Selasa, 09 Juli 2013

MENIMBANG ISU FEMINISME DAN KESETERAAN GENDER


MENIMBANG ISU FEMINISME DAN KESETERAAN GENDER

BAB I. PENDAHULUAN
Paham feminisme dan kesetaraan gender semakin hangat dibicarakan di berbagai bidang sekarang. Mulai dari ranah akademik, pemerintahan, hingga sampai ranah politik. Dalam ranah pemerintahan misalnya, sekarang ini sedang hangat-hangat nya dibahas mengenai RUU (Rancangan Undang-undang) kesetaraan gender, yang mana sejauh ini sudah diagendakan untuk masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2013. Walaupun menuai banyak pro dan kontra dari masyarakat, RUU in itetap dipertahankan realisasinya oleh pihak pemerintah.[1] Dalam ranah pemilihan calon legislatif untuk daerah-daerah pun , harus ditentukan persentase jumlah anggota dari perempuan. Begitu pula di berbagai institusi pendidikan pun marak bermunculan banyak pusat studi gender atau pusat studi wanita yang berusaha untuk mengusung paham feminisme dan kesetaraan gender ini.

 Terlebih lagi paham ini juga telah merasuki ranah Islam. Sehingga kedudukan pria dan wanita yang telah diatur sedemikian rupa dalam Islam pun kembali didekonstruksi dengan masuknya paham ini. Hukum-hukum syari’ah dan hal yang dianggap tak adil oleh mereka pun kembali dipertanyakan dan diperdebatkan. Menurut mereka, hurum syari’ah tersebut telah mendiskriminasikan perempuan dan merendahkannya.

Padahal sejatinya, paham feminisme dan kesetaraan gender ini tidak bisa diterapkan dalam dunia Islam. Gagasan ini sebenarnya berasal dari kontruk masyarakat Barat postmodern, yang mana misi utamanya adalah mengembangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang.Kesetaraan menjadi persoalan besar di Barat karena dalam sejarahnya, kaum perempuan selalu ditindas dan dimarjinalkan.[2]

 Ini berbeda dengan Islam. Wanita dalam Islam diperlakukan dengan terhormat dan bermartabat serta mempunyai kedudukan sendiri yang telah disesuaikan dengan kapabilitasnya sebagai seorang wanita. Kedatangan Islam sendiri telah mengangkat martabat dan memperjuangkan hak-hak wanita yang sebelumnya tertindas, diperbudak, dianggap fitnah, tidak diinginkan kelahirannya dan seterusnya dalam kondisi masyarakat pra jahiliyyah. Setiap wanita dalam Islam diberi tugas dan aktifitas sesuai peran dan kodrat kemampuannya, tanpa merendahkannya. Wanita juga menjadi salah satu pilar yang menjadi penyokong kuatnya suatu keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Al-Quran juga menerangkan hal tersebut, banyak ayat didalamnya yang memuliakan wanita, dan menjelaskan bahwa posisinya sama dengan laki-laki.[3]

BAB II
A.    Sejarah dan Perkembangan Gerakan Feminisme

Secara harfiah, istilah feminis berasal dari bahasa latin fei-minus. Fei artinya iman, dan minus kurang, jadi feminus artinya kurang iman. Wanita di barat, sejarahnya, memang diperlakukan seperti manusia yang kurang iman.[4] Dalam masyarakat Barat sendiri, gerakan feminisme timbuk sebagai reaksi ketidakpuasan wanita yang diperlakukan secara tak adil dalam berbagai bidang. Mereka menganggap bahwa dominasi laki-laki telah memarginalkan perempuan.

Dalam agama di barat pun, kedudukan wanita sudah dimarginalkan oleh dominasi laki-laki. Paparan berikut ini menggambarkan bagaimana bibel, kitab suci Kristen, memandang wanita:
1.Kejahatan laki-laki lebih baik daripada kebajikan perempuan, dan perempuanlah yang mendatangkan malu dan nista (Sirakh 42:14).
2.Setiap keburukan hanya kecil dibandingkan dengan keburukan perempuan, mudah-mudahan ia ditimpa nasib orang berdosa (Sirakh 25:19)
3.Derajatnya di bawah laki-laki dan harus tunduk seperti tunduknya manusia kepada Tuhan (Efesus 5:22). Dalam hal ini tidak ada perbedaan teks Alkitab berbahasa Arab dan Indonesia.
4.Karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. (Efesus 5:23)
5.Permulaan dosa dari perempuan dan karena dialah kita sekalian mesti mati (Sirakh 25:24)

