akan
terbentuk suatu kurva matematis, dan disitulah suatu Syari’ah yang telah
bersifat mutlak qat’i, bisa menjadi relatif zonni. Syahrur sendiri
mengungkapkan bahwa dengan adanya teori limit ini akan memungkinkan terbukanya
ruang baru untuk ijtihad dan penafsiran baru, selama tidak menyimpang dari batasan
landasan hukum Allah.
Adapun Syahrur
melandasi teori limitnya dari ayat Al Quran :
ù=Ï? ßrßãm «!$# 4 ÆtBur ÆìÏÜã ©!$# ¼ã&s!qßuur ã&ù#Åzôã ;M»¨Zy_ Ìôfs? `ÏB $ygÏFóss? ã»yg÷RF{$# úïÏ$Î#»yz $ygÏù 4 Ï9ºsur ãöqxÿø9$# ÞOÏàyèø9$# ÇÊÌÈ ÆtBur ÄÈ÷èt ©!$# ¼ã&s!qßuur £yètGtur ¼çnyrßãn ã&ù#Åzôã #·$tR #V$Î#»yz $ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ
Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir
didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah
kemenangan yang besar.Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
|
Contoh kurva matematis teori limit Syahrur |
Beberapa contoh
dari aplikasi teori limit ini ialah hukuman untuk para pencuri. Islam sendiri
pun sudah menetapkan hukuman bagi seorang pencuri ialah dipotong tangannya. Disini
Syahrur melihat bahwasanya hukuman potong tangan berada dalam posisi batas atas
(al Hadd al A’la). Dengan demikian, ia melihat bagi seorang pencuri
tidak harus dipotong tangannya, bisa saja hukumannya lebih rendah daripada itu,
tergantung dengan nilai barang yang ia curi.
Contoh lain ialah ketika ia menetapkan batasan aurat batasan berpakaian bagi
wanita. Syahrur melihat bahwasanya aurat bagi wanita sesungguhnya hanya dua,
yaitu dada dan alat kelaminnya. Disini kedua hal tersebut menempati posisi batas
bawah (al Hadd al Adna). Dengan demikian seorang wanita hanya
berkewajiban menutup kedua area
tersebut, sedangkan kewajiban menutup seluruh tubuh, sebagaimana disyariatkan
oleh Islam sendiri hanyalah hal yang terbentuk dari konstruk masyarakat. Apabila
teori limit Syahrur ini diaplikasikan dalam berbagai hal khususnya yang
berkaitan dengan ranah fiqh, maka hal ini akan berdampak pada konstruksi
besar-besaran dalam syariah Islam. Hal-hal yang telah memiliki hukum tertentu
seperti haram atau halal, wajib atau sunnah, maka melalalui teori limit ini
akan berubah. Kerelatifan syariah Islam pun akan menjadi suatu keniscayaan.
2. Pembatasan
Aurat Bagi Wanita
Dalam masalah
batasan aurat bagi manusia, Syahrur memberikan batasan yang rancu, terlebih
untuk batas aurat bagi wanita. Sebagaimana teori limit, Syahrur juga memberikan
batas atas dan bawah untuk aurat manusia. Bagi pria, batas atasnya ialah alat kelamin, dubur, dan kedua
selangkangan, sedangkan batas bawahnya ialah yang selain itu. Untuk wanita sendiri
batasan atasnya auratnya sama dengan pria, dengan tambahan kedua dadanya, dan
batasan bawahnya ialah selain itu.
Disini Syahrur jelas telah mendekonstruksi Syariah Islam dalam hal batasan
aurat. Dalam Islam sendiri pun batasan aurat bagi wanita ialah seluruh tubuhnya
kecuali muka dan telapak tangan, tanpa mengenal istilah batas atas atau batas
bawah.
|
Islam sendiri pun sudah memberikan batasan menutup aurat yang jelas bagi wanita |
Menurut ia
juga, batasan aurat bagi wanita yang sekarang ialah suatu hal yang terbentuk
oleh konstruk masyarakat, bukan hal yang ditetapkan secara pasti oleh syariah
Islam. Ia merujuk kepada awal mula Islam muncul. Menurutnya, ada perbedaan cara
berpakaian bagi wanita arab dahulu. Bagi wanita yang menyandang status budak,
maka ia tidak menutupi seluruh tubuhnya, sedangkan bagi wanita yang menyandang
status merdeka, maka ia menutupi seluruh tubuhnya. Setelah Islam datang, maka
cara berpakaian wanita yang merdeka dijadikan landasan untuk menetapkan batasan
menutup pakaian bagi seluruh wanita Islam.
Hal ini menurut Syahrur merupakan suatu hal yang terbentuk oleh konstruk
masyarakat, bukan ditetapkan oleh Islam sendiri.
Bahkan lebih
jauh lagi, melalui Syahrur
memperbolehkan untuk melihat aurat orang lain. Hal ini ia dasari dari
interpretasi dia mengenai ayat Al Quran :
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ ( wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷r& Írr& úüÏèÎ7»F9$# Îöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# úïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàt 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøä `ÏB £`ÎgÏFt^Î 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah Hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.
