MENIMBANG ISU FEMINISME DAN KESETERAAN GENDER
BAB
I. PENDAHULUAN
Paham feminisme dan kesetaraan gender semakin hangat dibicarakan di
berbagai bidang sekarang. Mulai dari ranah akademik, pemerintahan, hingga
sampai ranah politik. Dalam ranah pemerintahan misalnya, sekarang ini sedang
hangat-hangat nya dibahas mengenai RUU (Rancangan Undang-undang) kesetaraan
gender, yang mana sejauh ini sudah diagendakan untuk masuk dalam program
legislasi nasional (Prolegnas) 2013. Walaupun menuai banyak pro dan kontra dari
masyarakat, RUU in itetap dipertahankan realisasinya oleh pihak pemerintah.[1]
Dalam ranah pemilihan calon legislatif untuk daerah-daerah pun , harus
ditentukan persentase jumlah anggota dari perempuan. Begitu pula di berbagai institusi
pendidikan pun marak bermunculan banyak pusat studi gender atau pusat studi
wanita yang berusaha untuk mengusung paham feminisme dan kesetaraan gender ini.
Terlebih lagi paham ini juga telah merasuki
ranah Islam. Sehingga kedudukan pria dan wanita yang telah diatur sedemikian
rupa dalam Islam pun kembali didekonstruksi dengan masuknya paham ini.
Hukum-hukum syari’ah dan hal yang dianggap tak adil oleh mereka pun kembali
dipertanyakan dan diperdebatkan. Menurut mereka, hurum syari’ah tersebut telah
mendiskriminasikan perempuan dan merendahkannya.
Padahal sejatinya, paham feminisme dan
kesetaraan gender ini tidak bisa diterapkan dalam dunia Islam. Gagasan ini sebenarnya
berasal dari kontruk masyarakat Barat postmodern, yang mana misi utamanya
adalah mengembangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai
bidang.Kesetaraan menjadi persoalan besar di Barat karena dalam sejarahnya,
kaum perempuan selalu ditindas dan dimarjinalkan.[2]
Ini
berbeda dengan Islam. Wanita dalam Islam diperlakukan dengan terhormat dan
bermartabat serta mempunyai kedudukan sendiri yang telah disesuaikan dengan
kapabilitasnya sebagai seorang wanita. Kedatangan Islam sendiri telah mengangkat
martabat dan memperjuangkan hak-hak wanita yang sebelumnya tertindas,
diperbudak, dianggap fitnah, tidak diinginkan kelahirannya dan seterusnya dalam
kondisi masyarakat pra jahiliyyah. Setiap wanita dalam Islam diberi tugas dan
aktifitas sesuai peran dan kodrat kemampuannya, tanpa merendahkannya. Wanita
juga menjadi salah satu pilar yang menjadi penyokong kuatnya suatu keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Al-Quran juga menerangkan hal tersebut, banyak
ayat didalamnya yang memuliakan wanita, dan menjelaskan bahwa posisinya sama
dengan laki-laki.[3]
BAB II
A. Sejarah dan
Perkembangan Gerakan Feminisme
Secara harfiah, istilah feminis berasal dari bahasa latin
fei-minus. Fei artinya iman, dan minus kurang, jadi feminus
artinya kurang iman. Wanita di barat, sejarahnya, memang diperlakukan seperti
manusia yang kurang iman.[4]
Dalam masyarakat Barat sendiri, gerakan feminisme timbuk sebagai reaksi
ketidakpuasan wanita yang diperlakukan secara tak adil dalam berbagai bidang. Mereka
menganggap bahwa dominasi laki-laki telah memarginalkan perempuan.
Dalam agama di barat pun, kedudukan wanita sudah
dimarginalkan oleh dominasi laki-laki. Paparan berikut ini menggambarkan
bagaimana bibel, kitab suci Kristen, memandang wanita:
1.Kejahatan laki-laki lebih baik daripada kebajikan
perempuan, dan perempuanlah yang mendatangkan malu dan nista (Sirakh 42:14).