Beberapa ayat diatas dan ayat-ayat lainnya yang berisi kandungan yang sama, dipakai oleh beberapa golongan sebagai landasan teologis untuk menjustifikasi anggapan bahwa laki-laki berada diatas perempuan[5]

Begitu pun dengan tokoh-tokoh pemikir yang ada, mulai dari Plato dan Aristoteles di masa Pra Kristen, hingga masa Thomas Aquinas dan Nietschze, perempuan memang tak pernah dianggap setara dengan kaum laki-laki. Wanita dianggap seperti budak dan anak-anak yang tak berdaya [6]

Jika ditelusuri pula, gugatan feminisme berasal dari kerancuan Barat dalam memahami keadilan. Dalam The New Oxford Dictionary of English, keadilan diartikan sebagai tindakan kualitas yang adil dan rasional. Sedangkan rasional dalam kamus ini diartikan sebagai tindakan yang berdasar dengan logika atau akal.  Makna seperti ini menimbulkan pemahaman bahwa keadilan yang berdasarkan pada pertimbangan logika manusia.

Kaum feminis di Barat umumnya menganggap Mary Wollstonecraft (1759-1797) sebagai nenek-moyang mereka. Lewat tulisannya yang sangat terkenal, A Vindication of the Rights of Woman . ia mengecam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan harus dibolehkan bersekolah dan memberikan suaranya dalam pemilihan umum (suffrage). Wanita tidak boleh lagi menjadi burung di dalam sangkar. Mereka mesti dibebaskan dari kurungan rumah-tangga dan ‘penjara-penjara’ lainnya. Menurutnya, berbagai kelemahan yang terdapat pada wanita lebih disebabkan oleh faktor lingkungan, bukan ‘dari sono-nya’. Dari dia, gagasan mengenai feminisme dan kesetaraan gender berkembang hingga ke se antero Eropa dan Asia.[7]

Selain hak pendidikan dan politik, para aktivis perempuan itu juga menuntut reformasi hukum dan undang-undang negara supaya lebih adil dan tidak merugikan perempuan. Di lingkungan kerja, mereka mendesak supaya pembayaran gaji, pembagian kerja, penugasan dan segala macam pembedaan atas pertimbangan jenis kelamin (gender-based differentiation) dihapuskan sama sekali. Karyawan tidak boleh dibedakan dengan karyawati. Semuanya harus diberikan peluang, perlakuan dan penghargaan yang sama. Pemerintah diminta mendirikan tempat-tempat penitipan dan pengasuhan anak. Agenda emansipasi berikutnya adalah bagaimana membebaskan kaum wanita dari ‘penjara kesadaran’nya, mengingatkan wanita bahwa mereka tengah berada dalam cengkeraman kaum lelaki, bahwa mereka hidup dalam dunia yang dikuasai laki-laki (male-dominated world). Konon hanya dengan cara ini perempuan dapat membebaskan dirinya dari segala bentuk opresi, eksploitasi dan subordinasi.

   B.     Dampak Dari Feminisme

Berkembangnya paham feminisme tentu saja membawa dampak dan implikasi tersendiri, baik dalam ranah sosial dan publik ataupun dalam ranah Islam. Dampak yang ditimbulkan pun bukan dalam artian yang positif, melainkan negatif.

Masuknya gagasan feminisme ke dalam ranah publik, telah merombak dan mendekonstruksi tatanan yang selama ini telah berlaku, sementara tatanan tersebut telah diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keadaan yang ada. Hal ini dikarenakan feminisme merupakan buah dari era postmodernisme yang bercirikan nihilisme. Nihilisme berarti  meniadakan dan menolak tatanan serta nilai-nilai yang telah ada dan berlaku.

Dengan masuknya dampak feminisme, timbullah gugatan konstruksi gender secara sosial dan biologis. Menuntut persamaan segala hal antara lelaki dan perempuan. Karena laki-laki dominan bukan karena faktor biologis, tapi sebab kontruk sosial, maka kontruk sosial ini pun harus diubah. Kalau perlu, laki-laki bisa hamil dam menyusui, dan wanita bisa menjadi pemimpin laki-laki.[8]

 Bila seorang pria bebas untuk bekerja dan mencari penghasilan di luar rumah, maka kenapa seorang wanita harus berdiam diri mengurus urusan di dalam rumah. Maka bermuncullan lah wanita-wanita karir yang mencari kehidupan di luar rumah. Mereka sibuk mengejar karir demi berusaha menyamakan eksistensinya dengan laki-laki. Banyak dari mereka mengalami depresi dan gangguan psikologi karena berusaha melawan fitrah dan kodratnya.[9] Sementara anak-anak mereka di rumah kekurangan kasih sayang dan pendidikan dari seorang ibu, sehingga berakibat buruk bagi perkembangan jiwa anak.

