Senin, 09 Desember 2013

Mengenal Budaya Korupsi Di Indonesia

Mengenal Budaya Korupsi Di Indonesia

Korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti halnya penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia. Ungkapan tersebut terasa tepat untuk menggambarkan kondisi yang tengah dihadapi Bangsa Indonesia saat ini. Korupsi ibarat penyakit yang terlampau sulit untuk disembuhkan. Korupsi telah menjalar disetiap sendi kehidupan dan seakan telah menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari. Betapa tidak, dari ke hari kita selalu dijejali dengan berbagai pemberitaan negatif dari berbagai pejabat pemerintahan yang terjerat kasus korupsi. Mulai dari yang paling terkenal, kasus bank century, proyek wisma atlet, kasus hambalang, impor daging sapi, sampai yang terbaru ini, ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar yang juga terlibat kasus korupsi. Keadaan seperti ini menjadi cerminan bagaimana kotornya sistem pemerintahan di Indonesia. Budaya korupsi yang terjadi seakan telah menjadi sesuatu yang tidak akan pernah terlepas dari Indonesia. Mulai dari zaman orde lama,disusul orde baru, hingga sekarang, selalu ada kasus korupsi yang mewarnainya.

Secara etimologi, kata korupsi diambil dari bahasa latin yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi sendiri adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Korupsi secara sederhana dapat dipahami sebagai tindakan “perampokan” terhadap uang Negara, yang tentu saja bersumber dari Rakyat.

Sejatinya, praktek korupsi di Indonesia sudah mulai terjadi sejak masa orde lama atau masa pemerintahan presiden Soekarno. Praktek korupsi ini bertambah marak pada masa orde baru yang dipimpin presiden Soeharto. Akibatnya, karena praktek korupsi ini sudah sedemikian mendarah daging selama periode yang cukup lama ini, praktek korupsi sulit dihilangkan bahkan hingga masa sekarang.

Menurut Mantan pimpinan KPK Bibit S Rianto, ada lima hal penyebab korupsi. Hal pertama adalah sistem birokrasi yang masih korupsi. Hal yang kedua adalah sistem hukum yang belum kuat dan tegas. Sejak zaman orde lama hingga sekarang, telah disusun berbagai peraturan dan undang-undang yang menangkut tindak pidana korupsi, tapi kenyataannya, kegiatan korupsi masih berjalan hingga sekarang, karena memang peraturan yang disusun belum kuat. Hal ketiga adalah penghasilan yang besar. Semakin kaya seorang pejabat, Bibit menilai semakin banyak pejabat tersebut korupsi. Untuk hal yang ke empat pengawasan yang tidak efektif. Ada berbagai lembaga pemerintahan yang mengawasi kinerja pejabat agar tidak korupsi dan tetap bersih, tapi karena kinerjanya belum maksimal, maka praktek korupsi tetap berjalan.Penyebab korupsi yang terakhir adalah kurangnya taat hukum sudah menjadi budaya. Sudah menjadi kebiasaan butuk masyarakat Indonesia yang tidak taat hukum, baik dari masyarakat kelas bawah hingga atas.

Saking maraknya budaya korupsi di Indonesia, hingga menempatkannya sebagai negara dengan tingkat korupsi tertiggi di dunia nomor 5 setelah negara Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, dan  Kamerun. Tentu saja praktek korupsi yang terjadi membawa dampak buruk di berbagai bidang. Tertinggalnya pembangunan ekonomi di Indonesia menjadi salah satu dampak yang paling terlihat. Harga-harga kebutuhan hidup yang semakin melunjak juga krisis moneter yang sempat melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 juga salah satu imbas dari maraknya praktek korupsi pada masa orde baru. Menurunnya kepercayaan publik pada pemerintahan yang bersih juga salah satu akibat dari adanya korupsi pada pemerintahan. Praktek korupsi juga menimbulkan ketidakstabilan politik dan kehidupan sosial.