2.Setiap keburukan hanya kecil dibandingkan dengan
keburukan perempuan, mudah-mudahan ia ditimpa nasib orang berdosa (Sirakh 25:19)
3.Derajatnya di bawah laki-laki dan harus tunduk seperti
tunduknya manusia kepada Tuhan (Efesus 5:22). Dalam hal ini tidak ada perbedaan
teks Alkitab berbahasa Arab dan Indonesia.
4.Karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus
adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. (Efesus 5:23)
5.Permulaan dosa dari perempuan dan karena dialah kita
sekalian mesti mati (Sirakh 25:24)
Beberapa ayat diatas dan ayat-ayat lainnya yang berisi
kandungan yang sama, dipakai oleh beberapa golongan sebagai landasan teologis
untuk menjustifikasi anggapan bahwa laki-laki berada diatas perempuan[5]
Begitu pun dengan tokoh-tokoh pemikir yang ada, mulai
dari Plato dan Aristoteles di masa Pra Kristen, hingga masa Thomas Aquinas dan
Nietschze, perempuan memang tak pernah dianggap setara dengan kaum laki-laki.
Wanita dianggap seperti budak dan anak-anak yang tak berdaya [6]
Jika ditelusuri pula, gugatan feminisme berasal dari
kerancuan Barat dalam memahami keadilan. Dalam The New Oxford Dictionary of
English, keadilan diartikan sebagai tindakan kualitas yang adil dan rasional.
Sedangkan rasional dalam kamus ini diartikan sebagai tindakan yang berdasar
dengan logika atau akal. Makna seperti
ini menimbulkan pemahaman bahwa keadilan yang berdasarkan pada pertimbangan
logika manusia.
Kaum feminis di Barat umumnya menganggap Mary
Wollstonecraft (1759-1797) sebagai nenek-moyang mereka. Lewat tulisannya yang
sangat terkenal, A Vindication of the Rights of Woman . ia mengecam
berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi
perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan harus dibolehkan
bersekolah dan memberikan suaranya dalam pemilihan umum (suffrage). Wanita
tidak boleh lagi menjadi burung di dalam sangkar. Mereka mesti dibebaskan dari
kurungan rumah-tangga dan ‘penjara-penjara’ lainnya. Menurutnya, berbagai
kelemahan yang terdapat pada wanita lebih disebabkan oleh faktor lingkungan,
bukan ‘dari sono-nya’. Dari dia, gagasan mengenai feminisme dan kesetaraan
gender berkembang hingga ke se antero Eropa dan Asia.[7]
Selain
hak pendidikan dan politik, para aktivis perempuan itu juga menuntut reformasi
hukum dan undang-undang negara supaya lebih adil dan tidak merugikan perempuan.
Di lingkungan kerja, mereka mendesak supaya pembayaran gaji, pembagian kerja,
penugasan dan segala macam pembedaan atas pertimbangan jenis kelamin (gender-based
differentiation) dihapuskan sama sekali. Karyawan tidak boleh dibedakan
dengan karyawati. Semuanya harus diberikan peluang, perlakuan dan penghargaan
yang sama. Pemerintah diminta mendirikan tempat-tempat penitipan dan pengasuhan
anak. Agenda emansipasi berikutnya adalah bagaimana membebaskan kaum wanita
dari ‘penjara kesadaran’nya, mengingatkan wanita bahwa mereka tengah berada
dalam cengkeraman kaum lelaki, bahwa mereka hidup dalam dunia yang dikuasai
laki-laki (male-dominated world). Konon hanya dengan cara ini perempuan
dapat membebaskan dirinya dari segala bentuk opresi, eksploitasi dan
subordinasi.
B.
Dampak Dari Feminisme
Berkembangnya paham feminisme tentu saja membawa dampak dan implikasi tersendiri, baik dalam ranah sosial dan publik ataupun dalam ranah Islam. Dampak yang ditimbulkan pun bukan dalam artian yang positif, melainkan negatif.