Kaum perempuan di Barat pun banyak yang memilih untuk tidak menikah. Pernikahan mereka anggap sebagai bentuk pengekangan lelaki terhadap perempuan. Akibatnya menyebar lah praktek lesbi di masyarakat dan juga perzinahan Ketika agama berusaha untuk melarangnya,para aktifis feminisme ini tetap memperjuangkannya atas nama ‘kebebasan’[10]

Dalam pemerintahan ,kesetaraan gender yang diusung oleh semangat feminisme diaggap sebagai ukuran kemajuan pembangunan. Sehingga dalam PBB, pembangunan diukur dari peran wanita di dalamnya dalam bentuk GDI (Gender Development Index), padahal korelasi antara keseteraan gender dan kemajuan dalam pembangunan tidak terbukti[11]. Negara- negara yang menerapkan kesetaraan gender tidak terbukti mengalami kemajuan, sebaliknya, negara-negara yang mana keserataan gender tidak diminati juga tidak benar-benar mengalami penurunan dalam ekonomi dan bidang lainnya.

Di dalam agama, kaum feminis beranggapan bahwa Bibel yang bersifat masukulin, maka mereka pun berusaha untuk menjadikannya feminin dan berusaha mendapat legitimasi darinya. Mereka tidak lagi menulis God, tetapi juga Goddes. Sebab, gambaran Tuhan dalam agama mereka adalah Tuhan maskulin. Mereka ingin Tuhan yang perempuan. Dalam buku “Feminist Aproaches to The Bible”, seorang aktivis perempuan, Tivka Frymer-Kensky, menulis makalah dengan judul: “Goddesses: Biblical Echoes”. Aktivis lain, Pamela J. Milne, mencatat, bahwa dalam tradisi Barat, Bible manjadi sumber terpenting bagi penindasan terhadap perempuan. Tahun 1895, Elizabeth Cady Stanton menerbitkan buku ‘The Women’s Bible’, dimana ia mengkaji seluruh teks Bible yang berkaitan dengan perempuan. Kesimpulannya, Bible mengandung ajaran yang menghinakan perempuan, dan dari ajaran inilah terbentuk dasar-dasar pandangan Kristen terhadap perempuan. Berikutnya, Stanton berusaha meyakinkan, bahwa Bible bukanlah kata-kata Tuhan, tetapi sekedar koleksi tentang sejarah dan mitologi yang ditulis oleh kaum laki-laki. Sebab itu, perempuan tidak memiliki kewajiban moral untuk mengikuti ajaran Bible. Para tokoh agama Kristen kemudian memandang karya Elizabeth C. Stanton sebagai karya setan.[12]

Kepemimpinan laki-laki atas dalam perempuan dalam berbagai urusan agama pun mereka perdebatkan. Bila laki-laki mempunyai hak untuk menjadi imam dalam shalat jama’ah, kenapa perempuan tidak bisa ? Maka pada 18 Januari 2005, terjadi persitiwa yang mencengangkan, seorang wanita, Amina Wadud[13], menjadi seorang Imam dan khatib sekaligus dalam shalat jum’at di salah satu masjid di Amerika. Muadzinnya pun seorang wanita, tanpa kerudung. Shafnya pun juga bercampur antara laki-laki dan perempuan.