Menghadapi praktek korupsi yang sedemikian marak di Indonesia sekarang, ada beberapa langkah yang bisa dijadikan solusi untuk memberantas praktek korupsi, atau paling tidak mengurangi nya.

1.      Menanamkan pendidikan mental dan moral kepada masyrakat umum, khususnya pada pejabat pemerintahan. Hal ini penting untuk menanamkan karakter yang jujur dan bersih dalam tiap individu. Peran agama pun juga dibutuhkan disini.
2.      Pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup pada semua taraf masyarakat.
3.      Memperbaiki institusi dan lembaga penegak hukum untuk memberantas korupsi. Dalam hal ini pemerintah Indonesia telah memiliki KPK (Komisi Pemberantas Korupsi), yang sampai saat ini kinerjanya cukup baik, namun masih perlu ditingkatkan.
4.      Membangun sistem pemerintahan yang demokratis.
5.      Membangun akses kontrol dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
6.      Menindak dengan tegas setiap oknum yang terlibat tindakan korupsi

Dengan beberapa langkah diatas, diharapkan pemerintahan Indonesia dapat terbebas dari tindak pidana korupsi, dan menjadi pemerintahan yang bersih, adil, dan bermartabat.


Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad Abduh

Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad Abduh

A.                Pendahuluan

Sejarah telah mencatat bahwasanya Islam mencapai masa kejayaan pada masa dinasti abbasiyah dan juga dinasti utsmaniyyah. Pada masa dinasti Abbasiyah, Islam berkembang dengan pesat, mulai dari berkembangnya berbagai bidang keilmuan yang pesat, perluasan wilayah kerajaan, penaklukan berbagai daerah, perbaikan sistem pemerintahan, dan berbagai bidang lainnya. Setelah runtuhnya dinasti abbasiyah oleh penyerangan bangsa Tartar, kemajuan ummat Islam dilanjutkan oleh dinasti Utsmaniyyah ( 1281-1924). Bahkan di masa dinasti ini terjadi penaklukkan kekaisaran Byzantium atau Romawi oleh sultan Muhammad al Fatih pada tahun 1453. Penaklukan ini sekaligus menandakan betapa gemilangnya kemajuan Islam pada waktu itu.

Namun seiring berjalannya waktu, ummat Islam mengalami kemunduran dan ketertinggalan dari bangsa-bangsa lainnya, utamanya bangsa Barat. Di saat Barat telah mencapai masa renaissance dan meraih kemajuan dan keunggulan dalam berbagai bidang, ummat Islam malah mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya ialah erosi nilai-nilai Islam dan ketidak adaan perhatian dari pihak pemerintah terhadapnya, berkembangnya tradisi taqlid di antara ummat Islam, dan faktor-faktor lainnya.

Situasi ini mendorong ummat Islam untuk melakukan perubahan dan pembaharuan, untuk mengejar ketertingalan dari bangsa lainnya. Disini tampillah tokoh-tokoh seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Ahmad Khan dan tokoh lainnya yang mengusung gagasan modernisasi Islam. Makalah ini bermaksud untuk mengkaji secara lebih jauh mengenai gagasan pembaharuan pemikiran Islam yang diusung oleh Muhammad Abduh.

B.                 Biografi Muhammad Abduh

Muhammad Abduh dilahirkan di suatu desa di Mesir Hilir pada tahun 1265/1849 H. Ayahnya bernama Abdullah Hasan Khairullah, dan ibunya adalah Junaidah. Ia lahir dan menjadi dewasa dalam lingkungan desa di bawah asuhan ibu ayahnya yang tak ada hubungannya dengan didikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang kuat.[1]

Kemampuan baca tulisnya ia dapatkan di rumah. Ia mampu menghafal Al Quran semenjak usia muda remaja. Pada tahun 1279 H/1863 M, orang tuanya menyerahkan ia ke syaikh Mujahid, yang masih terhitung kakak ibunya di Tanta, untuk memperhalus bacaanya di masjid Al-Ahmadi.

