Sejarah Aksara Jawa
Aksara Jawa Carakan dan Pasangan |
Aksara
Jawa, merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai harganya.
Bentuk aksara dan seni pembuatannya pun menjadi suatu peninggalan yang patut
untuk dilestarikan. Tak hanya di Jawa, aksara Jawa ini rupanya juga digunakan
di daerah Sunda dan Bali, walau memang ada sedikit perbedaan dalam
penulisannya. Namun sebenarnya aksara yang digunakan sama saja.
Aksara Jawa berjumlah 20 yang terdiri dari: Ha
Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Ta Nga dinamakan
Aksara Legena. Aksara Jawa Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf
pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf “utama” (aksara murda, ada
yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal
depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai
pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda
pengatur tata penulisan.
Sekarang
aksara jawa yang ada adalah aksara jawa modern. namun perlu diketahui bahwa
penulisan aksara jawa mengandung filosofi serta aturan. menulis aksara jawa
dianjurkan diawali dari bawah kemudian keatas sesuai karakter huruf jawa
tersebut, sedangkan filosofinya adalah melambangkan penghormatan anak terhadap
orang tua sesuai dengan perkembangan umur. Aksara Legena merupakan aksara Jawa
pokok yang jumlahnya 20 buah. Sebagai pendamping, setiap suku kata tersebut
mempunyai pasangan, yakni kata yang berfungsi untuk mengikuti suku kata mati
atau tertutup, dengan suku kata berikutnya, kecuali suku kata yang tertutup
oleh wignyan,cecak dan layar. Tulisan Jawa bersifat Silabik atau
merupakan suku kata. Sebagai tambahan, di dalam aksara Jawa juga dikenal huruf
kapital yang dinamakan Aksara Murda. Penggunaannya untuk menulis nama gelar,
nama diri, nama geografi, dan nama lembaga.
Aksara
Jawa ternyata juga mengalami peralihan. Ada Aksara Jawa Kuno dan Aksara Jawa
baru. Namun sulit untuk mengetahui secara pasti kapan masa lahir, masa jaya,
dan masa peralihan aksara Jawa kuno dan aksara Jawa baru, Dikarenakan juga
masih sedikit orang yang melakukan penelitian tentang hal ini," jelas Dra.
Sri Ratna Sakti Mulya, M. Hum, Dosen Sastra Jawa UGM. Diprediksi Aksara Jawa
Kuno ada pada jaman Mataram Kuno. Aksara Jawa Kuno juga mirip dengan Aksara
Kawi. "Jika mau diurut-urutkan, sejarah Aksara Jawa ini berasal dari
cerita Aji Saka dan Dewata Cengkar," tambahnya.
Pada
bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah
garis), seperti aksara Hindi. Namun demikian, pengajaran modern sekarang
menuliskannya di atas garis.
Sejarah Aksara Jawa
Secara
garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi
itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama
berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut
sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar
pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah
.
1.
Konsepsi secara tradisional.
Konsepsi
secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka
berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. diceritakan bahwa Sembada dan Dora
ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan
sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu
kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di
Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur
sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora
sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji
Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk
menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang
ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak
ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.
Akibatnya,
terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya
meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan
Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya.
Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya,
Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan
itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :
Ha-na-ca-ra-ka
Da-ta-sa-wa-la
Pa-dha-ja-ya-nya
Ma-ga-ba-tha-nga
Sastra
Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh
VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :
Dora
goroh ture werdineki
(Dora bohong ucapannya yakin)
Sembada
temen tuhu perentah (Sembada jujur
patuh perintah)
Sun
kabranang nepsu ture (Ku
emosi marah ucapannya)
Cidra
si Dora iku (Ingkar si
Dora itu)
Nulya
Prabu Jaka angganggit
(Lalu Prabu Jaka Menganggit)
Anggit
pinurwa warna (Anggit dibuat
macam)
Sastra
kalih puluh (Sastra dua
puluh) Kinarya warga lelima(Dibuat warga lelima)
Wit
Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki (Dari
Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya)
Pindho
Da-ta-sa-wala (Dua
Da-ta-sa-wala)
Yeku
sawarga ping tiganeki (Yaitu
sewarga ketiganya)
Pa-dha-ja-ya-nya
ku suwarganya (Pa-dha-ja-ya-nya
sewargane)
Ma-ga-ba-tha-nga
ping pate (Ma-ga-ba-tha-nga
keempatnya)
Iku
sawarganipun (itulah
sewarganya)
Anglelima
sawarganeki (Lima-lima
satu warganya)
Ran
sastra sarimbangan (Nama sastra
sarimbangan)
Iku
milanipun (Itulah
sebabnya)
Awit
ana sastra Jawa (Mulai ada
huruf Jawa)
Wit
sinungan sandhangan sawiji-wiji (Mulai
diberi harakat satu per satu)
Weneh-weneh
ungelnya (Macam-macam
lafalnya)
Selain
Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih
merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu
sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam
Praduga
Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam
sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di
sebelah timur Demak, seperti berikut :
Mangka
wonten ratu saking bumi tulen,
arane
Prabu Kacihawas.