Kaum feminis juga menolak kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga, padahal dalam Islam, konsep ini sudah dimapankan. Menurut mereka tindakan kekerasan yang terjadi atas perempuan dalam suatu rumah tangga seperti pemukulan, merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Mereka pun menggugat dan mempertanyakan kembali ayat Al Quran yang oleh para ulama’ dijadikan sebagai landasan kepemimpinan dalam rumah tangga :
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. [14]
Ayat di atas memberikan pengertian bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Pemahaman ini, bagi kalangan feminis   adalah salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Riffat Hassan, feminis muslim asal Pakistan menilai corak penafsiran yang dihasilkan oleh para ulama' terhadap ayat tersebut, membawa implikasi teologis dan psikologis adanya superioritas laki-laki terhadap perempuan, dan menempatkan perempuan subordinat di bawah laki-laki. Oleh karena itu, Riffat melakukan dekontruksi terhadap penafsiran tersebut. Kritik dilontarkan Riffat Hassan, mengapa Qawwamuna diartikan sebagai pemimpin, penguasa, bukan penopang atau pelindung. Jika  Qawwamuna diartikan sebagai penopang,  berarti laki-laki adalah pelindung atau penopang bagi kaum perempuan. Lebih tepatnya kata Qawwamuna diartikan sebagai pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana kehidupan[15].

Gagasan lain yang ditemukan oleh kaum feminis adalah batasan aurat bagi seorang wanita. Mohammad Sahrur, berpendapat bahwa definisi dari aurat adalah ‘apa yang membuatnya malu bila diperlihatkan pada orang lain’. Aurat pun tidak berkaitan dengan urusan haram atau halal. Menurut dia juga batasan malu bagi tiap tiap orang pun berbeda- beda, tergantung keadaan dan kondisi yang melingkupinya. Bila bagi seorang wanita merasa menunjukan bagian dada nya tanpa rasa malu, itu bukanlah aurat.

Tak sampai disitu, dia pun mendekonstruksi kembali penafsiran Al Quran yang berkaitan dengan menutup aurat.
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# šúüÏRôム£`ÍköŽn=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& br& z`øùt÷èムŸxsù tûøïsŒ÷sム3 šc%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ 
 Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[16]
Menurutnya: "Ayat ini didahului dengan lafadz 'Hai Nabi' yang berarti bahwa di satu sisi, ayat ini adalah ayat pengajaran, dan bukan ayat pemberlakuan syariat. Di sisi lain, ayat yang turun di Madinah ini harus dipahami dengan pemahaman temporal, karena terkait dengan tujuan keamanan dari gangguan orang-orang iseng, yaitu ketika para wanita tengah bepergian untuk suatu keperluan. Namun, syarat-syarat ini (yaitu alasan keamanan) sekarang telah hilang semuanya". Oleh sebab itu, mengingat ayat di atas adalah ayat pengajaran, yang bersifat anjuran, maka menurutnya, hendaknya bagi wanita mukminah, -dianjurkan bukan diwajibkan, untuk menutup bagian-bagian tubuhnya yang bila terlihat menyebabkannya dapat gangguan. Ada dua jenis gangguan: alam dan sosial. Gangguan alam adalah yang berkenaan dengan cuaca seperti suhu panas dan dingin. Maka wanita mukminah hendaknya berpakaian menurut standar cuaca, sehingga ia terhindar dari gangguan alam. Sedangkan gangguan sosial  adalah berkaitan dengan kondisi dan adat istiadat suatu masyarakat. Oleh karena itu, pakaian mukminah untuk keluar harus disesuaikan dengan lingkungan masyarakat, sehingga tidak mengundang cemoohan.[17]

Lepas dari batasan aurat bagi seorang wanita, kaum feminis pun menggugat pembagian harta warisan yang telah ditentukan dalam Islam. Tentang pembagian harta waris, Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa sebelum kedatangan Islam di jazirah Arab pada abad ke 7M, wanita tidak mendapatkan harta waris sedikitpun, karena sistem peraturan masyarakat menganut sistem patriarkal. Anak laki-laki tertua mewarisi semua harta peninggalan. Kemudian Islam merubah aturan ini, seperti yang termaktub dalam al-Qur’an:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan

Menurut Abu Zayd, ayat di atas menekankan terjadinya perubahan dalam hukum masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta warisan. Substansi arahannya adalah prinsip keadilan (justice). Namun sebenarnya, bila dicermati secara mendalam, ayat di atas justru menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum laki-laki (limiting the rights of men). Sebab pada ayat di atas (QS. Al-Nisa’: 11), penyebutannya jelas mendahulukan kata li l-dzzakari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li l-untsayaini mithlu haddzi l-dzzakari (bagian dua orang anak perempuan sama dengan bagian seorang anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang mengawali perempuan tersebut, berarti bahwa al-Qur’an menyibukkan dirinya dengan pembatasan bagian harta waris untuk laki-laki. Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum laki-laki mewarisi semua harta peninggalan, tanpa batas.[18]

    C.    Kedudukan Wanita Dalam Islam

Disaat feminisme mengkritik habis syari’at yang telah ditentukan oleh Islam terkait wanita, sehingga hukum-hukum syari’ah yang sudah baku pun didekonstruksi oleh mereka, lantas bagaimanakah Islam dalam memandang dan memposisikan wanita ?