Kata “ Yagdudna
min Absoorihinna” menurut Syahrur mengandung indikasi bahwasanya seseorang
hendaklah menahan sebagian dari pandangannya dan kemaluannya agar tidak
ditunjukkan. Hal ini bukan berarti bahwa seseorang harus menutupi seluruh
batasan auranya, tetapi hanya sebagiannya saja. Hal ini berkaitan dengan rasa
malu dan apa yang dikatakan Syahrur dengan “ as suluk al ijtima’i” atau
etika sosial. Dengan kata lain, menurut Syahrur sah-sah saja bila seorang
wanita menunjukkan auratnya dan bagian tubuhnya, selain aurat yang ditetapkan
oleh batasan maksimal seperti diatas, kepada khalayak umum, selama ia tidak
merasa malu atau keberatan.
E. Kritik
Atas Hermeneutika Al Quran Muhammad Syahrur
Dari pemaparan
diatas, dapat ditarik beberapa poin kesimpulan dari pemikiran hermeneutika
Syahrur dalam studi Al Quran. Pertama, Syahrur melandasi pemikiran nya dari
konsep triadik, yang mana ia meletakkan segala sesuatu di dunia ini, termasuk
Al Quran, dalam konsep ini. Hal ini berimplikasi bahwa Al Quran akan selalu
berada dalam proses dinamis, dan bersifat relatif, karena ia akan selalu mengikuti
perkembangan zaman. Kedua, dalam mendasari kajian linguistiknya terhadap Al
Quran, ia menolak adanya konsep sinonimitas di dalam bahasa, termasuk dalam Al
Quran sendiri. Dari sinilah ia menolak adanya perbedaan makna dan definisi
antara istilah Al Kitab, Al Quran, Al Furqon, dan Ad Dzikr, dimana ia
memberikan penjelasan dan konsep tersendiri untuk masing-masing istilah itu.
Dalam Al Kitab misalnya, dimana ia membagi ayat-ayat dalam Al Kitab menjadi dua
bagian, yaitu ayat muhkam dan mutasyabih. Bilamana ayat muhkam sudah berisi
ketetapan yang pasti, ayat mutasyabih menurutnya berisi hal-hal yang bersifat
reratif dan dinamis, diman terbuka ruang untuk manusia untuk
meinginterpretasikannya secara bebas. Konsep pemikiran Syahrur diatas tentu
saja tidak bisa dibenarkan semuanya, dimana dalam hal ini membutuhkan sebuah
tindakan analisis dan kritik terhadapnya.
Latar belakang
akademik Syahrur yang tidak ada sangkut pautnya dengan ranah studi Islam
ataupun bahasa ternyata membawa dampak bahwa ia kurang menguasai kedua aspek
terebut, terutama dalam aspek bahasa. Yusuf Soidawi, dalam bukunya “ Baidotu
ad Diik” mengungkan kritik secara terperinci dan sistematis mengenai
kesalahan-kesalahan bahasa dalam buku “Al Kitab wa Al Quran” nya
Syahrur. Diantara kesalahan yang ia ungkapkan ialah bagaimana Syahrur telah
salah dalam mengambil dan memaknai asli kata Al Kitab, dimana menurut Yusuf
Soidawi sendiri dalam bukunya dalam memberikan definisi dan asli kata Al Kitab
Syahrur tidak menguasai sejarah dan perkembangan bahasa Arab itu sendiri.
Di bagian lain, Syahrur juga memabagi ayat Al Quran dalam dua bagian utama :
ayat muhkam dan mutasyabih. Menurut Yusuf Yusuf Soidawi sendiri,
pengklasifikasian ini tidak didasari oleh ilmu nahwu dan sorf yang kuat, dimana
Syahrur telah salah memahami susunan makna ayat ini dari aspek tatanan
bahasanya.
Selain beberapa
kritikan Yusuf terhadap ketidak cakapan Syahrur dalam kajian bahasa Arab, Yusuf
juga menyampaikan kritik kerasnya terhadap penolakan Syahrur akan penolakan teori
sinonimitas. Menurut Yusuf, penolakan Syahrur akan sinonimitas dalam bahasa
merupakan hal yang tidak berdasar. Sebaliknya, Yusuf dengan lantang mengatakan
akan adanya sinonimitas dalam bahasa, bukan hanya dalam bahasa arab saja,
tetapi juga dalam semua bahasa. Hal ini menurutnya ialah sebuah keniscayaan di
dalam sebuah bahasa. Yusuf sendiri memberikan contoh dalam bukunya beberapa
kata yang memiliki makna yang sama. Misalnya kata as saif dan al
hisam yang keduanya merujuk kepada satu makna yaitu pedang. Kemudian ada
juga kata ‘uqul dan albab yang keduanya bermakna sama yaitu orang
yang berakal. Contoh lain terdapat pada kata da’a dan naada yang
keduanya juga bermakna sama yaitu memanggil, serta banyak lagi contoh lainnya.