Ilmu-ilmu dasar keislaman ia dapatkan pada tahun 1281 H/ 1865 M. Karena kecewa dengan metode pengajaran yang disampaikan oleh gurunya, dia pun meninggalkan tempat belajarnya untuk kemudian kembali ke Muhallat Nashr. Akhirnya pada tahun 1282 H/1866 M dia pun menikah dengan gadis yang sekampung dengannya.

Baru empat puluh hari semenjak pernikahannya, dia dipaksa oleh ayahnya untuk kembali ke Tanta meneruskan studiny. Lagi lagi ia menolak permintaan ayahnya dan melarikan diri ke kanisah Urin, tempat tinggal kerabat ayahnya. Di sinilah Muhammad Abduh mendapatkan apa yang diharapkannya. Syeikh Darwis, yang masih kerabat ayahnya, banyak berjasa dalam mengantarkan Abduh ke gerbang kesuksesannya. Dijelaskannya Abduh tentang hal-hal yang berkaitan dengan bacaan, sehingga memotivasi Abduh untuk terus belajar. Atas motivasi pamannya ia pun melanjutkan studinya ke AL Azhar, sebuah lembaga pendidikan tinggi yang mempertemukannya dengan ulama-ulama terkemuka di Mesir[2]. Di sana juga dia mempelajari ilmu-ilmu yang tidak diajarkan di Al Azhar seperti falsafah, matematika, teologi dan lainnya yang secara puas dan mendalam dia dapatkan dari syeikh Jamaluddin Al Afghani.

Pada tahun 1877 M, ia berhasil menyelesaikan studinya di Al Azhar dengan nilai yudisium peringkat kedua, Alim. Setelah lulus ia mengajar pada almamaternya dan mengajar pula di Darul Ulum dan di rumahnya sendiri. Kegiatan lainya selain mengajar ialah menulis artikel untuk beberapa media masa, seperti Al-Ahram. Kehandalanya dalam bidang menulis ikut mengantarkannya untuk menjadi pemimpin redaksi pada Al Waqaiq Al Mishriyyah, lembaran negara yang telah terbit pada masa Muhammad Ali dengan Al Tahthawi sebagai pemimpin redaksinya yang pertama.

Disamping mengajar dan menjadi pemimpin redaksi, Muhammad Abduh juga mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan politik untuk menentang kebijakan pemerintah setempat.Hal ini membuatnya menerima hukuman tahanan kota di Mahalla Nashr, kampung halamannya sendiri selama setahun.

Keterlibatannya dalam pemberontakan Urabi Pasha menyebabkan dia diasingkan ke luar negeri selama 3 tahun. Atas undangan Jamaluddin al Afghani, dia pergi ke Prancis untuk bergabung dengannya menerbitkan majalah Al Urwat Al Wutsqa. Setelah 18 bulan, ia kembali ke Beirut dan mengajar di sekolah Sulthaniyyah. Disanalah ia menulis Risalah Tauhid dan menerjemahkan Al Radd ala Ad Dahriyyin, buku tulisan Jamaluddin Al Afghani.

Atas izin Khadewi Taufik, ia kembali ke Kairo, namun tak diizinkan mengajar di Al Azhar. Sebagai gantinya dia diangkat menjadi hakim pada pengadilan negeri yang kelak mengantarkannya untuk menjadi penasehat mahkamah tinggi. Setelah itu ia diangkat menjadi mufti Mesir, dan juga menjadi anggota Majlis Syura (1899), dewan legislatif Mesir yang waktu itu masih muda usianya. Dan jabatannya sebagai anggota legislatif tersebut dipegangnya sampai dia wafat pada hari selasa, 11 Juli 1905[3].

C.    Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Abduh

1.      Analisis Sebab Mundurnya Ummat Islam dan Perlunya Membongkar Kejumudan

Menurut analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ummat islam ini disebabkan oleh faktor eksternal, seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat muslim, dan faktor internal, yaitu situasi yang diciptakan kaum muslimin sendiri.