Masuknya gagasan feminisme ke dalam ranah publik, telah
merombak dan mendekonstruksi tatanan yang selama ini telah berlaku, sementara
tatanan tersebut telah diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keadaan
yang ada. Hal ini dikarenakan feminisme merupakan buah dari era postmodernisme
yang bercirikan nihilisme. Nihilisme berarti
meniadakan dan menolak tatanan serta nilai-nilai yang telah ada dan
berlaku.
Dengan masuknya dampak feminisme, timbullah gugatan
konstruksi gender secara sosial dan biologis. Menuntut persamaan segala hal
antara lelaki dan perempuan. Karena laki-laki dominan bukan karena faktor
biologis, tapi sebab kontruk sosial, maka kontruk sosial ini pun harus diubah.
Kalau perlu, laki-laki bisa hamil dam menyusui, dan wanita bisa menjadi
pemimpin laki-laki.[8]
Bila seorang pria
bebas untuk bekerja dan mencari penghasilan di luar rumah, maka kenapa seorang
wanita harus berdiam diri mengurus urusan di dalam rumah. Maka bermuncullan lah
wanita-wanita karir yang mencari kehidupan di luar rumah. Mereka sibuk mengejar
karir demi berusaha menyamakan eksistensinya dengan laki-laki. Banyak dari
mereka mengalami depresi dan gangguan psikologi karena berusaha melawan fitrah
dan kodratnya.[9]
Sementara anak-anak mereka di rumah kekurangan kasih sayang dan pendidikan dari
seorang ibu, sehingga berakibat buruk bagi perkembangan jiwa anak.
Kaum perempuan di Barat pun banyak yang memilih untuk
tidak menikah. Pernikahan mereka anggap sebagai bentuk pengekangan lelaki
terhadap perempuan. Akibatnya menyebar lah praktek lesbi di masyarakat dan juga
perzinahan Ketika agama berusaha untuk melarangnya,para aktifis feminisme ini
tetap memperjuangkannya atas nama ‘kebebasan’[10]
Dalam pemerintahan ,kesetaraan gender yang diusung oleh
semangat feminisme diaggap sebagai ukuran kemajuan pembangunan. Sehingga dalam
PBB, pembangunan diukur dari peran wanita di dalamnya dalam bentuk GDI (Gender
Development Index), padahal korelasi antara keseteraan gender dan kemajuan
dalam pembangunan tidak terbukti[11].
Negara- negara yang menerapkan kesetaraan gender tidak terbukti mengalami
kemajuan, sebaliknya, negara-negara yang mana keserataan gender tidak diminati
juga tidak benar-benar mengalami penurunan dalam ekonomi dan bidang lainnya.
Di dalam agama, kaum feminis beranggapan bahwa Bibel yang
bersifat masukulin, maka mereka pun berusaha untuk menjadikannya feminin dan
berusaha mendapat legitimasi darinya. Mereka tidak lagi menulis God, tetapi juga
Goddes. Sebab, gambaran Tuhan dalam agama mereka adalah Tuhan maskulin. Mereka
ingin Tuhan yang perempuan. Dalam buku “Feminist Aproaches to The Bible”,
seorang aktivis perempuan, Tivka Frymer-Kensky, menulis makalah dengan judul: “Goddesses:
Biblical Echoes”. Aktivis lain, Pamela J. Milne, mencatat, bahwa dalam
tradisi Barat, Bible manjadi sumber terpenting bagi penindasan terhadap
perempuan. Tahun 1895, Elizabeth Cady Stanton menerbitkan buku ‘The Women’s
Bible’, dimana ia mengkaji seluruh teks Bible yang berkaitan dengan
perempuan. Kesimpulannya, Bible mengandung ajaran yang menghinakan perempuan,
dan dari ajaran inilah terbentuk dasar-dasar pandangan Kristen terhadap
perempuan. Berikutnya, Stanton berusaha meyakinkan, bahwa Bible bukanlah
kata-kata Tuhan, tetapi sekedar koleksi tentang sejarah dan mitologi yang
ditulis oleh kaum laki-laki. Sebab itu, perempuan tidak memiliki kewajiban
moral untuk mengikuti ajaran Bible. Para tokoh agama Kristen kemudian memandang
karya Elizabeth C. Stanton sebagai karya setan.[12]
Kepemimpinan laki-laki atas dalam perempuan dalam
berbagai urusan agama pun mereka perdebatkan. Bila laki-laki mempunyai hak
untuk menjadi imam dalam shalat jama’ah, kenapa perempuan tidak bisa ? Maka
pada 18 Januari 2005, terjadi persitiwa yang mencengangkan, seorang wanita,
Amina Wadud[13],
menjadi seorang Imam dan khatib sekaligus dalam shalat jum’at di salah satu
masjid di Amerika. Muadzinnya pun seorang wanita, tanpa kerudung. Shafnya pun
juga bercampur antara laki-laki dan perempuan.