Berawal dari konsep keadilan. Dalam Barat, keadilan berarti persamaan atau fivty-fivty[19]. Hal ini berbeda dengan Islam. Dalam Islam, keadilan adalah menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Dan untuk menyesuaikan sesuatu pada tempatnya, harus melihat kemampuan, keadaan, dan kondisi sesuatu terlebih dahulu.Begitu pun dalam menempatkan keadilan antara lelaki dan perempuan, harus melihat dulu kemampuan masing-masing menyesuaikan fitrah dan kemampuan baik dari pria ataupun wanita.

Bila kita melihat pada sejarah, wanita sebelum kedatangan Islam di jazirah Arab, atau masa pra jahiliyyah, diperlakukan dengan sangat tidak layak. Budaya masyrakat Arab pada waktu itu sangat patriarkhi, dan wanita sama sekali tak mempunyai kedudukan dan peranan yang layak. Wanita pada waktu itu tidak mempunyai hak akan harta warisan. Begitu pula dalam pernikahan, wanita tak mempunyai hak untuk memilih calon suaminya. Dan apabila telah menikah nanti, suami berhak untuk memperlakukan istrinya dengan semena-mena. Suami bias saja menyuruh istrinya untuk  berhubungan dengan pria lain, demi mendapat calon anak yang tangguh dan kuat[20].

Singkatnya, wanita pada waktu itu hanya dianggap sebagai pemuas nafsu belaka, dipandang hina dan diperlakukan dengan sangat tidak layak. Hal inilah yang membuat seorang ayah pada waktu itu bila mempunyai anak wanita akan lebih memilih untuk mengubur hidup-hidup anaknya karena malu.

Namun semenjak kedatangan Islam, terjadi revolusi gender di Arab. Hak-hak dan peranan wanita yang pada masa pra jahiliyyah tak diakui, maka semenjak kedatangan Arab diakui keberadaannya. Islam menghargai peranan dan keberadaan seorang wanita, dan membebaskan wanita dari kultur budaya pra jahiliyyah yang menyiksanya.[21]

Dalam Islam, kedudukan wanita sangat dihargai. Beberapa contoh dimana peranan dan kedudukan wanita diakui keberadaaannya adalah sebagai berikut:

1.      Wanita Dalam Keluarga
Di dalam sebuah keluarga, wanita berperan dalam dua posisi yang sangat penting, yaitu sebagai seorang istri dan seorang Ibu. Ada beberapa kemuliaan yang diberikan Islam kepada seorang istri, diantaranya : berhak memilih dan menolak calon suami, diberi mahar bukan memberi, berhak diperlakukan dengan baik dan lembut oleh suami, mendapatkan nafkah baik lahir ataupun bathin dan sebagainya.

Al Quran sendiri pun menegaskan bagaimana seorang suami agar bersikap baik dan lembut terhadap istrinya :
$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[dan bergaullah dengan mereka secara patut.

Dan masih banyak ayat-ayat AL Quran lainnya yang menyuruh suami agar memperlakukan istrinya dengan baik dan layak.

Adapun peran seorang wanita menjadi ibu dalam sebuah keluarga, hal ini dikarenakan Allah menciptakan kodrat wanita itu lemah lembut, sensitif dan penyayang sesuai dengan kodratnya seperti mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara anak-anaknya. Itu merupakan tugas agung yang membutuhkan kesiapan jasmani dan rohani.  Pantaslah jika kemudian Allah menciptakan laki-laki itu keras dan bertubuh kuat, tidak mudah terpengaruh, lebih menggunakan akal sebelum bertindak, karena suami sebagai pemimpin harus menafkahi dan menjaga istri serta anak-anaknya[22].  Hal ini menunjukkan suami dan istri harus menjadi relasi yang seimbang dalam menunaikan hak dan kewajiban masing-masing.