            Menurut Muhammad Abduh bangsa Eropa telah memasuki fase baru yang bercirikan peradaban yang berdasarkan ilmu pengetahuan, seni, industri, kekayaan dan keteraturan, serta organisasi politik baru yang berdasarkan pada penaklukan yang disangga oleh sarana baru, seperti melakukan perang, dan didukung oleh senjata yang mampu menyapu bersih banyak musuh. Mereka dianggap sebagai agresor, karena berusaha merebut negeri bangsa lain. Mereka tidak patut memerintah masyarakat muslim karena berbeda agama dan masyarakat muslim tak layak tunduk kepada mereka, sekalipun seandainya mereka menegakkan keadilan. Prinsip mereka yang tinggi tidak sesuai dengan sikap mereka terhadap rakyat yang ditaklukkan. Orang Mesir menderita karena percaya begitu saja kepada orang asing tanpa bisa membedakan mana yang menipu dan mana yang tulus, mana yang benar dan mana yang berdusta, mana yang setia dan mana yang pengkhianat. Dalam pertemuan dengan seorang wakil pemerintah di Inggris, Muhammad Abduh ditanya bagaimana pendapatnya tentang  keadaan kebijakan Mesir dan Inggris di sana, maka ia menjawab:
“Kami, bangsa Mesir dari Partai Liberal, pernah percaya kepada liberalisme dan simpati Inggris. Kini kami tidak lagi percaya karena fakta lebih kuat dibandingkan dengan kata-kata. Kami lihat sikap leberal anda hanyalah untuk anda sendiri, simpati anda kepada kami seperti simpatinya serigala kepada domba yang akan disantapnya[4].”

Adapun faktor internal adalah faktor yang disebabkan oleh ummat islam sendiri. Yang dimaksud disini adalah berkembangnya paham Jumud di kalangan ummat Islam. Dalam kata jumud terkandung arti membeku, keadaan statis, tak ada perubahan. Karena dipengaruhi paham jumud ummat Islam tidak menghendaki perubahan, ummat Islam berpegang teguh pada tradisi.Sikap ini kemudian dibawa ke dalam tubuh ummat Islam oleh orang-orang yang bukan Arab dan kemudian dapat merampas puncak kekuasaan politik dunia Islam. Begitu pun adat istiadat mereka dan paham animisme yang turut mempengaruhi ummat Islam. Selain itu mereka berasal dari bangsa yang tak mementingkan akal seperti yang dianjurkan dalam Islam.[5]

Menurut Muhammad Abduh, ini adalah bid’ah , yang akan membuat ummat Islam lupa akan ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya. Bid’ah-bid’ah inilah yang akan mewujudkan masyarakat Islam yang jauh menyeleweng dari masyarakat islam yang sesungguhnya. Disini dia memandang, ummat Islam harus kembali kepada ajaran-ajaran asli mereka, dan karena zaman dan suasana sekarang telah berubah, maka ajaran-ajaran asli tersebut perlu disesuaikan dengan keadaan zaman sekarang. Adapun ajaran yang perlu disesuaikan bukanlah dalam bidang tauhid, karena menurutnya bidang itu merupakan bidang yang sudah pasti. Yang harus disesuaikan adalah bidang mu’amalah ( hidup kemasyarakatan)[6].

Untuk menyesuaikan dasar-dasar itu dengan situasi modern perlu diadakan interpretasi baru, dan untuk itu perlu diadakan ijtihad.

2.      Perlunya Ijtihad
Sejak akhir abad ke 4 H, ummat Islam meyakini bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Kenyataan ini telah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama. Muhammad Abduh yang memang menyadari bahwa masyarakat dari masa ke masa selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman, tentu saja tidak menerima kenyataan tersebut. Karenanya, menurut Muhammad Abduh, pintu ijtihad tidak boleh ditutup, selamanya pintu ijtihad harus dibuka.