Kaum feminis juga menolak kepemimpinan laki-laki atas
perempuan dalam rumah tangga, padahal dalam Islam, konsep ini sudah dimapankan.
Menurut mereka tindakan kekerasan yang terjadi atas perempuan dalam suatu rumah
tangga seperti pemukulan, merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Mereka pun
menggugat dan mempertanyakan kembali ayat Al Quran yang oleh para ulama’
dijadikan sebagai landasan kepemimpinan dalam rumah tangga :
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4
Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. [14]
Ayat di atas memberikan pengertian bahwa laki-laki adalah pemimpin
bagi kaum perempuan. Pemahaman ini, bagi kalangan feminis adalah salah satu bentuk diskriminasi
terhadap perempuan. Riffat Hassan, feminis muslim asal Pakistan menilai corak
penafsiran yang dihasilkan oleh para ulama' terhadap ayat tersebut, membawa
implikasi teologis dan psikologis adanya superioritas laki-laki terhadap
perempuan, dan menempatkan perempuan subordinat di bawah laki-laki. Oleh karena
itu, Riffat melakukan dekontruksi terhadap penafsiran tersebut. Kritik
dilontarkan Riffat Hassan, mengapa Qawwamuna diartikan sebagai pemimpin,
penguasa, bukan penopang atau pelindung. Jika
Qawwamuna diartikan sebagai penopang, berarti laki-laki adalah pelindung atau
penopang bagi kaum perempuan. Lebih tepatnya kata Qawwamuna diartikan sebagai
pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana kehidupan[15].
Gagasan lain yang ditemukan oleh kaum feminis adalah batasan aurat
bagi seorang wanita. Mohammad Sahrur, berpendapat bahwa definisi dari aurat adalah ‘apa yang membuatnya
malu bila diperlihatkan pada orang lain’. Aurat pun tidak berkaitan dengan
urusan haram atau halal. Menurut dia juga batasan malu bagi tiap tiap orang pun
berbeda- beda, tergantung keadaan dan kondisi yang melingkupinya. Bila bagi
seorang wanita merasa menunjukan bagian dada nya tanpa rasa malu, itu bukanlah
aurat.
Tak sampai disitu, dia pun mendekonstruksi kembali penafsiran Al
Quran yang berkaitan dengan menutup aurat.