Padahal dalam hal ini, kodrat wanita sebagai ibu rumah tangga merupakan cara Islam untuk memuliakan wanita. Ibu adalah pendidik pertama dan guru terbaik bagi anak-anaknya. Besarnya pengorbanan seorang itu tidak dapat diukur dengan materi. Maka tak salah jika Islam mengajarkan bahwa orang yang pertama yang harus dihormati, disayangi dan dipatuhi adalah ibu.[23]

2.      Wanita Dalam Kepemimpinan

Dalam Al Quran, surat An Nisa : 34, sebagaimana yang dituliskan diatas, menyatakan bahwa lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Namun menurut para ulama’ bukan berarti pemimpin yang otoriter dan sewenang-wenang, tetapi bertanggung jawab terhadap pendidikan, nafkah dan kemaslahatan keluarga[24]. Dan juga karena beratnya amanah kepemimpina pula, maka Islam memerintahkan lelaki yang menjadi pemimpin, sebab struktur tubuh lelaki memang lebih kuat daripada seorang wanita.

3.      Wanita Di Hadapan Allah

Kedudukan dan derajat laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah SWT. Dari segi penciptaan misalnya, Islam menyamakan laki-laki dan perempuan (an-Nisa: 1), karena tidak menilai bedasarkan jenis kelamin, melainkan dengan kadar iman dan amal shaleh masing-masing (Ali-Imran: 195). Begitu juga dalam hal ibadah, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita (an-Nahl: 97) siapa pun yang beriman dan mengerjakan amal shaleh maka akan dimasukkan ke dalam surga (An-Nisa: 124), karena ketaqwaannya lah yang membedakannya dihadapan Allah swt (al-Hujarat: 13), walaupun dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat, setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda seperti lazimnya hubungan antar manusia dalam kehidupan (al-Baqarah: 228) namun dihadapan allah, semua manusia sama.

BAB III. Kesimpulan dan Penutup

Gerakan feminism merupakan gerakan yang pertama kali berasal dari Barat. Ia muncul sebagai reaksi atas ketidakpuasan wanita di Barat. Hal ini karena di Barat, wanita tak dihargai dan tak medapatkan kedudukan serta eksistensi mereka tak diakui. Wanita diperlakukan semena-mena dan ditindas oleh laki-laki. Hal inilah yang melahirkan gerakan feminisme, dengan slogannya menuntut keadilan kedudukan antara lelaki-dan perempuan.

Masalahnya keadilan dalam arti Barat adalah persamaan yang fivty-fivty. Maka keadilan dalam feminisme berarti persamaan antara pria dan wanita dalam semua bidang kehidupan. Baik dalam rumah rumah tangga, karir, pekerjaan, pendidikan dan lain sebagainya. Bila seorang pria bebas untuk mencari pekerjaan di luar, lantas mengapa wanita harus  berdiam dalam rumah, mengurus pendidikan anak dan sebagainya. Harusnya seorang wanita juga memiliki hak untuk mengejar karrir dan kehidupan di luar rumah, dan kewajiban mengurus rumah dan pendidikan anak bukan lagi murni untuk wanita, tetapi juga harusnya untuk pria.

Begitu pun dalam urusan agama kaum feminis kembali memperdebatkannya. Bila seorang pria berhak untuk memmimpin shalat berjama’ah dan khutbah shalat jum’at, maka seorang wanita seharusnya juga memiliki hak tersebut. Dan masih banyak bidang-bidang kehidupan lainnya yang berusaha untuk didekonstruksi oleh kaum feminis.

Kaum feminis beranggapan bahwasanya perbedaaan kedudukan dan hak yang terjadi sekarang antara pria dan wanita bukan disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi hanya karena kultur budaya. Ini jelas salah. Dalam Islam, pengaturan kedudukan dan tanggung jawab antara pria dan wanita sudah diatur dengan seadil-adilnya sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan masing-masing. Adil dalam Islam bukan berarti sama, tetapi meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Islam juga telah mengatur dan mendudukkan wanita dengan sangta terhormat dan tidak seperti di Barat, eksistensi dan peranan wanita diakui. Begitu pun pengaturan tanggung jawab dan peranan masing-masing untuk pria dan wanita,Islam telah mengaturnya sesuai dengan kapabilitas masing-masing. Di hadapan Allah pun, baik pria ataupun wanita dipandang sama, hanya tingkat ketaqwaannya lah yang membedakan.
Dan bila kaum feminis tetap mempertahankan pendapat mereka untuk menyamakan pria dan wanita dalam berbagai hal, maka ini akan berimbas negative pada wanita tersebut, karena ia berusaha untuk melawan fitrah dan kodratnya.