Punika
wiwitaning ratu tulen
mangka
jumeneng ing lurah Medangkamulan,
sawetaning
Demak,
sakiduling
warung.
Demikianlah
ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen
ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan
warung.
Di
kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari
aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk
persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah
aksara yang ada sekarang (Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan
penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut
sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka
dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya
bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang
menemui ajalnya secara tragis.
Praduga-praduga
di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari
persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas
kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda
yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu
dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis
masing-masing.
2.
Konsepsi secara Ilmiah
Kelahiran
pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan
perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai
alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti
bahasa ragam lisan pada umumnya, sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh
lingkungan serta perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal,
berupa aksara diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali
setelah orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu
etnik Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih berlaku
tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan
untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap
berlangsung.
Contoh
dibawah ini dikutipkan dari The History of Java Jilid I, karya Raffles (
1982 : 370 ).
Ada
juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut:
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang
berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang
mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga
unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan ).
Da-Ta-Sa-Wa-La
berarti manusia setelah diciptakan
sampai dengan data ” saatnya ( dipanggil ) ” tidak boleh sawala ” mengelak ”
manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan
menjalankan kehendak Tuhan.
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi
hidup ( makhluk ). Maksdunya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh, cocok ”
tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan
keutamaan. Jaya itu ” menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan
menang-menangan ” sekedar menang ” atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis
kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk
menanggulanginya.
Penutup
Aksara
jawa, yang merupakan salah satu peninggalan budaya dari bangsa ini, harus tetap
kita pertahankan, karena mengandung nilai yang tak terhingga. Sebagai generasi
muda sekarang, tidak sepantasnya kita membuang, atau melupakan salah satu
peninggalan budaya yang berharga ini.
Dalam perkembangannya, aksara jawa yang
memiliki 20 huruf ini, mengalami beberapa kali tahap perubahan dan peralihan
dari waktu ke waktu. Namun sulit untuk memastikan kapan terjadinya peralihan
aksara ajawa dari bentuk yang dahulu atau kuno ke bentuk sekarang yang modern.
Aksara jawa yang sekarang digunakan adalah bentuk aksara jawa yang modern.
Secara
konsepsi dasarnya, ada dua konsep mengenai asal usul aksara jawa ini. Yang
pertama berasal dari konsepsi tradisional yang mengatakan bahwa aksara jawa
berkaitan dengan legenda Aji Saka ang menciptakan aksara jawa ini. Ia berasal
dari Medangkumulan, yang walaupun kisah ini adalah fiktif, diprediksi tempat
ini berada di Timur Demak Yang kedua adalah konsepsi secara ilmiah yang
menyatakan bahwa aksara jawa erat kaitannya dengan penggunaan bahasa jawa yang
diucapkan oleh masyrakat.
Terlepas
dari dua macam konsepsi dasar mengenai asal aksara jawa, ia adalah warisan
budaya bangsa yang harus tetap kita pertahankan sampai kapanpun. Di tengah
gempuran budaya asing yang dengan derasnya masuk ke negara kita, sedikit demi
sedikit masyarakat umum pun mulai melupakan budaya mereka sendiri. Disinilah
peranan kita dibutuhkan, untuk tetap menjaga warisan budaya bangsa yang
berharga ini, yang mana salah satunya ialah aksara jawa ini.