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# úüÏRôã £`Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4
y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù tûøïs÷sã 3
c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§
Hai Nabi, Katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[16]
Menurutnya: "Ayat ini didahului dengan lafadz 'Hai Nabi' yang
berarti bahwa di satu sisi, ayat ini adalah ayat pengajaran, dan bukan ayat
pemberlakuan syariat. Di sisi lain, ayat yang turun di Madinah ini harus
dipahami dengan pemahaman temporal, karena terkait dengan tujuan keamanan dari
gangguan orang-orang iseng, yaitu ketika para wanita tengah bepergian untuk
suatu keperluan. Namun, syarat-syarat ini (yaitu alasan keamanan) sekarang
telah hilang semuanya". Oleh sebab itu, mengingat ayat di atas adalah ayat
pengajaran, yang bersifat anjuran, maka menurutnya, hendaknya bagi wanita
mukminah, -dianjurkan bukan diwajibkan, untuk menutup bagian-bagian tubuhnya
yang bila terlihat menyebabkannya dapat gangguan. Ada dua jenis gangguan: alam
dan sosial. Gangguan alam adalah yang berkenaan dengan cuaca seperti suhu panas
dan dingin. Maka wanita mukminah hendaknya berpakaian menurut standar cuaca,
sehingga ia terhindar dari gangguan alam. Sedangkan gangguan sosial adalah berkaitan dengan kondisi dan adat
istiadat suatu masyarakat. Oleh karena itu, pakaian mukminah untuk keluar harus
disesuaikan dengan lingkungan masyarakat, sehingga tidak mengundang cemoohan.[17]
Lepas dari batasan aurat bagi seorang wanita, kaum feminis pun
menggugat pembagian harta warisan yang telah ditentukan dalam Islam. Tentang pembagian harta waris, Nasr
Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa sebelum kedatangan Islam di jazirah Arab pada
abad ke 7M, wanita tidak mendapatkan harta waris sedikitpun, karena sistem
peraturan masyarakat menganut sistem patriarkal. Anak laki-laki tertua mewarisi
semua harta peninggalan. Kemudian Islam merubah aturan ini, seperti yang
termaktub dalam al-Qur’an:
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& (
Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4
Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan
Menurut Abu Zayd, ayat di atas menekankan terjadinya perubahan
dalam hukum masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta warisan.
Substansi arahannya adalah prinsip keadilan (justice). Namun sebenarnya,
bila dicermati secara mendalam, ayat di atas justru menekankan pembatasan
terhadap hak-hak kaum laki-laki (limiting the rights of men). Sebab pada ayat
di atas (QS. Al-Nisa’: 11), penyebutannya jelas mendahulukan kata li
l-dzzakari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li l-untsayaini
mithlu haddzi l-dzzakari (bagian dua orang anak perempuan sama dengan
bagian seorang anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang mengawali perempuan
tersebut, berarti bahwa al-Qur’an menyibukkan dirinya dengan pembatasan bagian
harta waris untuk laki-laki. Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum laki-laki
mewarisi semua harta peninggalan, tanpa batas.[18]
C. Kedudukan
Wanita Dalam Islam
Disaat feminisme mengkritik
habis syari’at yang telah ditentukan oleh Islam terkait wanita, sehingga hukum-hukum syari’ah yang sudah baku pun didekonstruksi oleh mereka, lantas
bagaimanakah Islam dalam memandang dan memposisikan wanita ?
Berawal dari konsep keadilan. Dalam Barat, keadilan
berarti persamaan atau fivty-fivty[19].
Hal ini berbeda dengan Islam. Dalam Islam, keadilan adalah menempatkan sesuatu
sesuai pada tempatnya. Dan untuk menyesuaikan sesuatu pada tempatnya, harus
melihat kemampuan, keadaan, dan kondisi sesuatu terlebih dahulu.Begitu pun
dalam menempatkan keadilan antara lelaki dan perempuan, harus melihat dulu
kemampuan masing-masing menyesuaikan fitrah dan kemampuan baik dari pria
ataupun wanita.
Bila kita melihat pada sejarah, wanita sebelum kedatangan
Islam di jazirah Arab, atau masa pra jahiliyyah, diperlakukan dengan sangat
tidak layak. Budaya
masyrakat Arab pada waktu itu sangat patriarkhi, dan wanita sama sekali tak
mempunyai kedudukan dan peranan yang layak. Wanita pada waktu itu tidak
mempunyai hak akan harta warisan. Begitu pula dalam pernikahan, wanita tak
mempunyai hak untuk memilih calon suaminya. Dan apabila telah menikah nanti,
suami berhak untuk memperlakukan istrinya dengan semena-mena. Suami bias saja
menyuruh istrinya untuk berhubungan
dengan pria lain, demi mendapat calon anak yang tangguh dan kuat[20].