DAFTAR PUSTAKA
Al Quran Karim
Al-Baduri, Imad Zaki, Tafsir Wanita, Penjelasan Terlengkap Tentang Wanita Dalam Al-Qur’an. terj. Samson Rohman. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003)
Dewi, Elizabeth Diana, Bias Paham Feminisme Barat
Husaini, Adian, Kesetaraan Gender, Konsep dan Dampaknya Dalam Islam
Harry, Ridho’i,  Problem Tafsir Kesetaraan Gender Kasus Kepemimpinan dalam Rumah Tangga
Lahmuddin, Kedudukan Wanita Dalam Islam
Majalah gontor edisi 12 Tahun X, Jumadil Awal-Jumadil Akhir 1434/ April 2013.
Shalahuddin, Henry, Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam: Tantangan Terhadap Konsep Wahyu dan Ilmu dalam Islam
Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian, Studi bias Gender dalam Tafsir Qur’an. (Jogjakarta: LKiS, 1999 )
Zarkasyi, Hamid Fahmy, Misykat, Refleksi Tentang Westernisasi Liberalisasi Dan Islam (Jakarta Selatan, INSISTS dan MIUMI 2012)




[1] Asep Sobari dkk, Menyoal Nasib RUU KKG, majalah gontor edisi 12 Tahun X, Jumadil Awal-Jumadil Akhir 1434/ April 2013, hal 9
[2] Ibid, hal 9
[3] Lahmuddin,peserta PKU Gontor angkatan VI, Kedudukan wanita dalam Islam.
[4] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, INSISTS dan MIUMI, 2012, hal 237.
[5] Elizabeth Diana Dewi, Bias Paham Feminisme Barat.
[6] Syamsuddin Arif, Soal feminisme dan Kesetaraan Gender, hal 2
[7] Ibid, hal 2
[8] Hamid Famy Zarkasyi, Opcit, hal 240
[9] Dinar Dewi Kania, Isu gender, sejarah dan perkembangannya, hal 7
[10] Ibid, hal 8
[11] Hamid Fahmi Zarkasyi, Opcit  hal 234.
[12] Adian Husaini, Kesetaraan Gender, Konsep dan Dampaknya Dalam Islam, hal 5
[13] Aminah Wadud adalah salah seorang aktifis feminis dari Amerika. Ia juga seorang profesor Islamic Studies di Virginia Commonwealth University. Ia menulis buku berjudul Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Quran menurut Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2001).  Melalui bukunya, Wadud berusaha membongkar cara menafsirkan al-Qur'an ‘model klasik’ yang dinilainya menghasilkan tafsir yang bias gender, alias menindas wanita. Ia tidak menolak al-Qur'an. Tetapi, yang dia lakukan adalah membongkar metode tafsir klasik dan menggantinya dengan metode tafsir gaya baru yang dia beri nama “Hermeneutika Tauhid”
[14]Al Quran, Surat An Nisa ayat 34
[15] Ridho’i Harry, Problem Tafsir Kesetaraan Gender Kasus Kepemimpinan dalam Rumah Tangga, hal 5-6
[16] Al Quran surat AL Ahzab :59
d[17] Henry Shalahuddin, Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam: Tantangan Terhadap Konsep Wahyu dan Ilmu dalam Islam, hal 14
[18] Ibid, hal 14
[19] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi bias Gender dalam Tafsir Qur’an. (Jogjakarta: LKiS, 1999 ) hal.131
[20] Pernikahan yang seperti ini dikenal dengan istilah  Zawaj al-Istibda’, dalam pernikahan ini suami menyuruh istrinya untuk bersetubuh dengan laki-laki lain sampai hamil, biasanya dilakukan dengan orang yang gagah dan pemberani untuk mengambil benih keturunan.
[21] Lahmuddin, Opcit, hal 3
[22]   Imad Zaki Al-Baduri, Tafsir Wanita, Penjelasan Terlengkap Tentang Wanita Dalam Al-Qur’an. terj. Samson Rohman. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal. 301
[23] Dalam sebuah Hadits diceritakan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: ”siapakah orang yang paling berhak saya hormati/ pergauli?” Nabi bersabda: ”Ibumu” sampai tiga kali, kemudian ”Ayahmu”. lihat dalam Shahi>h Muslim Bi Syarh al- Nawawi, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), juz 16. hal. 102.
[24] Lahmuddin, Opcit,hal 12