Ijtihad menurut pendapatnya bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu diadakan. Tetapi hanya orang-orang yang memenuhi syarat yang diperlukan yang boleh melakukan ijtihad. Adapun yang tak memenuhi syarat harus mengikuti pendapat mujtahid yang ia setujui fahamnya.

Ijtihad ini dijalankan langsung pada Al Quran dan hadits, sebagai sumber asli dari ajaran Islam. Pendapat para ulama ataupun ijma’ mereka tak termasuk karena ijma’ mereka tak mempunyai sifat ma’sum.

Maka dengan sendirinya, taklid kepada ulama’ lama tak perlu dipertahankan, bahkan mesti diperangi karena taklid inilah yang membuat ummat Islam berada dalam kemunduran dan tak dapat maju[7].

Pendapatnya tentang pembukaan pintu ijtihad dan pembrantasan taklid, berdasar pada kekuatan akal. Yang mana dalam hal ini berkaitan dengan konsep tauhidnya, yang tertulis dalam bukunya ‘ Risalah Tauhid’.

3.      Konsep Tauhid dan Penggunaan Akal Pikiran.

Menurut Muhammad Abduh, tauhid ialah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat wajib tetap padaNya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepadaNya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada diriNya,juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakini kerasulannya, meyakinkan apa yang wajib ada pada diri mereka, apa yang boleh dihubungkan (Nisbah) kepada diri mereka dan apa  yang terlarang menghubungkan kepada diri mereka.[8]

    Intisari ajaran Islam menurut Muhammad Abduh adalah, percaya kepada keesaan Tuhan seperti yang ditetapkan oleh akal dan didukung oleh Al-Qur’an. Menurut Muhammad Abduh, dalam Islam ada ajaran untuk menjunjung tinggi akal Dalam Al Quran juga banyak terdapat banyak ayat-ayat yang menggugah akal. Disini Muhammad Abduh tampak mengagungkan akal. Di dalam buku nya Risalah Tauhid, ia bahkan menulis :
Keyakinan yang wajib kita pegang ialah, bahwa agama Islam adalah agama tauhid, bukan agama yang terpecah belah dalam kepercayaan-kepercayaan itu. Akal adalah pembantunya yang paling utama, dan naql ( Al Quran dan Sunnah) merupakan sendi-sendinya.
Ia (Al Quran)  menganjurkan kepada kita untuk melakukan penyelidikan dengan menggunakan akal, kepada benda-benda alam yang terdaoat di sekitar kita, menemnus rahasia-rahasi alam itu yang sekedar ingin dicapai,sehingga timbul keyakinan terhadap apaapa yang telah dianjurkan kita untuk menyelidikinya[9].

Bila kita melihat pendapat Abduh terkait masalah akal, maka sekilas memiliki kesamaan dengan mazhab mu’tazilah, yang juga mengagungkan akal daripada naql. Namun menurut Abduh sendiri, dia mengaku sebagai pengikut metode salaf yang tidak menafsirkan hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan, sifat-sifatnNya, dan Alam gaib.

4.      Ilmu Pengetahuan Modern

Ilmu pengetahuan modern yang datang dari Barat, menurut Muhammad Abduh, tidaklah bid’ah sebagaimana yang selama ini diyakini oleh ummat Islam. Ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada sunnatullah dan tidak bertentangan dengan Islam, karena juga berasal dari Allah[10].

Selanjutnya Muhammad Abduh menandaskan bahwa Islam bila dipahami dengan benar akan dapat menerima segala bahasan ilmiah. Bahkan Islam masih menurut Muhammad Abduh, lebih dulu memiliki toleransi untuk dapat menerima ilmu pengetahuan daripada Nasrani. Selain itu Islam dianggap penyebab tegaknya semangat ilmiah di Eropa pada abad ke 16 M[11].