Singkatnya,
wanita pada waktu itu hanya dianggap sebagai pemuas nafsu belaka, dipandang
hina dan diperlakukan dengan sangat tidak layak. Hal inilah yang membuat
seorang ayah pada waktu itu bila mempunyai anak wanita akan lebih memilih untuk
mengubur hidup-hidup anaknya karena malu.
Namun semenjak
kedatangan Islam, terjadi revolusi gender di Arab. Hak-hak dan peranan wanita
yang pada masa pra jahiliyyah tak diakui, maka semenjak kedatangan Arab diakui
keberadaannya. Islam menghargai peranan dan keberadaan seorang wanita, dan
membebaskan wanita dari kultur budaya pra jahiliyyah yang menyiksanya.[21]
Dalam Islam,
kedudukan wanita sangat dihargai. Beberapa contoh dimana peranan dan kedudukan
wanita diakui keberadaaannya adalah sebagai berikut:
1. Wanita
Dalam Keluarga
Di dalam sebuah
keluarga, wanita berperan dalam dua posisi yang sangat penting, yaitu sebagai
seorang istri dan seorang Ibu. Ada beberapa kemuliaan yang diberikan Islam
kepada seorang istri, diantaranya : berhak memilih dan menolak calon suami,
diberi mahar bukan memberi, berhak diperlakukan dengan baik dan lembut oleh
suami, mendapatkan nafkah baik lahir ataupun bathin dan sebagainya.
Al Quran
sendiri pun menegaskan bagaimana seorang suami agar bersikap baik dan lembut
terhadap istrinya :
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä w @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. (
wur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4
£`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4
Hai orang-orang yang beriman, tidak
halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata[dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Dan masih
banyak ayat-ayat AL Quran lainnya yang menyuruh suami agar memperlakukan
istrinya dengan baik dan layak.
Adapun peran
seorang wanita menjadi ibu dalam sebuah keluarga, hal ini dikarenakan Allah
menciptakan kodrat wanita itu lemah lembut, sensitif dan penyayang sesuai
dengan kodratnya seperti mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara
anak-anaknya. Itu merupakan tugas agung yang membutuhkan kesiapan jasmani dan
rohani. Pantaslah jika kemudian Allah
menciptakan laki-laki itu keras dan bertubuh kuat, tidak mudah terpengaruh,
lebih menggunakan akal sebelum bertindak, karena suami sebagai pemimpin harus
menafkahi dan menjaga istri serta anak-anaknya[22]. Hal ini menunjukkan suami dan istri harus
menjadi relasi yang seimbang dalam menunaikan hak dan kewajiban masing-masing.
Padahal dalam
hal ini, kodrat wanita sebagai ibu rumah tangga merupakan cara Islam untuk memuliakan
wanita. Ibu adalah pendidik pertama dan guru terbaik bagi anak-anaknya.
Besarnya pengorbanan seorang itu tidak dapat diukur dengan materi. Maka tak
salah jika Islam mengajarkan bahwa orang yang pertama yang harus dihormati,
disayangi dan dipatuhi adalah ibu.[23]
2. Wanita
Dalam Kepemimpinan
Dalam Al Quran,
surat An Nisa : 34, sebagaimana yang dituliskan diatas, menyatakan bahwa lelaki
adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Namun menurut para ulama’ bukan berarti
pemimpin yang otoriter dan sewenang-wenang, tetapi bertanggung jawab terhadap
pendidikan, nafkah dan kemaslahatan keluarga[24].
Dan juga karena beratnya amanah kepemimpina pula, maka Islam memerintahkan
lelaki yang menjadi pemimpin, sebab struktur tubuh lelaki memang lebih kuat
daripada seorang wanita.
3.
Wanita Di Hadapan Allah
Kedudukan dan derajat laki-laki dan perempuan setara di
hadapan Allah SWT. Dari segi penciptaan misalnya, Islam menyamakan laki-laki
dan perempuan (an-Nisa: 1), karena tidak menilai bedasarkan jenis kelamin,
melainkan dengan kadar iman dan amal shaleh masing-masing (Ali-Imran: 195).