Secara
keseluruhan, kesalahan Syahrur dalam studi hermenutika Al Quran nya berdasarkan
dari kedangkalan ia dari sisi kecakapan ia dalam aspek bahasa. Latar belakang
pendidikan ia yang berasal dari jurusan teknik tidak memiliki sangkut pautnya
dengan studi keislalaman, apalagi studi akan bahasa Arab. Memang ia sempat
mempelajari secara otodidak akan studi bahasa bersama gurunya Dr. Ja’far al
bab, tapi itu semua tidaklah cukup. Ketidakcakapan Syahrur dalam aspek bahasa
tercermin dalam bukunya Al Kitab wa Al Quran, dimana Yusuf Soidawi
menemukan lebih dari 80 kesalahan Syahrur dalam melakukan analisis studi bahasa
dalam proyek hermenutika Al Qurannya disini. Selain itu penerapan konsep
triadiknya terhadap posisi Al Quran, dimana ia memposisikan Al Quran sebagai
hal yang bersifat relative-dinamis, tidak bisa dibenarkan begitu saja. Salah
satu karakter Al Quran sendiri ialah kebenaran nya di semua waktu dan kondisi.
Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa kebenaran Al Quran bersifat relatif dan
dapat dimaknai ulang, apalagi sampai mengubah hukum dan ketentuan, seperti
pendapat Syahrur diatas, tentu saja tak bisa dibenarkan.
F. Penutup
dan Kesimpulan
Perkembangan
yang pesat dalam ranah studi dan akademika sekarang, khususnya yang berkembang
di Barat, ternyata membuat beberapa pemikir dan civitas akademika dari ummat
Islam silau, dimana kemudian mereka mengambil beberapa hal dari perkembangan
keilmuan dari Barat untuk kemudian mereka terapkan dalam kajian studi Islam.
Tetapi yang patut digarisbawahi disini ialah, harus adanya sikap kritis dan
hati-hati ummat Islam dalam mengambil beberapa aspek keilmuan di Barat, karena
tidak semua hal yang diambil dari sana dapat diterapkan dalam studi Islam.
Perbedaan akan nilai-nilai ajaran serta konsep keilmuan menjadi hal yang mendasari
tindakan ini. Seperti telah diketahui bahwa dinamika kehidupan dan keilmuan di
Barat dipenuhi dengan aspek-aspek relativisme, liberalisme, dan menjunjung
tinggi kebebasan berfikir tanpa dibatasi norma-norma agama.
Studi
hermeneutika Al Quran yang dilakukan Syahrur menjadi contoh dari hal diatas.
Dalam bukunya Al Kitab wa Al Quran, terlihat jelas bagaimana ia melakukan
pendekatan hermeneutika linguisitik dalam mengkaji Al Quran itu sendiri. Sesuai
dengan konsep triadik yang ia canangkan, ia mendudukkan Al Quran sebagai suatu
objek yang dinamis-relatif, akan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman.
Begitu pun dengan pemikiran dia dalam aspek linguistik nya, dimana ia menolak
adanya sinonimitas dalam bahasa, yang berimbas pada upaya Syahrur dalam mendefinisikan
Al Kitab, Al Quran, Al Furqon dan Ad Dzikr, dimana kesemua definsi tersebut
sebagai justifikasi dia akan kerelatifan dan kedinamisan Al Quran.
Memang tak bisa
dinafikkan bahwa dinamika intelektual dan akademik di Barat sedang berkembang
pesat pada beberapa dekade ini, dan merupakan suatu hal yang lumrah bilamana
ummat Islam mengambil mengambil beberapa pembelajaran dari sana. Namun satu hal
yang perlu diperhatikan ialah perlunya tindakan hati-hati dan sikap kritis
dalam memilah-milah hal mana yang bisa diambil dan diterapkan dalam Islam, dan
hal yang mana juga yang harus dinafikkan, sehingga dapat menghindari adanya
kerancuan dalam dinamika intelektual dan studi Islam. Wallahu a’lam.
Refrensi
Ab Abdullah, Amin,
Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual ( Yogyakarta: Fakultas
Syari’ah Press dan Forum Studi Hukum Islam, 2004)
Affanah, Jawwad
Musa Muhammad, Al Quran wa Auhamu al Qiraah Mu’ashirah ( Oman: Daarul Basyar li an Nasyr wa at Tauzi’: 1994)
Aji Nugroho,
Muhammad, Hermeneutika Muhammad Syahrur, Telaah Tentang Teori Hudud (Tanpa Tahun dan Penerbit)
Armas, Adnin, Metodologi
Bibel Dalam Studi Al Quran, (Jakarta: Gema Insani, Cetakan Kedua 2007)
Soidawi, Yusuf ,
Baidotu ad Diik ( Penerbit al
‘Awunihay)
Syahrur, Muhammad , Nahwa Ushul al Jadidal Lil Fiqh al Islami (Damaskus, al Ahali li at Thiba’ah wa an
Nasyr wa at Tauzi’, 2000)
Utsman, Mahmud,
A Fikr al Maadi al hadits wa Mauqif al Islam Minhu ( Kairo: Daarul al
Islamiyyah li at Thiba’ah wa an Nasyr : 1984)