5.      Perbaikan Pendidikan Modern di Al Azhar.

Sebagai konswekensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan, ummat islam harus mementingkan tentang ilmu pendidikan. Ide pembaharuan pendidikan Al Azhar yang diinginkan Muhammad Abduh barangkali muncul karena kondisi minim yang dilihatnya pada saat belajar di universitas tersebut. Ketika dia belajar di AL Azhar, dia tidak menemukan ilmu-ilmu fardhu kifayah sehingga untuk mendapatkannya dia harus pergi mencari llmu tersebut di luar Al Azhar. Lawatannya ke Eropa selama beberapa waktu dan kejumudan yang dirasaannya di masjid Al Ahmady, tanta waktu ia belajar, nampaknya juga berperan dalam memunculkan ide pembaharuannya di Al Azhar.

Langkah-langkah yang diambilnya dalam membenahi Al Azhar paling tidak berkisar pada beberapa hal. Pertama, pembatasan kurikulum. Kedua, ujian tahunan dengan beasiswa bagi mahasiswa yang lulus. Ketiga, penyeleksian buku-buku yang baik dan bermanfaat. Keempat, tempo mata kuliah yang primer lebih panjang daripada yang hanya sekunder. Kelima, penambahan mata kuliah yang terkait dengan ilmu pengetahuan modern.[12]

D.    Pengaruh Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Abduh

Pembenahan yang dilakukan Abduh terhadap sistem pendidikan di Al Azhar sama halnya dengan melakukan pembaharuan di seluruh dunia, hal ini karena mahasiswa-mahasiswa yang belajar di Al Azhar berasal dari seluruh dunia.

Dari Indonesia pun tercatat pendirian organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Al Irsyad juga punya keterkaitan langsung dengan ide-ide Abduh. K.H Ahmad Dahlan dan Ahmad Syurkati, dua ulama yang dikenal sebagai pendiri kedua organisasi diatas, adalah termasuk para ulama’ yang pernah berkenalan dengan ide-ide pembaharuan Abduh di Mesir

E.     Kesimpulan dan Penutup

Tidak diragukan lagi, gagasan yang dilontarkan oleh Muhammad Abduh terkait pembaharuan Islam sangat banyak berpengaruh dalam perkembangan Islam abad ini. Pendapat dan ajaran-ajaran Abduh mempengaruhi dunia Islam pada umumnya terutama dunia Arab melalui karangannya sendiri ataupun murid-muridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha, Kasim Amin, Farid Wajdi, Tantawi Jauhari, ataupun kaum intelek atasan Mesir seperti Muhammad Husein Haykal, Abbas mahmud, Ibrahim A kadir, dan sa’ad Zaghlul[13].

 Selain itu, ia juga membuka kembali pintu-pintu Ijtihad yang telah tertutup, gerakan pembaharuan ini juga memotivasi dan mendorong tokoh-tokoh lainnya di berbagai negara untuk turut mengadakan gerakan yang serupa.



Daftar Refrensi
Abduh, Muhammad, Risalah Tauhid, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, cetakan ketujuh, 1979
Arsalan, Al Amir Syakib, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang.
Fahal, Mukhtar dan Aziz, Achmad Amir, Teologi Islam Modern, Surabaya, Gitamedia Press, 1999.
Murodadi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang, Penerbit Karya Toha Putra, 1997
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Penerbit bulan Bintang, cetakan kedua, 1982





[1] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan ( Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1982) hal 59.
[2] Muktafi Fazal dan Achmad Amir Aziz, Teologi Islam Modern (Suarabaya, Gitamedia Press, 1999) hal 16
[3] Ibid, hal 18.
[4]  Ali Rahnema,. Pioneer of Islamic Revival. Diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung, Mizan, 1998, hal 41-42.
[5] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan ( Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1982) hal 62.
[6] Ibid, hal 63
[7] Ibid, hal 64
[8] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid ( Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1979) hal 36
[9] Ibid, hal 56
[10] Muktafi Fazal dan Achmad Amir Aziz, Teologi Islam Modern (Suarabaya, Gitamedia Press, 1999) hal 20
[11] Ibid, hal 21
[12] Ibid, hal 21
[13]   Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan ( Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1982) hal 68.