Begitu juga dalam hal ibadah, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita
(an-Nahl: 97) siapa pun yang beriman dan mengerjakan amal shaleh maka akan
dimasukkan ke dalam surga (An-Nisa: 124), karena ketaqwaannya lah yang
membedakannya dihadapan Allah swt (al-Hujarat: 13), walaupun dalam kehidupan
rumah tangga dan masyarakat, setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab
yang berbeda seperti lazimnya hubungan antar manusia dalam kehidupan (al-Baqarah:
228) namun dihadapan allah, semua manusia sama.
BAB III. Kesimpulan dan Penutup
Gerakan
feminism merupakan gerakan yang pertama kali berasal dari Barat. Ia muncul
sebagai reaksi atas ketidakpuasan wanita di Barat. Hal ini karena di Barat,
wanita tak dihargai dan tak medapatkan kedudukan serta eksistensi mereka tak
diakui. Wanita diperlakukan semena-mena dan ditindas oleh laki-laki. Hal inilah
yang melahirkan gerakan feminisme, dengan slogannya menuntut keadilan kedudukan
antara lelaki-dan perempuan.
Masalahnya
keadilan dalam arti Barat adalah persamaan yang fivty-fivty. Maka
keadilan dalam feminisme berarti persamaan antara pria dan wanita dalam semua
bidang kehidupan. Baik dalam rumah rumah tangga, karir, pekerjaan, pendidikan
dan lain sebagainya. Bila seorang pria bebas untuk mencari pekerjaan di luar,
lantas mengapa wanita harus berdiam
dalam rumah, mengurus pendidikan anak dan sebagainya. Harusnya seorang wanita
juga memiliki hak untuk mengejar karrir dan kehidupan di luar rumah, dan
kewajiban mengurus rumah dan pendidikan anak bukan lagi murni untuk wanita,
tetapi juga harusnya untuk pria.
Begitu pun
dalam urusan agama kaum feminis kembali memperdebatkannya. Bila seorang pria
berhak untuk memmimpin shalat berjama’ah dan khutbah shalat jum’at, maka seorang
wanita seharusnya juga memiliki hak tersebut. Dan masih banyak bidang-bidang
kehidupan lainnya yang berusaha untuk didekonstruksi oleh kaum feminis.
Kaum feminis
beranggapan bahwasanya perbedaaan kedudukan dan hak yang terjadi sekarang
antara pria dan wanita bukan disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi hanya
karena kultur budaya. Ini jelas salah. Dalam Islam, pengaturan kedudukan dan
tanggung jawab antara pria dan wanita sudah diatur dengan seadil-adilnya sesuai
dengan kemampuan dan kesanggupan masing-masing. Adil dalam Islam bukan berarti
sama, tetapi meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Islam juga
telah mengatur dan mendudukkan wanita dengan sangta terhormat dan tidak seperti
di Barat, eksistensi dan peranan wanita diakui. Begitu pun pengaturan tanggung
jawab dan peranan masing-masing untuk pria dan wanita,Islam telah mengaturnya
sesuai dengan kapabilitas masing-masing. Di hadapan Allah pun, baik pria
ataupun wanita dipandang sama, hanya tingkat ketaqwaannya lah yang membedakan.
Dan bila kaum
feminis tetap mempertahankan pendapat mereka untuk menyamakan pria dan wanita
dalam berbagai hal, maka ini akan berimbas negative pada wanita tersebut,
karena ia berusaha untuk melawan fitrah dan kodratnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran Karim
Al-Baduri, Imad
Zaki, Tafsir Wanita, Penjelasan Terlengkap Tentang Wanita Dalam Al-Qur’an.
terj. Samson Rohman. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003)
Dewi, Elizabeth
Diana, Bias Paham Feminisme Barat
Husaini, Adian,
Kesetaraan Gender, Konsep dan Dampaknya Dalam Islam
Harry, Ridho’i, Problem Tafsir Kesetaraan Gender Kasus
Kepemimpinan dalam Rumah Tangga
Lahmuddin,
Kedudukan Wanita Dalam Islam
Majalah gontor
edisi 12 Tahun X, Jumadil Awal-Jumadil Akhir 1434/ April 2013.
Shalahuddin,
Henry, Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam: Tantangan Terhadap
Konsep Wahyu dan Ilmu dalam Islam
Subhan, Zaitunah,
Tafsir Kebencian, Studi bias Gender dalam Tafsir Qur’an. (Jogjakarta: LKiS,
1999 )
Zarkasyi, Hamid
Fahmy, Misykat, Refleksi Tentang Westernisasi Liberalisasi Dan Islam (Jakarta
Selatan, INSISTS dan MIUMI 2012)
[1]
Asep Sobari dkk, Menyoal Nasib RUU
KKG, majalah gontor edisi 12 Tahun X, Jumadil Awal-Jumadil Akhir 1434/ April
2013, hal 9
[2]
Ibid, hal 9
[3] Lahmuddin,peserta PKU Gontor angkatan VI,
Kedudukan wanita dalam Islam.
[4] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, INSISTS dan
MIUMI, 2012, hal 237.
[5] Elizabeth
Diana Dewi, Bias Paham Feminisme
Barat.
[6] Syamsuddin Arif, Soal feminisme dan
Kesetaraan Gender, hal 2
[7] Ibid, hal 2
[8] Hamid Famy Zarkasyi, Opcit, hal 240
[9] Dinar Dewi Kania, Isu gender, sejarah dan
perkembangannya, hal 7
[10] Ibid, hal 8
[11] Hamid Fahmi Zarkasyi, Opcit hal 234.
[12] Adian Husaini, Kesetaraan Gender, Konsep
dan Dampaknya Dalam Islam, hal 5
[13]
Aminah Wadud adalah salah seorang
aktifis feminis dari Amerika. Ia juga seorang profesor Islamic Studies di
Virginia Commonwealth University. Ia menulis buku berjudul Qur’an and Woman: Rereading
the Sacred Text from a Woman’s Perspective (Diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul Quran menurut Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2001). Melalui bukunya, Wadud berusaha membongkar
cara menafsirkan al-Qur'an ‘model klasik’ yang dinilainya menghasilkan tafsir
yang bias gender, alias menindas wanita. Ia tidak menolak al-Qur'an. Tetapi,
yang dia lakukan adalah membongkar metode tafsir klasik dan menggantinya dengan
metode tafsir gaya baru yang dia beri nama “Hermeneutika Tauhid”
[15]
Ridho’i Harry, Problem Tafsir
Kesetaraan Gender Kasus Kepemimpinan dalam Rumah Tangga, hal 5-6
[16]
Al Quran surat AL Ahzab :59
d[17]
Henry Shalahuddin, Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam:
Tantangan Terhadap Konsep Wahyu dan Ilmu dalam Islam, hal 14
[18]
Ibid, hal 14
[19]
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi bias Gender dalam Tafsir Qur’an.
(Jogjakarta: LKiS, 1999 ) hal.131
[20] Pernikahan yang seperti ini dikenal
dengan istilah Zawaj al-Istibda’,
dalam pernikahan ini suami menyuruh istrinya untuk bersetubuh dengan laki-laki lain
sampai hamil, biasanya dilakukan dengan orang yang gagah dan pemberani untuk
mengambil benih keturunan.
[21]
Lahmuddin, Opcit, hal 3
[22]
Imad Zaki Al-Baduri, Tafsir Wanita,
Penjelasan Terlengkap Tentang Wanita Dalam Al-Qur’an. terj. Samson Rohman.
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal. 301
[23]
Dalam sebuah Hadits diceritakan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
SAW dan bertanya: ”siapakah orang yang paling berhak saya hormati/ pergauli?”
Nabi bersabda: ”Ibumu” sampai tiga kali, kemudian ”Ayahmu”. lihat dalam
Shahi>h Muslim Bi Syarh al- Nawawi, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt),
juz 16. hal. 102.
[24]
Lahmuddin, Opcit,hal 12